Kisah Berubah Pahitnya Buah Lerak dan Serunting Sakti
A
A
A
Legenda Serunting Sakti atau Si Pahit Lidah tak hanya meninggalkan situs, candi dan benda memiliki nilai sejarah tinggi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan. Tetapi, menyisakan kisah dan cerita dipercaya secara turun temurun oleh warga setempat.
Termasuk legenda buah lerak berubah rasa menjadi pahit dan berbusa. Konon, sebelumnya buah Lerak atau buah pantis sebutan masyarakat lokal terhadap buah berwarna coklat dan berkerut, rasanya manisnya menyerupai buah kurma.
Konon berubahnya, rasa buah Lerak sendiri berawal karena dikutuk Si Pahit Lidah. Ini dilakukan Si Pahit Lidah ketika turun dari puncak Gunung Seminung.
Kisahnya dimulai di kaki Gunung Seminung tepatnya di sepanjang pesisir pantai Danau Ranau terdapat sebuah pemukiman Tua yang menurut hikayat masyarakat setempat merupakan pemukiman tertua adalah Padang Ghatu dan Jepagha Tuha.
Dari sinilah dipercaya asal peradaban besar di utara kini wilayah Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan (Sumsel).
Saat itu, masyarakat di desa ini hidup makmur dan serba berkecukupan. Tak pernah ada keluhan. Penduduk desa ini sendiri beberapa kali berpindah lokasi bermukim.
Hal ini dilatari oleh kepercayaan penduduk jika tujuh kali berpindah. Maka, kehidupan penduduk desa akan berlangsung makmur.
Di zaman itu, puncak Gunung Seminung dijadikan lokasi Pertapaan Dapunta Hyang Agung, atau disebut tempat ritual penyucian diri. Dan hingga kini masih dijunjung tinggi masyarakat OKU Selatan dengan sebutan Puyang.
Sampai akhirnya, masyarakat disana kedatangan pemuda berparas tampan dan tegas, berpostur tinggi dan tegap, berambut panjang dan memakai ikat kepala yang bernama Serunting Sakti, pendekar sakti mandraguna.
Pemuda yang dikenal dengan lidahnya yang pahit, bukan berarti lidahnya berasa pahit, akan tetapi semua hal yang diucapkan berubah menjadi kenyataan.
Awalnya, perkelanaan Serunting Sakti di daerah ini karena perpisahannya dengan istri yang merupakan bidadari khayangan membuat Serunting Sakti melakukan perjalanan panjang.
Setelah, berkelana bertahun-lamanya dengan melewati gunung dan bukit-bukit. Perjalanan panjang Si Pahit Lidah ini mengantarnya, ke wilayah Danau Ranau yang dipercaya merupakan keldera tertua melebihi Danau Toba, Sumatera Utara.
Alkisah, Serunting Sakti atau Si Pahit Lidah, melakukan ritual pembersihan diri di Gunung Seminung untuk menebus segala dosa dan kesalahan.
Setelah behari–hari, berbulan-bulan tanpa makan dan minum. Serunting Sakti pergi menuruni Gunung Seminung ke Negeri Hujung mencari makanan.
Konon saat itu Si Pahit Lidah melihat anak–anak di bawah bukit tengah mengerumuni pohon rindang.
Anak-anak saling memperebutkan dan memakannya dengan lahap buah yang jatuh ditiup angin.
Karenanya membuat Si Pahit Lidah melintas dari kejauhan menanyakan lantaran penasaran kepada anak-anak. Si Pahit Lidah sebelumnya sudah memperhatikan dari seberang bukit.
Lantaran jauhnya jarak antara Serunting Sakti dan anak–anak tersebut, suaranya hanya tersapu angin pegunungan. Maka, Serunting Sakti kembali menanyakan dan mengulangi ucapannya.
Namun, tidak ada sahutan dari anak–anak tersebut. Kemungkinan Si Pahit Lidah mengira kumpulan anak-anak ini mengabaikan tegorannya dan malah asyik berburu buah tersebut.
Dengan kesal, Si Pahit Lidah melanjutkan perjalanannya sambil menyebutkan kalau buah tersebut berasa pahit.
Lalu saat anak–anak tengah asik berburu dan memakan buah pantis itu, langsung memuntahkan buah yang tengah mereka makan. Karena, dalam sekejap buah awalnya manis dan lezat, kini berubah menjadi sangat pahit dan berbusa.
Sehingga sampai saat ini, buah pantis masih sering ditemukan di dalam hutan, biasanya sering digunakan oleh masyarakat lokal Kabupaten OKU Selatan mencuci pakaian menjadi pahit dan berbusa.
