Benteng Moraya Saksi Bisu Kegigihan Pejuang Minahasa
A
A
A
Benteng Moraya yang berlokasi di pinggiran Danau Tondano, Kabupaten Minahasa menyimpan sejarah yang luar biasa membekas bagi orang Minahasa. Karena Benteng Moraya menjadi tempat pertahanan terakhir pasukan orang Minahasa dalam pertempuran melawan pihak kompeni yang datang hendak menjajah.
Merujuk dari beberapa literasi, sekitar tahun 1808 Benteng Moraya menjadi tempat pertahanan terakhir pasukan orang Minahasa dalam pertempuran melawan pihak kompeni yang datang hendak menjajah.
Di samping itu menjadi pusat kekuatan pasukan orang Tondano yang ketika itu bernama Minawanua.
Saat ini lokasi Benteng Moraya telah dibangun kembali dengan megah sebuah monumen sebagai ingatan akan nilai-nilai heroik dan patriotik serta sejarah kepahlawanan orang Tondano-Minahasa dalam mempertahankan tanah leluhurnya.
“Pesona Benteng Moraya masih menggoda. Keindahan alam dan pegunungannya serta bersatu padu bersama Danau Tondano sungguh memesona,”kata Nela Paneo, warga Manado.
Benteng Moraya saat ini memang menjadi salah satu destinasi wisata baru di Minahasa yang wajib dikunjungi terutama bagi remaja atau orang tua yang suka berselfie ria. Mengambil dari sisi manapun pemandangan di kawasan tersebut semuanya indah.
Lokasi Benteng Moraya sendiri mudah didapat dan tak butuh lama jika dari pusat Kota Tondano. Namun bagi yang dari Manado, jaraknya sekira 35 km dari pusat Kota Manado. Akses jalan mudah jika di tempuh dengan menggunakan angkutan darat.
“Benteng Moraya sebenarnya sarat sejarah. Jika para pelajar benar-benar ingin mengetahui bagaimana sampai benteng tersebut dilestarikan karena memang memiliki histori yang luar biasa membekas bagi orang Minahasa,” jelas Sri Rajoe, pengunjung lainnya yang merupakan guru sejarah di salah satu sekolah di Manado.
Dengan melihat langsung Benteng Moraya maka tak hanya akan dapat dipahami serta dikenali kepahlawanan orang Tondano-Minahasa dalam mempertahankan tanah leluhurnya, tapi juga bias menikmati alam dan lingkungan, dan bertamasya serta rekreasi.
Di lokasi tersebut pengunjung bias berfoto ria dan bisa naik ke menara berlantai empat. Sementara di depan dekat jalan raya, orang berkerumun dan berfoto ria di tulisan Benteng Moraya sambil mengamati tonggak-tonggak besar dengan relief bergambar dan berkisah tentang sejarah perang Tondano.
Tonggak-tonggak besar itu jumlahnya ada 12 buah. Enam tonggak di sebelah Selatan dan enam yang lain di sebelah Utara. Tonggak itu dipancangkan persis di belakang tulisan Benteng Moraya.
Uniknya setiap tonggak diukir dalam bentuk relief gambar dan informasi tentang sejarah Perang Tondano .
Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara.
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Katolik.
Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Ternate Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol.
Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels.
Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.
Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orangorang Madura, Dayak dan Minahasa.
Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung. (Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial.
Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua.
Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua.
Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua.
Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.
Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif.
Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda.
Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.
Nah 12 tonggak yang terpancang di muka Benteng, mengisahkan betapa heroiknya perlawanan orang Tondano (Minawanua) hingga titik darah penghabisan.
“Pokoknya kalau ke Minahasa belum lengkap rasanya jika belum berkunjung ke Benteng Moraya. Setelah itu bisa dilanjutkan dengan wisata kuliner di Danau Tondano,” tandas Sri Rajoe.
Sumber :
- wikipeda dan diolah dari berbagai sumber
Merujuk dari beberapa literasi, sekitar tahun 1808 Benteng Moraya menjadi tempat pertahanan terakhir pasukan orang Minahasa dalam pertempuran melawan pihak kompeni yang datang hendak menjajah.
Di samping itu menjadi pusat kekuatan pasukan orang Tondano yang ketika itu bernama Minawanua.
Saat ini lokasi Benteng Moraya telah dibangun kembali dengan megah sebuah monumen sebagai ingatan akan nilai-nilai heroik dan patriotik serta sejarah kepahlawanan orang Tondano-Minahasa dalam mempertahankan tanah leluhurnya.
“Pesona Benteng Moraya masih menggoda. Keindahan alam dan pegunungannya serta bersatu padu bersama Danau Tondano sungguh memesona,”kata Nela Paneo, warga Manado.
Benteng Moraya saat ini memang menjadi salah satu destinasi wisata baru di Minahasa yang wajib dikunjungi terutama bagi remaja atau orang tua yang suka berselfie ria. Mengambil dari sisi manapun pemandangan di kawasan tersebut semuanya indah.
Lokasi Benteng Moraya sendiri mudah didapat dan tak butuh lama jika dari pusat Kota Tondano. Namun bagi yang dari Manado, jaraknya sekira 35 km dari pusat Kota Manado. Akses jalan mudah jika di tempuh dengan menggunakan angkutan darat.
“Benteng Moraya sebenarnya sarat sejarah. Jika para pelajar benar-benar ingin mengetahui bagaimana sampai benteng tersebut dilestarikan karena memang memiliki histori yang luar biasa membekas bagi orang Minahasa,” jelas Sri Rajoe, pengunjung lainnya yang merupakan guru sejarah di salah satu sekolah di Manado.
Dengan melihat langsung Benteng Moraya maka tak hanya akan dapat dipahami serta dikenali kepahlawanan orang Tondano-Minahasa dalam mempertahankan tanah leluhurnya, tapi juga bias menikmati alam dan lingkungan, dan bertamasya serta rekreasi.
Di lokasi tersebut pengunjung bias berfoto ria dan bisa naik ke menara berlantai empat. Sementara di depan dekat jalan raya, orang berkerumun dan berfoto ria di tulisan Benteng Moraya sambil mengamati tonggak-tonggak besar dengan relief bergambar dan berkisah tentang sejarah perang Tondano.
Tonggak-tonggak besar itu jumlahnya ada 12 buah. Enam tonggak di sebelah Selatan dan enam yang lain di sebelah Utara. Tonggak itu dipancangkan persis di belakang tulisan Benteng Moraya.
Uniknya setiap tonggak diukir dalam bentuk relief gambar dan informasi tentang sejarah Perang Tondano .
Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara.
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Katolik.
Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Ternate Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol.
Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels.
Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.
Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orangorang Madura, Dayak dan Minahasa.
Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung. (Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial.
Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua.
Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua.
Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua.
Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.
Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif.
Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda.
Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.
Nah 12 tonggak yang terpancang di muka Benteng, mengisahkan betapa heroiknya perlawanan orang Tondano (Minawanua) hingga titik darah penghabisan.
“Pokoknya kalau ke Minahasa belum lengkap rasanya jika belum berkunjung ke Benteng Moraya. Setelah itu bisa dilanjutkan dengan wisata kuliner di Danau Tondano,” tandas Sri Rajoe.
Sumber :
- wikipeda dan diolah dari berbagai sumber
(sms)