Masjid Asy-Syuro, Saksi Bisu Penyerangan Kelompok DI/TII
A
A
A
TEPAT pukul 11.54 WIB, azan menggema di tengah-tengah Kampung Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ratusan lelaki dari berbagai usia, berdatangan untuk melaksanakan ibadah Salat Jumat terakhir di Ramadhan tahun 2016 di Masjid Asy-Syuro.
Seluruh aktivitas ibadah masyarakat Kampung Cipari, terpusat dalam masjid yang bernama Masjid Asy-Syuro ini.
Bentuk masjid ini tidak lazim. Sejumlah orang bahkan menyebut masjid ini mirip gereja. Penafsiran orang-orang yang keliru itu tidak lain karena arsitektur bangunan masjid bergaya art deco. Maklum, masjid tersebut dibangun sewaktu pemerintah kolonial Belanda menjajah Indonesia.
Masjid Asy-Syuro merupakan bagian dari Pondok Pesantren (Ponpes) Cipari. Masjid tersebut selesai dibangun pada tahun 1936.
"Peletakan batu pertamanya dilakukan pada 1933. Pembangunannya dipimpin oleh KH Yusuf Taudziri, putra dari salah satu pendiri Pesantren Cipari, KH Adrai," kata Pimpinan Ponpes Cipari KH Suherlan, saat ditemui di kediamannya, awal Juli 2016.
Diarsiteki oleh Abikoesno Tjokrosujoro, keponakan HOS Tjokroaminoto, eksterior bangunan persis seperti bentuk kantor-kantor pemerintah kolonial. Jendela-jendela berbentuk persegi berderet rapi pada setiap sisi dindingnya.
Selain itu, deretan dinding batu beserta lima anak tangganya mengantarkan pada dua pintu di samping dan satu pintu utama di sisi timur masjid. Pintu pada sisi kanan dan kiri masjid terletak saling berhadapan.
Pintu utama berada tepat di bawah sebuah menara. Lubang pintu langsung mengarah ke mihrab di sebelah barat masjid.
Keunikan lain terdapat pada dinding bagian atas masjid, yakni menyerupai dinding benteng zaman abad pertengahan. "Tebalnya sekitar 50 cm. Sangat tebal dindingnya. Sedangkan lantai ditinggikan sekitar kurang lebih satu meter," ujarnya.
Di bagian puncak menara, terdapat kubah bergaya kolonial dengan paviliun kecil. Dari puncak menara itulah, sejumlah wilayah sekitar hingga perkotaan Garut dapat terlihat dengan jelas.
Masjid kuno ini berdenah persegi panjang dengan ukuran luas kurang lebih sekitar 30x10 meter persegi.
"Masjid ini bentuknya masih asli seperti saat didirikan dahulu. Hanya ada beberapa tambahan saja, misalnya pemasangan kanopi di atas tiap jendela, penambahan kaca untuk jendela yang sebelumnya hanya teralis besi, dan penggantian pintu yang semula pintu buka tutup menjadi pintu geser. Hanya itu saja," papar Suherlan.
Menurut Suherlan, Masjid Asy-Syuro kerap dijadikan objek penelitian sejumlah universitas dan peneliti dari berbagai negara. Terakhir, pada 2015, seorang ahli dari Jepang melakukan penelitian mengenai bangunan masjid tersebut.
"Orang Jepang itu melakukan pengukuran ulang terhadap seluruh bangunan masjid ini. Setiap sudut jendela diukur. Dia menghabiskan waktu seharian penuh dalam pengukuran itu. Sebelumnya juga penelitian tentang masjid ini sering dilakukan, misalnya oleh kalangan akademisi ITB (Institut Teknologi Bandung), Unpad (Universitas Padjadjaran), dan lainnya," sebutnya.
Masjid ini memiliki 20 saf untuk jamaah menunaikan salat. Satu saf mampu menampung sebanyak 20 orang. Dengan demikian, masjid ini dapat menampung sebanyak 400 orang untuk salat di dalam masjid.
Pendidikan Islam dan Politik
Masjid ini memiliki latar belakang sejarah yang sangat kental. Pendirian masjid tak lepas dari perkembangan pendidikan agama Islam pada akhir 1800-an dan kesadaran berpolitik di Kabupaten Garut awal 1900-an.
Suherlan menceritakan, Pesantren Cipari berdiri sejak tahun 1895. Pesantren tersebut merupakan pecahan dari dua pesantren yang lebih tua yakni Pesantren Cidewa dan Cilame.
