Misteri Curug Cileat, Tempat Persembunyian Tentara Darul Islam
A
A
A
Curug Cileat merupakan salah satu alternatif destinasi wisata favorit para pelancong, yang berlokasi di kawasan hutan Gunung Canggah, perbatasan Desa Mayang dengan Cimanggu, Kecamatan Cisalak, Subang.
Memiliki panorama yang sangat indah berupa perbukitan dan pesawahan, Curug Cileat yang dilengkapi empat air terjun alami tersebut, ternyata menyimpan kisah lain, mulai dari cerita historis hingga mistis.
Tokoh warga Desa Cimanggu, Kecamatan Cisalak, T. Sobandi, menyebut, kawasan hutan pegunungan Canggah tempat beradanya Curug Cileat ini, pernah menjadi lokasi persembunyian tentara pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan SM Kartosoewirjo.
"Sebelum ditumpas oleh TNI, para pemberontak DI/TII pernah ada yang sembunyi di kawasan Gunung Canggah, sekitar areal curug itu. Makanya, dulu TNI sempat bikin markas militer di sana, untuk melawan pemberontak," ujar Sobandi.
Untuk mencapai lokasi curug, pengunjung akan melintasi sebuah perkampungan bernama Panyeredan.
Sobandi mengisahkan, kampung ini dinamakan Panyeredan, karena konon, dulu kawasan sekitar kampung pernah dijadikan tempat eksekusi warga oleh tentara penjajah Belanda dan pemberontak DI/TII.
"Saat eksekusi terjadi, banyak warga yang di-"sered" (diseret, disiksa lalu dibunuh) oleh mereka. Makanya, daerah tersebut dinamakan Panyeredan," katanya.
Menurut dia, saat itu, selain warga luar, banyak warga Cimanggu dan sekitarnya menjadi korban kekejaman tentara Belanda dan DI/TII. Tapi, tidak sedikit juga tentara DI/TII yang tewas oleh TNI.
"Saksi-saksi sejarahnya masih ada yang hidup sampai sekarang," ucapnya.
Selain kisah sejarah, curug berpemandangan menawan dan berhawa sejuk, dengan ongkos tiket masuk cuma Rp10.000 per orang ini, juga dikenal angker dan mistis.
Sobandi menyebut, ada semacam mitos kuno di kalangan warga, yakni, larangan berkata arogan (sompral) dan bepergian ke kawasan hutan Gunung Canggah pada hari Senin.
"Dulu ada pepatah dari para orangtua, kalau pergi ke Gunung Canggah jangan hari Senin, katanya keramat, itu saatnya binatang-binatang buas turun. Terus kalau sudah berada di gunung, enggak boleh berkata sompral (arogan)," paparnya.
Nuansa mistis ini, dirasakan dan diakui sejumlah wisatawan yang mengunjungi curug tersebut.
"Kayaknya memang angker ya, hawanya juga aneh. Mungkin karena dilingkupi hutan belantara kali ya. Tapi tadi begitu sampai curug, tiba-tiba kerudung saya tertetes cairan merah, pas diperiksa ternyata darah. Cuma enggak tahu darah apa atau siapa. Kami jadi merinding," imbuh Eti, 16, warga Cikampek.
Sementara itu, Ketua Komite Peduli Lingkungan Hidup (KPLH) Subang, Idin Rohana, menyesalkan minimnya perhatian pemkab dalam membenahi areal curug, terutama akses jalan menuju lokasi.
"Akses jalannya kurang bagus, di beberapa titik terlihat banyak longsoran yang mengganggu kenyamanan pengunjung. Bahkan, khusus Curug Paok (satu dari empat curug di Cileat), selain banyak bekas material longsor di sekitar air terjun, juga kurang tertata,"timpal Idin.
Pihaknya berharap, pemerintah setempat serius memelihara kelangsungan spot-spot wisata dan membenahinya, agar dapat membantu mendongkrak pendapatan daerah.
