Tukiman, Lulusan SD yang Jadi Juragan Soto
A
A
A
BATAM - Ia hanya lulusan SD. Namun, tekad besar untuk menyekolahkan anak-anaknya, membuat dia jadi juragan soto. Jalannya berliku sebelum sukses dan memiliki banyak cabang. Warung sotonya berkali-kali terbakar.
Laki-laki itu mengenakan baju batik berwarna merah. Rambutnya telah memutih tanda ditumbuhi uban. Senyumnya semringah saat menerima kedatangan KORAN SINDO BATAM di warung makan Soto Kwali Sukoharjo Makmur yang terletak di Perum Legenda Malaka tepat di depan SMPN 12 Batam Centre, pekan lalu.
Waktu sudah lewat jam makan siang, tapi Tukiman tetap menyuguhkan Soto Kwali tanpa diminta. "Bagaimana bisa menulis tentang Soto Kwali Sukoharjo kalau belum mencoba rasanya," kata Tukiman, sang pemilik warung soto.
Slogan yang dipakai oleh Soto Kwali Sukoharjo memang tepat yakni 'nikmat, berkeringat, dan merakyat'. Apalagi makan sotonya ditemani tempe mendoan, sate telur puyuh, dan sate hati paru yang empuk dan manis serta tahu dan perkedel. Merakyat karena satu porsi soto kwali hanya Rp11 ribu.
"Saya selalu menggunakan daging segar di sini. Demikian juga mendoan yang paling ditunggu-tunggu pelanggan ini, berasal dari pabriknya yang tiap hari diantar kemari," ujarnya.
Suatu hari, kata Tukiman, ada seorang pembeli sotonya yang komplain karena nasi dan kuah sotonya dicampur. Padahal, soto kwali memang seperti itu bentuknya kecuali ada permintaan khusus dari konsumen agar nasinya dipisah.
Soto yang segar disantap saat siang hari ini memiliki kuah kaldu kuning bening, di dalamnya ada tauge, bihun, dan kol. Ciri khas lainnya adalah dimasak dalam gerabah kwali yang didatangkan langsung dari Solo, Jawa Tengah.
Pelan-pelan, laki-laki kelahiran Sukoharjo 51 tahun lalu ini menceritakan kisahnya sejak merintis bisnis soto kwalinya hingga kini memiliki sepuluh cabang dan dua franchise di Batam. Sesekali ia tampak seperti sedang mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa yang menempanya menjadi sosok yang tak mudah menyerah.
"Kalau tidak ingat cita-cita saya, mungkin sudah dari dulu saya menyerah," katanya.
Ia dilahirkan di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani, tempat itu jauh dari kota besar. Anak ketiga dari enam bersaudara ini hanya sempat sekolah sampai SD. Dalam hatinya ia ingin sekali melanjutkan pendidikan, namun apa daya, kebutuhan ekonomi lainnya lebih mendesak.
"Dulu orangtua saya saking bodoh dan miskinnya maka anak-anaknya tak disekolahkan. Saya meskipun hanya sampai SD tapi bertekad dengan segala kemampuan untuk menyekolahkan anak-anak saya," tuturnya.
Sejak muda, ia terus berpikir mencari cara mengubah nasib sehingga anak-anaknya kelak tidak hidup susah. Ia berjualan pertama kali saat berumur 18 tahun. Jualan soto yang dipikul keliling perumahan di Semarang. Pekerjaan itu digelutinya hanya dua tahun yakni dari tahun 1982 hingga 1984.
"Saat itu saya masih muda sekali, pemula, baru belajar berdagang jadi ya bukannya ditekuni tapi malah tergiur untuk ke Kalimantan. Teman saya kerja di sana jadi tukang sol sepatu keliling, sepertinya menjanjikan sehingga saya nyusul ke sana," kenangnya.
Tahun 1987 ia menikah dengan Kawit yang juga asli Sukoharjo. Saat itu usianya baru 23 tahun. Baginya, tak apa menikah muda, sehingga saat anaknya besar dan akan sekolah ia masih kuat untuk kerja apa saja demi membiayainya.