Lokasi Pesantren Cipari dekat dengan Stasiun Cibatu, salah satu infrastruktur trasportasi kereta api (KA) utama Garut yang menghubungkan Pulau Jawa sebelah barat dan timur. Akses transportasi membuat pertumbuhan ekonomi dan sosial berkembang pesat.
"Begitu pula dengan pendidikan Islam, hingga pada akhirnya jumlah santri bertambah banyak, utamanya dari luar Garut dan luar Pulau Jawa. Para tokoh ulama di Cipari mulai memikirkan untuk mendirikan bangunan masjid yang berfungsi untuk berbagai kegiatan," paparnya.
Keberadaan Stasiun Cibatu membuat masyarakat dan kaum ulama mengenal politik secara dekat. Informasi pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo pada 16 Oktober 1905, dengan cepat sampai kepada para ulama di Cipari, Garut.
Mereka tertarik dan mempelajari organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhudi itu. "Kemudian HOS Tjokroaminoto mengubah agar organisasi tidak terbatas untuk golongan pedagang, melainkan dierluas dengan konsep nasional. Nama organisasi yang semula SDI, diubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada 10 September 1912," urai Suherlan.
Pada perkembangannya, tokoh ulama dan muslim di Garut banyak yang menjadi anggota SI. Saat itu, SI di Garut jumlah anggotanya terbesar kedua setelah Manado.
"Banyak tokoh ulama dari Pesantren Cipari masuk SI. Pada tahun 1914, SI Cabang Cipari dibentuk di bawah kepemimpinan KH Adrai sebagai ketua harian dan Ny Hj Mutiah, istri KH Harmaen, sebagai ketua Muslimat. Organisasi ini dimanfaatkan untuk menyalurkan aspirasi politik terhadap keberadaan Kolonial Belanda sebagai penjajah," katanya.
Tahun 1927, Kongres SI digelar di Cipari Garut, dengan alasan Garut memiliki jumlah anggota SI terbanyak kedua. Kongres ini menghasilkan perubahan organisasi menjadi sebuah partai.
"Nama pun berubah menjadi PSI (Partai Sarekat Islam). Tak lama kemudian, di tahun 1929 nama partai disempurnakan menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). PSII bertujuan untuk mencapai kemerdekaan nasional atas dasar agama Islam," ujarnya.
Meningkatnya kesadaran politik kaum pribumi di Garut, membuat Pemerintah Kolonial Belanda resah. Sejumlah teror dilakukan agar masyarakat menarik diri dari urusan politik.
"Salah satunya adalah penangkapan tanpa alasan oleh Belanda terhadap KH Yusuf Taudziri pada 1933. Ia ditahan selama 40 hari di Penjara Talun Pusat Garut. Tapi setelah bebas, KH Yusuf tidak gentar dan justru kehidupan politik di masyarakat malah menguat,” ucapnya.
Karena perkembangan pendidikan agama Islam dan politik itulah, Masjid Asy-Syuro didirikan. "Selepas bebas, KH Yusuf memimpin pembangunan masjid, karena sebelumnya masjid dan madrasah yang ada tidak bersifat permanen. Maka perlu dibangun masjid yang permanen dan lebih kuat," ungkapnya.
Masjid ini pun pernah berkali-kali menjadi tempat dilakukannya musyarawah para tokoh dan ulama se-Indonesia. "Oleh karenanya, nama masjid ini Masjid Asy-Syuro, yang berarti musyawarah," imbuhnya.
Awalnya, pembangunan masjid tidak akan dilengkapi menara. Namun KH Yusuf Taudziri menginginkan agar menara dibangun di atas pintu utama masjid.
"Tinggi menara lebih dari 20 meter. Ada 70 anak tangga di dalamnya. Dulu itu pembangunannya tidak sengaja karena memang pada desain awal tidak direncanakan. (Menara) dibangun setelah KH Yusuf Taudziri menginginkannya," ucapnya.
Benteng Pertahanan
Masjid yang berjarak kurang lebih 12 km dari pusat ibu kota Kabupaten Garut ini pernah menjadi saksi bisu saat kelompok DI/TII yang dipimpin SM Kartosuwiryo datang menyerang.
Suherlan mengatakan penyerangan DI/TII itu berlangsung sebanyak dua kali, yakni pada 17 April 1952 dan 5 Agustus 1952.