Pengelanaan Serunting Sakti tak hanya sampai disitu. Pendekar sakti itu pun melihat sekelompok penduduk sedang berjalan beriringan, dengan mengenakan serba bagus. Dia juga melihat sepasang pengantin diarak di tengah-tengah kegembiraan tersebut.
Disana ada banyak makanan tersedia. Berdirilah Serunting Sakti di sebuah bukit dengan harapan mereka dapat mendengar apa yang dikatakannya.
Suasana pesta arak – arakan yang begitu meriah melebur setiap teriakan nya, tak ada satu orangpun yang mempedulikan keberadaannya. Rasa lapar yang melanda membuat Serunting Sakti kesal dan marah.
"Tulikah kalian, tuli dan buta kah sepasang pengantin itu...? sehingga tak melihat keberadaan ku dan mendengar teriakan ku...? sehingga diam saja seperti batu...!!!".
Kemudian, angin tiba – tiba bertiup sangat kencang, hujan pun mulai turun dengan lebatnya, halilintar menyambar begitu dahsyatnya. Para pengiring pengantin berlarian mencari perlindungan.
Sementara, sepasang pengantin dan sebagian pengiring tak bisa bergerak kaki mereka terasa berat dilangkahkan.
Semua makanan lezat disekitar mereka berkumpul menjadi satu mengelilingi sepasang pengantin tersebut.
Dan secara perlahan berubahlah pengantin menjadi batu. Sedangkan, makanan yang berkumpul menjadi satu itupun berubah menjadi sebuah Candi.
Sejak itulah, bangunan yang berada di sekitaran Padang Ghatu, Desa Jepara dan Wai Hujung itu disebut dengan Candi Batu Kabayan.
Dipercaya batu kabayan mempunya tiga tingkatan dasar candi, tahun 2011 pernah diteliti oleh peneliti dari ITB dan mencocokan bebatuan candi dengan bebatuan terdapat di Danau Ranau.
Selanjutnya, di tahun 2014 lalu Candi Kabayan kembali didatangi peneliti asal Jerman memperkirakan Candi batu Kabayan adalah candi tertua di Nusantara.
Sedangkan, Candi Kebayan tertulis di sebuah Prasasti batu ditemukan di Desa Haur Kuning, Kecamatan Sukau Lampung Barat yang secara geografis letaknya bersebelahan dengan Danau Ranau Kabupaten OKU Selatan.
Aksara digunakan pada Prasasti ini adalah aksara Palawa dengan bahasa melayu kuno. Tulisan diprasasti sudah hilang. Namun angka di prasati ini adalah tahun 919 saka atau 997 Masehi. Walahualam.
Termasuk legenda buah lerak berubah rasa menjadi pahit dan berbusa. Konon, sebelumnya buah Lerak atau buah pantis sebutan masyarakat lokal terhadap buah berwarna coklat dan berkerut, rasanya manisnya menyerupai buah kurma.
Konon berubahnya, rasa buah Lerak sendiri berawal karena dikutuk Si Pahit Lidah. Ini dilakukan Si Pahit Lidah ketika turun dari puncak Gunung Seminung.
Kisahnya dimulai di kaki Gunung Seminung tepatnya di sepanjang pesisir pantai Danau Ranau terdapat sebuah pemukiman Tua yang menurut hikayat masyarakat setempat merupakan pemukiman tertua adalah Padang Ghatu dan Jepagha Tuha.
Dari sinilah dipercaya asal peradaban besar di utara kini wilayah Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan (Sumsel).
Saat itu, masyarakat di desa ini hidup makmur dan serba berkecukupan. Tak pernah ada keluhan. Penduduk desa ini sendiri beberapa kali berpindah lokasi bermukim.
Hal ini dilatari oleh kepercayaan penduduk jika tujuh kali berpindah. Maka, kehidupan penduduk desa akan berlangsung makmur.
Di zaman itu, puncak Gunung Seminung dijadikan lokasi Pertapaan Dapunta Hyang Agung, atau disebut tempat ritual penyucian diri. Dan hingga kini masih dijunjung tinggi masyarakat OKU Selatan dengan sebutan Puyang.
Sampai akhirnya, masyarakat disana kedatangan pemuda berparas tampan dan tegas, berpostur tinggi dan tegap, berambut panjang dan memakai ikat kepala yang bernama Serunting Sakti, pendekar sakti mandraguna.
Pemuda yang dikenal dengan lidahnya yang pahit, bukan berarti lidahnya berasa pahit, akan tetapi semua hal yang diucapkan berubah menjadi kenyataan.
Awalnya, perkelanaan Serunting Sakti di daerah ini karena perpisahannya dengan istri yang merupakan bidadari khayangan membuat Serunting Sakti melakukan perjalanan panjang.