Namun, pekerjaannya di Balikpapan menjadi tukang sol sepatu keliling dirasakannya tak mampu lagi menopang biaya hidup anak dan istrinya. Ia mulai mendengar daerah Batam saat itu sedang mulai berkembang.
"Batam menjadi tanah yang menjanjikan bagi saya. Waktu itu tahun 1991, sampai sini saya jualan ikan pinggang sama dompet buatan Yogyakarta," ungkapnya.
Sayangnya, gambarannya mengenai Batam tak sesuai harapan. Dompet dan ikat pinggang yang dijualnya tak semudah itu terjual di pasaran. Untuk menyambung hidup ia lalu melakukan pekerjaan apa saja, ia kembali jadi tukang sol sepatu keliling. Lalu sempat pula jualan kue putu bambu, jual gorengan, jual bakso sampai ngojek.
"Tahun 2002 saya diajak tetangga saya untuk bekerja di koperasi pendanaan usaha, di sana saya banyak belajar tentang manajemen usaha. Koperasi tersebut bergerak di bidang pembiayaan UKM," tuturnya.
Selama dua tahu bekerja di koperasi tersebut ternyata bukan keuntungan finansial yang diperolehnya, justru utang yang menumpuk sampai Rp22 juta.
Menurut bapak tiga anak ini, biasanya ia mendapatkan untung harian jika berdagang, tapi dengan kerja di koperasi itu ia mendapatkan gajinya bulanan. "Gaji bulanan itu ternyata tak cukup untuk biaya hidup dan sekolah anak," katanya.
Tahun 2004 ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ia kemudian menggadaikan rumahnya yang dibelinya secara susah payah dari hasil jualan bakso. "Hasil dari gadai rumah itu Rp38 juta saya pakai untuk bayar utang dan modal usaha," jelasnya.
Sejak itulah ia mulai merintis jualan soto di depan SMPN 12 Batam. Kondisi warungnya saat itu seadanya, berdinding triplek dan berlantai tanah bekas timbunan rawa. Seringkali saat sedang banjir lantai warungnya itu kelelep. Dia pun sering bolak-balik membangun ulang warungnya. Tempat makannya itu awalnya menjadi langganan anak-anak sekolah.
"Sayang kemudian pelanggan tetap saya ini mulai dapat larangan jajan di luar, jadilah tempat makan saya kemudian sepi," ujarnya.
Tukiman bersyukur waktu itu ia mendapatkan bantuan dana dari sebuah bank nasional untuk membangun warungnya. Keadaan membaik, anak pertamanya waktu itu juga melanjutkan kuliah Akademi Kebidanan di Solo. Soto kwali miliknya mulai dikenal.
Cobaan terus menimpanya. 14 Oktober 2009 seminggu saat ia sampai di Batam dari menghadiri wisuda anaknya di Solo, warung soto kwalinya dilalap si jago merah. Ludes tak bersisa. "Benar-benar habis, rata dengan tanah, kerugian waktu itu mencapai ratusan juta," kenangnya.
Banyak pihak yang turut berduka waktu itu, sehingga banyak yang menyumbang bahan bangunan kepada Tukiman. Ada yang menyumbang asbes, memberi semen, sampai meminjamkan alat-alat dapur. Hanya dalam waktu 16 hari ia kembali berjualan. Pelan-pelan warungnya kembali dibangun.
"Tapi ujian tak hanya sampai situ. 7 April 2011 warung saya kembali terbakar, waktu itu bangunan baru semi permanen temboknya masih separuh batu. Kali ini kebakarannya hanya separuh tidak sampai ludes," katanya.
Dua kali mendapatkan musibah kebakaran, ia tetap berusaha berjualan, bangkit pelan-pelan, dan terus tekun mempertahankan bisnis soto kwalinya. Di tahun yang sama ia dikejutkan dengan orang yang tiba-tiba memintanya bekerja sama dengan mewaralabakan usahanya.