"Menurut keterangan para pelaku sejarah di Cipari yang kini sudah wafat, serangan pertama dan kedua berlangsung selama berjam-jam, dimulai selepas Isya sampai pukul 03.00 WIB dini hari," tutur Suherlan.
Pada kedua penyerangan itu, kelompok Kartosuwiryo membakar rumah-rumah warga di Cipari. Warga saat itu mengungsi dan berlindung di Masjid Asy-Syuro.
Rentetan tembakan senapan dan ledakan mortir ikut mewarnai serangan. Dinding masjid setebal benteng tetap kokoh berdiri meski menjadi sasaran tembak.
"Sebenarnya lubang-lubang bekas proyektil peluru masih ada, membekas. Hanya disamarkan saja jadi tidak terlihat," katanya.
Puluhan orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka ketika penyerangan kedua terjadi di Cipari. Para korban itu berasal dari dua belah pihak, yakni masyarakat Cipari dan anggota kelompok DI/TII.
Cicit dari KH Yusuf Taudziri ini menuturkan, penyerangan itu merupakan bentuk kekecewaan Kartosuwiryo terhadap para tokoh nasional dan ulama Cipari. Kartosuwiryo kecewa saat tujuh kata mengenai Islam dihapuskan dari Piagam Jakarta
"KH Yusuf waktu itu lebih bersikap diplomatis karena memiliki perbedaan pendapat dengan Kartosuwiryo. KH Yusuf cenderung berpikir untuk mengislamkan masyarakat, bukan negara. Sementara Kartosuwiryo berpandangan bahwa negara yang harus diislamkan," ungkapnya.
Semula, hubungan KH Yusuf Taudziri dengan SM Kartosuwiryo berjalan mesra. Bahkan, sejumlah tokoh menyebut KH Yusuf Taudziri merupakan guru spiritual Kartosuwiryo.
"Keduanya saling bertemu dan mengenal dari kegiatan organisasi. Saat perbedaan pendapat itu, Kartosuwiryo beserta pengikutnya pindah ke kawasan utara Garut. Hubungan mereka renggang, hingga terjadilah penyerangan itu," paparnya.
Saat ancaman dan teror penyerangan dari kelompok DI/TII memanas, menara Masjid Asy-Syuro dimanfaatkan warga Cipari sebagai menara pengawas. Pergerakan DI/TII yang akan menyerang Cipari dapat terlihat dari atas menara.
Seluruh aktivitas ibadah masyarakat Kampung Cipari, terpusat dalam masjid yang bernama Masjid Asy-Syuro ini.
Bentuk masjid ini tidak lazim. Sejumlah orang bahkan menyebut masjid ini mirip gereja. Penafsiran orang-orang yang keliru itu tidak lain karena arsitektur bangunan masjid bergaya art deco. Maklum, masjid tersebut dibangun sewaktu pemerintah kolonial Belanda menjajah Indonesia.
Masjid Asy-Syuro merupakan bagian dari Pondok Pesantren (Ponpes) Cipari. Masjid tersebut selesai dibangun pada tahun 1936.
"Peletakan batu pertamanya dilakukan pada 1933. Pembangunannya dipimpin oleh KH Yusuf Taudziri, putra dari salah satu pendiri Pesantren Cipari, KH Adrai," kata Pimpinan Ponpes Cipari KH Suherlan, saat ditemui di kediamannya, awal Juli 2016.
Diarsiteki oleh Abikoesno Tjokrosujoro, keponakan HOS Tjokroaminoto, eksterior bangunan persis seperti bentuk kantor-kantor pemerintah kolonial. Jendela-jendela berbentuk persegi berderet rapi pada setiap sisi dindingnya.
Selain itu, deretan dinding batu beserta lima anak tangganya mengantarkan pada dua pintu di samping dan satu pintu utama di sisi timur masjid. Pintu pada sisi kanan dan kiri masjid terletak saling berhadapan.
Pintu utama berada tepat di bawah sebuah menara. Lubang pintu langsung mengarah ke mihrab di sebelah barat masjid.
Keunikan lain terdapat pada dinding bagian atas masjid, yakni menyerupai dinding benteng zaman abad pertengahan. "Tebalnya sekitar 50 cm. Sangat tebal dindingnya. Sedangkan lantai ditinggikan sekitar kurang lebih satu meter," ujarnya.
