Garap Golput, Rasiyo-Lucy Bisa Menang
A
A
A
SURABAYA - Peluang pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari untuk memenangkan Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2015 terbuka lebar. Syaratnya, Demokrat dan PAN harus bisa menggarap masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih pada 2010.
Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Suko Widodo menilai, Rasiyo- Lucy tetap punya potensi menang atas petahana Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana. Namun, pasangan ini harus bisa memanfaatkan suara kelompok yang biasa disebut golongan putih (golput) tersebut, dalam rentang waktu cukup sempit hingga dilangsungkan pemilihan pada Desember mendatang.
Berdasarkan data hasil Pilwali Surabaya 2010, diketahui ada 52% pemilih tidak menggunakan hal pilih. Sementara sebagai pemenang, pasangan Risma- Bambang DH mendulang 358.187 suara atau 38,53%.
Berikutnya pasangan Arif Afandi-Adies Kadir dengan 327.516 suara (35,25%); pasangan Fandi Utomo- Yulius Bustami (Fu-Yu) sebanyak 129.172 suara (13,90%); pasangan BF Sutadi-Mazlan Mansur (Dimaz) sebanyak 61.648 suara (6,63%); dan terakhir pasangan Fitradjaja Purnama-Naen Soeryono (independen) dengan perolehan 53.110 suara (5,71%).
Suko menjelaskan, raihan suara Risma-Bambang DH saat itu hampir sama dengan suara kemenangan PDIP pada Pemilihan Legislatif (Pileg 2014) diSurabaya, yakni mendapat 346.287 suara. Dengan kata lain, suara untuk Risma pada 2010 berasal dari PDIP dan tidak terjadi perubahan terlalu signifikan setelah empat tahun.
Meski mengakui kalkulasi suara itu bisa berubah tahun ini, Suko mengatakan, setidaknya hasil Pilwali 2010 dan Pileg 2014 tersebut bisa menggambarkan potensi dukungan Risma pada Pilwali 9 Desember nanti. “Jadi pemenang Pilkada Surabaya pada 2010 itu sebenarnya golput yang mencapai 52%. Karena itu, saat ini siapa yang bisa menarik simpati dan dukungan kelompok golput, maka dipastikan pasangan tersebut bakal menang,” ujar Suko.
Suko berpendapat golput di Surabaya umumnya adalah kelompok apatis politik kelas ekonomi menengah ke atas. Mereka bermukim di kawasan- kawasan elite, seperti Citraland, Pakuwon, dan lainnya atau masyarakat pendatang. “Ya memang tidak mudah. Tapi kalau memang serius bekerja keras, bukan tidak mungkin pasangan Rasiyo-Lucy bakal menang,” ujar dia.
Diakui Suko, Risma-Wisnu lebih diuntungkan karena konstituen PDIP lebih loyal dibandingkan massa pendukung Demokrat danPAN. Tapi bila mesin partai pengusung Rasiyo-Lucy bisa lebih hidup dalam mengorganisasi dukungan kelompok golput, Rasiyo-Lucy yang akan menang. “Sebab dalam pilkada yang dijual adalah sosok, bukan partai pengusung,” kata Suko.
Di mata Suko, bobot rivalitas Risma-Wisnu dengan Rasiyo- Lucy berimbang. Kedua pasangan punya kelebihan dan kelemahan. Risma dan Rasiyo misalnya, disebut Suko sebagai sosok birokrat berpengalaman dan tentu punya banyak pengaruh. Di sisi lain, Wisnu dan Lucy sama-sama politikus memiliki massa konstituen riil. “Saya kira kedua pasangan calon itu bisa memenuhi ekspektasi warga Surabaya,” kata dosen murah senyum ini.
Risma, kata Suko, dikenal bagus selama memimpin Surabaya namun tetap memiliki kelemahan. Namun dalam pemilihan nanti, Risma juga harus bertarung mendapatkan suara perempuan. Lucy, kata Suko, memang diharapkan partai pengusung untuk bisa mendulang suara dari pemilih perempuan.