"Pemerintah kudu serius melindungi alam, jangan cuma mengeksploitasi. Jika tidak, beberapa periode ke depan, curug-curug indah tersebut bisa jadi musnah dan tinggal kenangan," pungkasnya.
Memiliki panorama yang sangat indah berupa perbukitan dan pesawahan, Curug Cileat yang dilengkapi empat air terjun alami tersebut, ternyata menyimpan kisah lain, mulai dari cerita historis hingga mistis.
Tokoh warga Desa Cimanggu, Kecamatan Cisalak, T. Sobandi, menyebut, kawasan hutan pegunungan Canggah tempat beradanya Curug Cileat ini, pernah menjadi lokasi persembunyian tentara pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan SM Kartosoewirjo.
"Sebelum ditumpas oleh TNI, para pemberontak DI/TII pernah ada yang sembunyi di kawasan Gunung Canggah, sekitar areal curug itu. Makanya, dulu TNI sempat bikin markas militer di sana, untuk melawan pemberontak," ujar Sobandi.
Untuk mencapai lokasi curug, pengunjung akan melintasi sebuah perkampungan bernama Panyeredan.
Sobandi mengisahkan, kampung ini dinamakan Panyeredan, karena konon, dulu kawasan sekitar kampung pernah dijadikan tempat eksekusi warga oleh tentara penjajah Belanda dan pemberontak DI/TII.
"Saat eksekusi terjadi, banyak warga yang di-"sered" (diseret, disiksa lalu dibunuh) oleh mereka. Makanya, daerah tersebut dinamakan Panyeredan," katanya.
Menurut dia, saat itu, selain warga luar, banyak warga Cimanggu dan sekitarnya menjadi korban kekejaman tentara Belanda dan DI/TII. Tapi, tidak sedikit juga tentara DI/TII yang tewas oleh TNI.
"Saksi-saksi sejarahnya masih ada yang hidup sampai sekarang," ucapnya.
Selain kisah sejarah, curug berpemandangan menawan dan berhawa sejuk, dengan ongkos tiket masuk cuma Rp10.000 per orang ini, juga dikenal angker dan mistis.
Sobandi menyebut, ada semacam mitos kuno di kalangan warga, yakni, larangan berkata arogan (sompral) dan bepergian ke kawasan hutan Gunung Canggah pada hari Senin.
"Dulu ada pepatah dari para orangtua, kalau pergi ke Gunung Canggah jangan hari Senin, katanya keramat, itu saatnya binatang-binatang buas turun. Terus kalau sudah berada di gunung, enggak boleh berkata sompral (arogan)," paparnya.
Nuansa mistis ini, dirasakan dan diakui sejumlah wisatawan yang mengunjungi curug tersebut.
"Kayaknya memang angker ya, hawanya juga aneh. Mungkin karena dilingkupi hutan belantara kali ya. Tapi tadi begitu sampai curug, tiba-tiba kerudung saya tertetes cairan merah, pas diperiksa ternyata darah. Cuma enggak tahu darah apa atau siapa. Kami jadi merinding," imbuh Eti, 16, warga Cikampek.
Sementara itu, Ketua Komite Peduli Lingkungan Hidup (KPLH) Subang, Idin Rohana, menyesalkan minimnya perhatian pemkab dalam membenahi areal curug, terutama akses jalan menuju lokasi.
"Akses jalannya kurang bagus, di beberapa titik terlihat banyak longsoran yang mengganggu kenyamanan pengunjung. Bahkan, khusus Curug Paok (satu dari empat curug di Cileat), selain banyak bekas material longsor di sekitar air terjun, juga kurang tertata,"timpal Idin.
Pihaknya berharap, pemerintah setempat serius memelihara kelangsungan spot-spot wisata dan membenahinya, agar dapat membantu mendongkrak pendapatan daerah.
"Pemerintah kudu serius melindungi alam, jangan cuma mengeksploitasi. Jika tidak, beberapa periode ke depan, curug-curug indah tersebut bisa jadi musnah dan tinggal kenangan," pungkasnya.
(nag)