Setelah, berkelana bertahun-lamanya dengan melewati gunung dan bukit-bukit. Perjalanan panjang Si Pahit Lidah ini mengantarnya, ke wilayah Danau Ranau yang dipercaya merupakan keldera tertua melebihi Danau Toba, Sumatera Utara.
Alkisah, Serunting Sakti atau Si Pahit Lidah, melakukan ritual pembersihan diri di Gunung Seminung untuk menebus segala dosa dan kesalahan.
Setelah behari–hari, berbulan-bulan tanpa makan dan minum. Serunting Sakti pergi menuruni Gunung Seminung ke Negeri Hujung mencari makanan.
Konon saat itu Si Pahit Lidah melihat anak–anak di bawah bukit tengah mengerumuni pohon rindang.
Anak-anak saling memperebutkan dan memakannya dengan lahap buah yang jatuh ditiup angin.
Karenanya membuat Si Pahit Lidah melintas dari kejauhan menanyakan lantaran penasaran kepada anak-anak. Si Pahit Lidah sebelumnya sudah memperhatikan dari seberang bukit.
Lantaran jauhnya jarak antara Serunting Sakti dan anak–anak tersebut, suaranya hanya tersapu angin pegunungan. Maka, Serunting Sakti kembali menanyakan dan mengulangi ucapannya.
Namun, tidak ada sahutan dari anak–anak tersebut. Kemungkinan Si Pahit Lidah mengira kumpulan anak-anak ini mengabaikan tegorannya dan malah asyik berburu buah tersebut.
Dengan kesal, Si Pahit Lidah melanjutkan perjalanannya sambil menyebutkan kalau buah tersebut berasa pahit.
Lalu saat anak–anak tengah asik berburu dan memakan buah pantis itu, langsung memuntahkan buah yang tengah mereka makan. Karena, dalam sekejap buah awalnya manis dan lezat, kini berubah menjadi sangat pahit dan berbusa.
Sehingga sampai saat ini, buah pantis masih sering ditemukan di dalam hutan, biasanya sering digunakan oleh masyarakat lokal Kabupaten OKU Selatan mencuci pakaian menjadi pahit dan berbusa.
Pengelanaan Serunting Sakti tak hanya sampai disitu. Pendekar sakti itu pun melihat sekelompok penduduk sedang berjalan beriringan, dengan mengenakan serba bagus. Dia juga melihat sepasang pengantin diarak di tengah-tengah kegembiraan tersebut.
Disana ada banyak makanan tersedia. Berdirilah Serunting Sakti di sebuah bukit dengan harapan mereka dapat mendengar apa yang dikatakannya.
Suasana pesta arak – arakan yang begitu meriah melebur setiap teriakan nya, tak ada satu orangpun yang mempedulikan keberadaannya. Rasa lapar yang melanda membuat Serunting Sakti kesal dan marah.
"Tulikah kalian, tuli dan buta kah sepasang pengantin itu...? sehingga tak melihat keberadaan ku dan mendengar teriakan ku...? sehingga diam saja seperti batu...!!!".
Kemudian, angin tiba – tiba bertiup sangat kencang, hujan pun mulai turun dengan lebatnya, halilintar menyambar begitu dahsyatnya. Para pengiring pengantin berlarian mencari perlindungan.
Sementara, sepasang pengantin dan sebagian pengiring tak bisa bergerak kaki mereka terasa berat dilangkahkan.
Semua makanan lezat disekitar mereka berkumpul menjadi satu mengelilingi sepasang pengantin tersebut.
Dan secara perlahan berubahlah pengantin menjadi batu. Sedangkan, makanan yang berkumpul menjadi satu itupun berubah menjadi sebuah Candi.
Sejak itulah, bangunan yang berada di sekitaran Padang Ghatu, Desa Jepara dan Wai Hujung itu disebut dengan Candi Batu Kabayan.
Dipercaya batu kabayan mempunya tiga tingkatan dasar candi, tahun 2011 pernah diteliti oleh peneliti dari ITB dan mencocokan bebatuan candi dengan bebatuan terdapat di Danau Ranau.
Selanjutnya, di tahun 2014 lalu Candi Kabayan kembali didatangi peneliti asal Jerman memperkirakan Candi batu Kabayan adalah candi tertua di Nusantara.
Sedangkan, Candi Kebayan tertulis di sebuah Prasasti batu ditemukan di Desa Haur Kuning, Kecamatan Sukau Lampung Barat yang secara geografis letaknya bersebelahan dengan Danau Ranau Kabupaten OKU Selatan.
Aksara digunakan pada Prasasti ini adalah aksara Palawa dengan bahasa melayu kuno. Tulisan diprasasti sudah hilang. Namun angka di prasati ini adalah tahun 919 saka atau 997 Masehi. Walahualam.
(sms)