"Waktu itu dia datang dan membicarakan tentang franchise (waralaba), saya malah tidak tahu franchise itu apa," ucapnya jujur.
Itulah pertama kali soto kwalinya diwaralabakan. Tukiman lalu menghubungi salah satu notaris yang dikenalnya. Ia mempertanyakan bagaimana mengurus badan hukum untuk usahanya.
"Ya sudah jualan gitu saja yang penting laku, macam mau di-franchise-kan saja," Tukiman menirukan ucapan si notaris.
Saat disebutkan bahwa memang soto kwalinya sudah diwaralabakan, si notaris itu akhirnya bersedia membantunya. Hingga kini soto kwalinya itu telah memiliki sertifikat halal dari LPOM MUI, Hak Paten Intelektual (HaKI), serta sertifikat rumah makan higienis dari Dinas Kesehatan Kota Batam. Cabang kemitraan pertama soto kwali itu terletak di Ruko Bida Asri 2 Batam Centre.
"Lalu menyusul lagi dengan cabang-cabang lain seperti yang di Ruko Bengkong Harapan, Kavling Punggur, Ruko Plamo, Kantin Kantor PDI-P Batam Centre, Perum Puri Agung 1 Tanjung Piayu, Ruko Tiban Princess dan Ruko SP Plaza Batu Aji," jelasnya.
Tukiman juga mengungkapkan, di balik nama 'Sukoharjo Makmur' yang digunakan sebagai merek dagang soto kwalinya, ia ingin mengubah kesan masyarakat tentang Sukoharjo sebagai sarang teroris.
"Beberapa rentetan penangkapan sejumlah orang di sana yang disinyalir melakukan kegiatan terorisme ada di Sukoharjo, maka saya ingin mengenalkan kepada orang-orang lebih kepada sotonya daripada terorisnya," katanya sungguh-sungguh.
Melalui usaha ini pula ia berusaha menjalin persaudaraan silaturahmi antara masyarakat Jawa yang merantau di Batam.
PILIHAN:
Jamaah Tarekat Syattariyah Salat Idul Adha Hari Ini
Laki-laki itu mengenakan baju batik berwarna merah. Rambutnya telah memutih tanda ditumbuhi uban. Senyumnya semringah saat menerima kedatangan KORAN SINDO BATAM di warung makan Soto Kwali Sukoharjo Makmur yang terletak di Perum Legenda Malaka tepat di depan SMPN 12 Batam Centre, pekan lalu.
Waktu sudah lewat jam makan siang, tapi Tukiman tetap menyuguhkan Soto Kwali tanpa diminta. "Bagaimana bisa menulis tentang Soto Kwali Sukoharjo kalau belum mencoba rasanya," kata Tukiman, sang pemilik warung soto.
Slogan yang dipakai oleh Soto Kwali Sukoharjo memang tepat yakni 'nikmat, berkeringat, dan merakyat'. Apalagi makan sotonya ditemani tempe mendoan, sate telur puyuh, dan sate hati paru yang empuk dan manis serta tahu dan perkedel. Merakyat karena satu porsi soto kwali hanya Rp11 ribu.
"Saya selalu menggunakan daging segar di sini. Demikian juga mendoan yang paling ditunggu-tunggu pelanggan ini, berasal dari pabriknya yang tiap hari diantar kemari," ujarnya.
Suatu hari, kata Tukiman, ada seorang pembeli sotonya yang komplain karena nasi dan kuah sotonya dicampur. Padahal, soto kwali memang seperti itu bentuknya kecuali ada permintaan khusus dari konsumen agar nasinya dipisah.
Soto yang segar disantap saat siang hari ini memiliki kuah kaldu kuning bening, di dalamnya ada tauge, bihun, dan kol. Ciri khas lainnya adalah dimasak dalam gerabah kwali yang didatangkan langsung dari Solo, Jawa Tengah.