Selain jumlahnya lebih banyak, pemilih perempuan relatif lebih konsisten. “Risma lebih kuat karena trust (kredibilitas), sedangkan Lucy lebih kuat dalam expert (keahlian). Jadi faktor penentu dan pertempurannya adalah bergantung pada aktraktivitas keduanya dalam mempengaruhi pemilih perempuan,” ujarnya.
Begitu juga ekspektasi masyarakat Surabaya terhadap pasangan calon, menurut Suko, juga berbeda-beda antara wilayah perkotaan, tengah, dan pinggiran. Di perkotaan, kata Suko, masyarakatnya cenderung bersifat personal atau kandidat bisa memberi apa pada pemilih (relative benefit), sedangkan di pinggiran cenderung bersifat komunal. “Harapan warga Surabaya, pemimpin ke depan bisa mengatasi soal kemacetan, banjir, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan ruang publik. Jadi calon wali kota Surabaya bisa penuhi harapan warga yang punya peluang menang,” ungkapnya.
Sebelumnya pandangan yang sama juga diungkapkan, pengamat politik Unair Surabaya, Hariyadi. Dia menilai peluang pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari untuk lolos sebagai calonwalikotadanwakilnya dari PartaiDemokrat danPANcukup besar. "Ini karena Pakde Karwo (Gubernur Jawa Timur Soekarwo, yang notabene Ketua DPD Partai Demokrat Jatim) memiliki kepentingan pilkada serentak bisa berlanGsung di daerahnya," kata Hariyadi.
Menurut dia, Partai Amanat Nasional (PAN) dalam situasi keharusan menopang penyelenggaraan pilkada. Meskipun bakal calon yang diusung bukan berasal dari PAN, namun sebelumnya PAN telah menyatakan dukungan pada pemerintahan Jokowi. "Sebagai bentuk komitmen itu dengan mendukung terselenggaranya pilkada serentak di Jatim," tutur Hariyadi.
Ia menilai, dengan dengan keikutsertaan PAN menyukseskan pilkada serentak, berarti partai berlambang matahari terbit ini mendukung suksesnya pemerintahan. "Suksesnya pilkada serentak, suksesnya pemerintahan," katanya.
Ihya ulumuddin/ Lukman hakim /ant
Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Suko Widodo menilai, Rasiyo- Lucy tetap punya potensi menang atas petahana Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana. Namun, pasangan ini harus bisa memanfaatkan suara kelompok yang biasa disebut golongan putih (golput) tersebut, dalam rentang waktu cukup sempit hingga dilangsungkan pemilihan pada Desember mendatang.
Berdasarkan data hasil Pilwali Surabaya 2010, diketahui ada 52% pemilih tidak menggunakan hal pilih. Sementara sebagai pemenang, pasangan Risma- Bambang DH mendulang 358.187 suara atau 38,53%.
Berikutnya pasangan Arif Afandi-Adies Kadir dengan 327.516 suara (35,25%); pasangan Fandi Utomo- Yulius Bustami (Fu-Yu) sebanyak 129.172 suara (13,90%); pasangan BF Sutadi-Mazlan Mansur (Dimaz) sebanyak 61.648 suara (6,63%); dan terakhir pasangan Fitradjaja Purnama-Naen Soeryono (independen) dengan perolehan 53.110 suara (5,71%).
Suko menjelaskan, raihan suara Risma-Bambang DH saat itu hampir sama dengan suara kemenangan PDIP pada Pemilihan Legislatif (Pileg 2014) diSurabaya, yakni mendapat 346.287 suara. Dengan kata lain, suara untuk Risma pada 2010 berasal dari PDIP dan tidak terjadi perubahan terlalu signifikan setelah empat tahun.
Meski mengakui kalkulasi suara itu bisa berubah tahun ini, Suko mengatakan, setidaknya hasil Pilwali 2010 dan Pileg 2014 tersebut bisa menggambarkan potensi dukungan Risma pada Pilwali 9 Desember nanti. “Jadi pemenang Pilkada Surabaya pada 2010 itu sebenarnya golput yang mencapai 52%. Karena itu, saat ini siapa yang bisa menarik simpati dan dukungan kelompok golput, maka dipastikan pasangan tersebut bakal menang,” ujar Suko.