Di bagian puncak menara, terdapat kubah bergaya kolonial dengan paviliun kecil. Dari puncak menara itulah, sejumlah wilayah sekitar hingga perkotaan Garut dapat terlihat dengan jelas.
Masjid kuno ini berdenah persegi panjang dengan ukuran luas kurang lebih sekitar 30x10 meter persegi.
"Masjid ini bentuknya masih asli seperti saat didirikan dahulu. Hanya ada beberapa tambahan saja, misalnya pemasangan kanopi di atas tiap jendela, penambahan kaca untuk jendela yang sebelumnya hanya teralis besi, dan penggantian pintu yang semula pintu buka tutup menjadi pintu geser. Hanya itu saja," papar Suherlan.
Menurut Suherlan, Masjid Asy-Syuro kerap dijadikan objek penelitian sejumlah universitas dan peneliti dari berbagai negara. Terakhir, pada 2015, seorang ahli dari Jepang melakukan penelitian mengenai bangunan masjid tersebut.
"Orang Jepang itu melakukan pengukuran ulang terhadap seluruh bangunan masjid ini. Setiap sudut jendela diukur. Dia menghabiskan waktu seharian penuh dalam pengukuran itu. Sebelumnya juga penelitian tentang masjid ini sering dilakukan, misalnya oleh kalangan akademisi ITB (Institut Teknologi Bandung), Unpad (Universitas Padjadjaran), dan lainnya," sebutnya.
Masjid ini memiliki 20 saf untuk jamaah menunaikan salat. Satu saf mampu menampung sebanyak 20 orang. Dengan demikian, masjid ini dapat menampung sebanyak 400 orang untuk salat di dalam masjid.
Pendidikan Islam dan Politik
Masjid ini memiliki latar belakang sejarah yang sangat kental. Pendirian masjid tak lepas dari perkembangan pendidikan agama Islam pada akhir 1800-an dan kesadaran berpolitik di Kabupaten Garut awal 1900-an.
Suherlan menceritakan, Pesantren Cipari berdiri sejak tahun 1895. Pesantren tersebut merupakan pecahan dari dua pesantren yang lebih tua yakni Pesantren Cidewa dan Cilame.
Lokasi Pesantren Cipari dekat dengan Stasiun Cibatu, salah satu infrastruktur trasportasi kereta api (KA) utama Garut yang menghubungkan Pulau Jawa sebelah barat dan timur. Akses transportasi membuat pertumbuhan ekonomi dan sosial berkembang pesat.
"Begitu pula dengan pendidikan Islam, hingga pada akhirnya jumlah santri bertambah banyak, utamanya dari luar Garut dan luar Pulau Jawa. Para tokoh ulama di Cipari mulai memikirkan untuk mendirikan bangunan masjid yang berfungsi untuk berbagai kegiatan," paparnya.
Keberadaan Stasiun Cibatu membuat masyarakat dan kaum ulama mengenal politik secara dekat. Informasi pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo pada 16 Oktober 1905, dengan cepat sampai kepada para ulama di Cipari, Garut.
Mereka tertarik dan mempelajari organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhudi itu. "Kemudian HOS Tjokroaminoto mengubah agar organisasi tidak terbatas untuk golongan pedagang, melainkan dierluas dengan konsep nasional. Nama organisasi yang semula SDI, diubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada 10 September 1912," urai Suherlan.
Pada perkembangannya, tokoh ulama dan muslim di Garut banyak yang menjadi anggota SI. Saat itu, SI di Garut jumlah anggotanya terbesar kedua setelah Manado.
"Banyak tokoh ulama dari Pesantren Cipari masuk SI. Pada tahun 1914, SI Cabang Cipari dibentuk di bawah kepemimpinan KH Adrai sebagai ketua harian dan Ny Hj Mutiah, istri KH Harmaen, sebagai ketua Muslimat. Organisasi ini dimanfaatkan untuk menyalurkan aspirasi politik terhadap keberadaan Kolonial Belanda sebagai penjajah," katanya.
Tahun 1927, Kongres SI digelar di Cipari Garut, dengan alasan Garut memiliki jumlah anggota SI terbanyak kedua. Kongres ini menghasilkan perubahan organisasi menjadi sebuah partai.
"Nama pun berubah menjadi PSI (Partai Sarekat Islam). Tak lama kemudian, di tahun 1929 nama partai disempurnakan menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). PSII bertujuan untuk mencapai kemerdekaan nasional atas dasar agama Islam," ujarnya.