Pelan-pelan, laki-laki kelahiran Sukoharjo 51 tahun lalu ini menceritakan kisahnya sejak merintis bisnis soto kwalinya hingga kini memiliki sepuluh cabang dan dua franchise di Batam. Sesekali ia tampak seperti sedang mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa yang menempanya menjadi sosok yang tak mudah menyerah.
"Kalau tidak ingat cita-cita saya, mungkin sudah dari dulu saya menyerah," katanya.
Ia dilahirkan di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani, tempat itu jauh dari kota besar. Anak ketiga dari enam bersaudara ini hanya sempat sekolah sampai SD. Dalam hatinya ia ingin sekali melanjutkan pendidikan, namun apa daya, kebutuhan ekonomi lainnya lebih mendesak.
"Dulu orangtua saya saking bodoh dan miskinnya maka anak-anaknya tak disekolahkan. Saya meskipun hanya sampai SD tapi bertekad dengan segala kemampuan untuk menyekolahkan anak-anak saya," tuturnya.
Sejak muda, ia terus berpikir mencari cara mengubah nasib sehingga anak-anaknya kelak tidak hidup susah. Ia berjualan pertama kali saat berumur 18 tahun. Jualan soto yang dipikul keliling perumahan di Semarang. Pekerjaan itu digelutinya hanya dua tahun yakni dari tahun 1982 hingga 1984.
"Saat itu saya masih muda sekali, pemula, baru belajar berdagang jadi ya bukannya ditekuni tapi malah tergiur untuk ke Kalimantan. Teman saya kerja di sana jadi tukang sol sepatu keliling, sepertinya menjanjikan sehingga saya nyusul ke sana," kenangnya.
Tahun 1987 ia menikah dengan Kawit yang juga asli Sukoharjo. Saat itu usianya baru 23 tahun. Baginya, tak apa menikah muda, sehingga saat anaknya besar dan akan sekolah ia masih kuat untuk kerja apa saja demi membiayainya.
Namun, pekerjaannya di Balikpapan menjadi tukang sol sepatu keliling dirasakannya tak mampu lagi menopang biaya hidup anak dan istrinya. Ia mulai mendengar daerah Batam saat itu sedang mulai berkembang.
"Batam menjadi tanah yang menjanjikan bagi saya. Waktu itu tahun 1991, sampai sini saya jualan ikan pinggang sama dompet buatan Yogyakarta," ungkapnya.
Sayangnya, gambarannya mengenai Batam tak sesuai harapan. Dompet dan ikat pinggang yang dijualnya tak semudah itu terjual di pasaran. Untuk menyambung hidup ia lalu melakukan pekerjaan apa saja, ia kembali jadi tukang sol sepatu keliling. Lalu sempat pula jualan kue putu bambu, jual gorengan, jual bakso sampai ngojek.
"Tahun 2002 saya diajak tetangga saya untuk bekerja di koperasi pendanaan usaha, di sana saya banyak belajar tentang manajemen usaha. Koperasi tersebut bergerak di bidang pembiayaan UKM," tuturnya.
Selama dua tahu bekerja di koperasi tersebut ternyata bukan keuntungan finansial yang diperolehnya, justru utang yang menumpuk sampai Rp22 juta.
Menurut bapak tiga anak ini, biasanya ia mendapatkan untung harian jika berdagang, tapi dengan kerja di koperasi itu ia mendapatkan gajinya bulanan. "Gaji bulanan itu ternyata tak cukup untuk biaya hidup dan sekolah anak," katanya.
Tahun 2004 ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ia kemudian menggadaikan rumahnya yang dibelinya secara susah payah dari hasil jualan bakso. "Hasil dari gadai rumah itu Rp38 juta saya pakai untuk bayar utang dan modal usaha," jelasnya.
Sejak itulah ia mulai merintis jualan soto di depan SMPN 12 Batam. Kondisi warungnya saat itu seadanya, berdinding triplek dan berlantai tanah bekas timbunan rawa. Seringkali saat sedang banjir lantai warungnya itu kelelep. Dia pun sering bolak-balik membangun ulang warungnya. Tempat makannya itu awalnya menjadi langganan anak-anak sekolah.