Suko berpendapat golput di Surabaya umumnya adalah kelompok apatis politik kelas ekonomi menengah ke atas. Mereka bermukim di kawasan- kawasan elite, seperti Citraland, Pakuwon, dan lainnya atau masyarakat pendatang. “Ya memang tidak mudah. Tapi kalau memang serius bekerja keras, bukan tidak mungkin pasangan Rasiyo-Lucy bakal menang,” ujar dia.
Diakui Suko, Risma-Wisnu lebih diuntungkan karena konstituen PDIP lebih loyal dibandingkan massa pendukung Demokrat danPAN. Tapi bila mesin partai pengusung Rasiyo-Lucy bisa lebih hidup dalam mengorganisasi dukungan kelompok golput, Rasiyo-Lucy yang akan menang. “Sebab dalam pilkada yang dijual adalah sosok, bukan partai pengusung,” kata Suko.
Di mata Suko, bobot rivalitas Risma-Wisnu dengan Rasiyo- Lucy berimbang. Kedua pasangan punya kelebihan dan kelemahan. Risma dan Rasiyo misalnya, disebut Suko sebagai sosok birokrat berpengalaman dan tentu punya banyak pengaruh. Di sisi lain, Wisnu dan Lucy sama-sama politikus memiliki massa konstituen riil. “Saya kira kedua pasangan calon itu bisa memenuhi ekspektasi warga Surabaya,” kata dosen murah senyum ini.
Risma, kata Suko, dikenal bagus selama memimpin Surabaya namun tetap memiliki kelemahan. Namun dalam pemilihan nanti, Risma juga harus bertarung mendapatkan suara perempuan. Lucy, kata Suko, memang diharapkan partai pengusung untuk bisa mendulang suara dari pemilih perempuan.
Selain jumlahnya lebih banyak, pemilih perempuan relatif lebih konsisten. “Risma lebih kuat karena trust (kredibilitas), sedangkan Lucy lebih kuat dalam expert (keahlian). Jadi faktor penentu dan pertempurannya adalah bergantung pada aktraktivitas keduanya dalam mempengaruhi pemilih perempuan,” ujarnya.
Begitu juga ekspektasi masyarakat Surabaya terhadap pasangan calon, menurut Suko, juga berbeda-beda antara wilayah perkotaan, tengah, dan pinggiran. Di perkotaan, kata Suko, masyarakatnya cenderung bersifat personal atau kandidat bisa memberi apa pada pemilih (relative benefit), sedangkan di pinggiran cenderung bersifat komunal. “Harapan warga Surabaya, pemimpin ke depan bisa mengatasi soal kemacetan, banjir, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan ruang publik. Jadi calon wali kota Surabaya bisa penuhi harapan warga yang punya peluang menang,” ungkapnya.
Sebelumnya pandangan yang sama juga diungkapkan, pengamat politik Unair Surabaya, Hariyadi. Dia menilai peluang pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari untuk lolos sebagai calonwalikotadanwakilnya dari PartaiDemokrat danPANcukup besar. "Ini karena Pakde Karwo (Gubernur Jawa Timur Soekarwo, yang notabene Ketua DPD Partai Demokrat Jatim) memiliki kepentingan pilkada serentak bisa berlanGsung di daerahnya," kata Hariyadi.
Menurut dia, Partai Amanat Nasional (PAN) dalam situasi keharusan menopang penyelenggaraan pilkada. Meskipun bakal calon yang diusung bukan berasal dari PAN, namun sebelumnya PAN telah menyatakan dukungan pada pemerintahan Jokowi. "Sebagai bentuk komitmen itu dengan mendukung terselenggaranya pilkada serentak di Jatim," tutur Hariyadi.
Ia menilai, dengan dengan keikutsertaan PAN menyukseskan pilkada serentak, berarti partai berlambang matahari terbit ini mendukung suksesnya pemerintahan. "Suksesnya pilkada serentak, suksesnya pemerintahan," katanya.
Ihya ulumuddin/ Lukman hakim /ant
(ftr)