Tinggal di Gubuk Berlantai Tanah, Aryo Wiyono Hidup Sebatangkara
A
A
A
PADANGSIDIMPUAN - Tubuh yang sudah keriput hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur di dalam sebuah gubuk reot. Tempat tinggalnya hanya seluas tiga kali tiga meter.
Hampir seluruh dinding bangunan terbuat dari papan itu dan itu terlihat berlubang dimakan rayap. Maklum, rumah tersebut tidak pernah direhab. Apabila hujan turun, maka air langsung mengalir ke dalam rumah dan berlumpur.
Aryo Wiyono (90), warga Desa Purwodadi, Lingkungan 2, Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara (Sumut), hanya bisa pasrah dengan kondisinya saat ini. Dia menjalani kehidupannya di gubuk reot berlantai tanah sebatangkara.
Sedihnya lagi, lahan tempat tinggal Aryo masih meminjam dari tetangganya. Saat ini, untuk bisa bertahan hidup, Aryo hanya bisa mengharapkan belas kasihan dari warga di lingkungan tersebut.
Dengan usia yang sudah senja, Aryo ternyata harus masak sendiri. Tidak jarang, laki-laki kelahiran Jawa Timur itu hanya bisa makan pakai garam dan kecap asin. Beruntung, para tetangganya masih mempunyai kepedulian terhadap kelangsungan hidup Aryo. Apabila lebaran tiba, dia juga mendapatkan zakat fitrah dari masjid yang ada di lingkungannya.
Mata Aryo Wiyono langsung terlihat berkaca-kaca ketika SINDOnews langsung mendatangi tempat tinggalnya. Meski nada bicara sudah gemetaran, dia tetap memiliki semangat untuk bercerita. Diapun langsung mengajak masuk ke dalam rumahnya.
Saat itu, SINDOnews juga diberi kesempatan untuk duduk di atas tempat tidurnya yang sudah lusuh dimakan usia itu. "Masuk saja, jangan malu-malu," ujarnya ketika menyapa pertama kali.
Cerita dimulai pada tahun 1954 saat pertama kali dia menginjakkan kaki di Kota Padangsidimpuan. Kala itu Padangsidimpuan masih wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Dia diajak oleh salah seorang saudaranya yang sama-sama berasal dari Jawa Timur untuk merantau ke Sumatera (Padangsidimpuan). Dua tahun setelah di Padangsidimpuan dia menikah dengan Waini dan lebih dulu menghadap ke Yang Maha Kuasa.
"Dulu saya hanya punya anak angkat, karena saya tidak punya keturunan," ujarnya.
Selama di Padangsidimpuan, dia bekerja di salah satu losmen terkenal di Kota Salak itu. Setelah berhenti bekerja, dia pun bekerja sebagai buruh harian. Kini, Aryo hanya bisa pasrah menjalani hidupnya seorang diri.
Hampir seluruh dinding bangunan terbuat dari papan itu dan itu terlihat berlubang dimakan rayap. Maklum, rumah tersebut tidak pernah direhab. Apabila hujan turun, maka air langsung mengalir ke dalam rumah dan berlumpur.
Aryo Wiyono (90), warga Desa Purwodadi, Lingkungan 2, Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara (Sumut), hanya bisa pasrah dengan kondisinya saat ini. Dia menjalani kehidupannya di gubuk reot berlantai tanah sebatangkara.
Sedihnya lagi, lahan tempat tinggal Aryo masih meminjam dari tetangganya. Saat ini, untuk bisa bertahan hidup, Aryo hanya bisa mengharapkan belas kasihan dari warga di lingkungan tersebut.
Dengan usia yang sudah senja, Aryo ternyata harus masak sendiri. Tidak jarang, laki-laki kelahiran Jawa Timur itu hanya bisa makan pakai garam dan kecap asin. Beruntung, para tetangganya masih mempunyai kepedulian terhadap kelangsungan hidup Aryo. Apabila lebaran tiba, dia juga mendapatkan zakat fitrah dari masjid yang ada di lingkungannya.
Mata Aryo Wiyono langsung terlihat berkaca-kaca ketika SINDOnews langsung mendatangi tempat tinggalnya. Meski nada bicara sudah gemetaran, dia tetap memiliki semangat untuk bercerita. Diapun langsung mengajak masuk ke dalam rumahnya.
Saat itu, SINDOnews juga diberi kesempatan untuk duduk di atas tempat tidurnya yang sudah lusuh dimakan usia itu. "Masuk saja, jangan malu-malu," ujarnya ketika menyapa pertama kali.
Cerita dimulai pada tahun 1954 saat pertama kali dia menginjakkan kaki di Kota Padangsidimpuan. Kala itu Padangsidimpuan masih wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Dia diajak oleh salah seorang saudaranya yang sama-sama berasal dari Jawa Timur untuk merantau ke Sumatera (Padangsidimpuan). Dua tahun setelah di Padangsidimpuan dia menikah dengan Waini dan lebih dulu menghadap ke Yang Maha Kuasa.
"Dulu saya hanya punya anak angkat, karena saya tidak punya keturunan," ujarnya.
Selama di Padangsidimpuan, dia bekerja di salah satu losmen terkenal di Kota Salak itu. Setelah berhenti bekerja, dia pun bekerja sebagai buruh harian. Kini, Aryo hanya bisa pasrah menjalani hidupnya seorang diri.
(rhs)