"Sayang kemudian pelanggan tetap saya ini mulai dapat larangan jajan di luar, jadilah tempat makan saya kemudian sepi," ujarnya.
Tukiman bersyukur waktu itu ia mendapatkan bantuan dana dari sebuah bank nasional untuk membangun warungnya. Keadaan membaik, anak pertamanya waktu itu juga melanjutkan kuliah Akademi Kebidanan di Solo. Soto kwali miliknya mulai dikenal.
Cobaan terus menimpanya. 14 Oktober 2009 seminggu saat ia sampai di Batam dari menghadiri wisuda anaknya di Solo, warung soto kwalinya dilalap si jago merah. Ludes tak bersisa. "Benar-benar habis, rata dengan tanah, kerugian waktu itu mencapai ratusan juta," kenangnya.
Banyak pihak yang turut berduka waktu itu, sehingga banyak yang menyumbang bahan bangunan kepada Tukiman. Ada yang menyumbang asbes, memberi semen, sampai meminjamkan alat-alat dapur. Hanya dalam waktu 16 hari ia kembali berjualan. Pelan-pelan warungnya kembali dibangun.
"Tapi ujian tak hanya sampai situ. 7 April 2011 warung saya kembali terbakar, waktu itu bangunan baru semi permanen temboknya masih separuh batu. Kali ini kebakarannya hanya separuh tidak sampai ludes," katanya.
Dua kali mendapatkan musibah kebakaran, ia tetap berusaha berjualan, bangkit pelan-pelan, dan terus tekun mempertahankan bisnis soto kwalinya. Di tahun yang sama ia dikejutkan dengan orang yang tiba-tiba memintanya bekerja sama dengan mewaralabakan usahanya.
"Waktu itu dia datang dan membicarakan tentang franchise (waralaba), saya malah tidak tahu franchise itu apa," ucapnya jujur.
Itulah pertama kali soto kwalinya diwaralabakan. Tukiman lalu menghubungi salah satu notaris yang dikenalnya. Ia mempertanyakan bagaimana mengurus badan hukum untuk usahanya.
"Ya sudah jualan gitu saja yang penting laku, macam mau di-franchise-kan saja," Tukiman menirukan ucapan si notaris.
Saat disebutkan bahwa memang soto kwalinya sudah diwaralabakan, si notaris itu akhirnya bersedia membantunya. Hingga kini soto kwalinya itu telah memiliki sertifikat halal dari LPOM MUI, Hak Paten Intelektual (HaKI), serta sertifikat rumah makan higienis dari Dinas Kesehatan Kota Batam. Cabang kemitraan pertama soto kwali itu terletak di Ruko Bida Asri 2 Batam Centre.
"Lalu menyusul lagi dengan cabang-cabang lain seperti yang di Ruko Bengkong Harapan, Kavling Punggur, Ruko Plamo, Kantin Kantor PDI-P Batam Centre, Perum Puri Agung 1 Tanjung Piayu, Ruko Tiban Princess dan Ruko SP Plaza Batu Aji," jelasnya.
Tukiman juga mengungkapkan, di balik nama 'Sukoharjo Makmur' yang digunakan sebagai merek dagang soto kwalinya, ia ingin mengubah kesan masyarakat tentang Sukoharjo sebagai sarang teroris.
"Beberapa rentetan penangkapan sejumlah orang di sana yang disinyalir melakukan kegiatan terorisme ada di Sukoharjo, maka saya ingin mengenalkan kepada orang-orang lebih kepada sotonya daripada terorisnya," katanya sungguh-sungguh.
Melalui usaha ini pula ia berusaha menjalin persaudaraan silaturahmi antara masyarakat Jawa yang merantau di Batam.
PILIHAN:
Jamaah Tarekat Syattariyah Salat Idul Adha Hari Ini
(zik)