Meningkatnya kesadaran politik kaum pribumi di Garut, membuat Pemerintah Kolonial Belanda resah. Sejumlah teror dilakukan agar masyarakat menarik diri dari urusan politik.
"Salah satunya adalah penangkapan tanpa alasan oleh Belanda terhadap KH Yusuf Taudziri pada 1933. Ia ditahan selama 40 hari di Penjara Talun Pusat Garut. Tapi setelah bebas, KH Yusuf tidak gentar dan justru kehidupan politik di masyarakat malah menguat,” ucapnya.
Karena perkembangan pendidikan agama Islam dan politik itulah, Masjid Asy-Syuro didirikan. "Selepas bebas, KH Yusuf memimpin pembangunan masjid, karena sebelumnya masjid dan madrasah yang ada tidak bersifat permanen. Maka perlu dibangun masjid yang permanen dan lebih kuat," ungkapnya.
Masjid ini pun pernah berkali-kali menjadi tempat dilakukannya musyarawah para tokoh dan ulama se-Indonesia. "Oleh karenanya, nama masjid ini Masjid Asy-Syuro, yang berarti musyawarah," imbuhnya.
Awalnya, pembangunan masjid tidak akan dilengkapi menara. Namun KH Yusuf Taudziri menginginkan agar menara dibangun di atas pintu utama masjid.
"Tinggi menara lebih dari 20 meter. Ada 70 anak tangga di dalamnya. Dulu itu pembangunannya tidak sengaja karena memang pada desain awal tidak direncanakan. (Menara) dibangun setelah KH Yusuf Taudziri menginginkannya," ucapnya.
Benteng Pertahanan
Masjid yang berjarak kurang lebih 12 km dari pusat ibu kota Kabupaten Garut ini pernah menjadi saksi bisu saat kelompok DI/TII yang dipimpin SM Kartosuwiryo datang menyerang.
Suherlan mengatakan penyerangan DI/TII itu berlangsung sebanyak dua kali, yakni pada 17 April 1952 dan 5 Agustus 1952.
"Menurut keterangan para pelaku sejarah di Cipari yang kini sudah wafat, serangan pertama dan kedua berlangsung selama berjam-jam, dimulai selepas Isya sampai pukul 03.00 WIB dini hari," tutur Suherlan.
Pada kedua penyerangan itu, kelompok Kartosuwiryo membakar rumah-rumah warga di Cipari. Warga saat itu mengungsi dan berlindung di Masjid Asy-Syuro.
Rentetan tembakan senapan dan ledakan mortir ikut mewarnai serangan. Dinding masjid setebal benteng tetap kokoh berdiri meski menjadi sasaran tembak.
"Sebenarnya lubang-lubang bekas proyektil peluru masih ada, membekas. Hanya disamarkan saja jadi tidak terlihat," katanya.
Puluhan orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka ketika penyerangan kedua terjadi di Cipari. Para korban itu berasal dari dua belah pihak, yakni masyarakat Cipari dan anggota kelompok DI/TII.
Cicit dari KH Yusuf Taudziri ini menuturkan, penyerangan itu merupakan bentuk kekecewaan Kartosuwiryo terhadap para tokoh nasional dan ulama Cipari. Kartosuwiryo kecewa saat tujuh kata mengenai Islam dihapuskan dari Piagam Jakarta
"KH Yusuf waktu itu lebih bersikap diplomatis karena memiliki perbedaan pendapat dengan Kartosuwiryo. KH Yusuf cenderung berpikir untuk mengislamkan masyarakat, bukan negara. Sementara Kartosuwiryo berpandangan bahwa negara yang harus diislamkan," ungkapnya.
Semula, hubungan KH Yusuf Taudziri dengan SM Kartosuwiryo berjalan mesra. Bahkan, sejumlah tokoh menyebut KH Yusuf Taudziri merupakan guru spiritual Kartosuwiryo.
"Keduanya saling bertemu dan mengenal dari kegiatan organisasi. Saat perbedaan pendapat itu, Kartosuwiryo beserta pengikutnya pindah ke kawasan utara Garut. Hubungan mereka renggang, hingga terjadilah penyerangan itu," paparnya.
Saat ancaman dan teror penyerangan dari kelompok DI/TII memanas, menara Masjid Asy-Syuro dimanfaatkan warga Cipari sebagai menara pengawas. Pergerakan DI/TII yang akan menyerang Cipari dapat terlihat dari atas menara.
(zik)