Kurikulum Bingung

Minggu, 30 Agustus 2015 - 09:47 WIB
Kurikulum Bingung
Kurikulum Bingung
A A A
Penerapan Kurikulum 13 (K-13) ternyata tidak sepenuhnya dimengerti pengajar di sekolah-sekolah. Akibatnya, wali murid kebingungan bagaimana membantu anak belajar di rumah.

Sekitar bulan lalu, kami harus menghadiri rapat pertemuan wali murid dengan pihak sekolah. Jika rapat lain, mungkin kami tidak datang. Namun, kali ini kami datang, mengingat anak sudah kelas VI.

Setidaknya ada penjelasan terkait ujian nasional (UN) yang akan dilaksanakan sekitar Maret 2016. Itu artinya persiapan anak kami (juga siswa kelas VI lain) tidak sampai satu tahun. Pukul 06.30 WIB, Kepala SDN Semolowaru I/261 Ribut Suprayitno langsung membuka rapat. Didamping dua guru wali kelas VI, Ribut menjelaskan banyak hal terkait proses belajar.

Satu di antaranya, Ribut menegaskan bahwa SDN 261 menggunakan K- 13. Dengan kurikulum baru ini, memang ada konsekuensi orang tua harus terlibat aktif dalam proses belajar-mengajar anak. Mendukung persiapan UN, pihak sekolah juga memberi tambahan jam pelajaran untuk IPA, matematika, dan bahasa Indonesia.

“Tapi tidak perlu khawatir, kelulusannya dihitung berdasarkan penilaian sejak kelas IV. Jadi ijazahnya nanti itu tidak hanya nilai kelas VI,” kata pria yang gaya bicaranya ceplas-ceplos tersebut. Dia menjelaskan, jadwal kegiatan lain untuk mendukung UN di antaranya tes uji coba. “Kita akan melaksanakan tryout UN tiga kali. Namun, masih diusahakan kalau bisa nanti akan dilaksanakan enam kali agar anak-anak bisa lebih lancar,” katanya. Ribut kemudian berjanji akan mengadakan lagi pertemuan dengan wali murid.

“Nek diundang ojo sampai ga teko . Harus datang biar kita sama-sama enak dalam membimbing anak-anak kita,” katanya. Selanjutnya guru wali kelas diberi kesempatan untuk memberi penjelasan. Kegelisahan terkait kurikulum pun muncul dari para wali murid. Pasalnya, dalam K-13 model pembelajarannya adalah tematik. Jadi, dalam suatu tema terdapat semua mata pelajaran yang tidak terpisah secara jelas. Beda memang dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang pembagiannya berdasar mata pelajaran.

“Jadi mohon penjelasannya, soal kurikulum ini bagaimana agar kami bisa membimbing anak-anak untuk belajar menghadapi UN. Karena setahu saya, masih ada sekolah lain yang menggunakan KTSP,” ujar salah satu wali murid. Guru Wali Kelas VI B, Nur Hidayat pun berusaha memberi jawaban agar wali murid itu lebih tenang.

“Tidak perlu bingung. Memang belum semua menggunakan Kurikulum 13. Untuk sekolah swasta memang lebih banyak yang kembali menggunakan KTSP. Sedangkan, sekolah ini tetap memakai Kurikulum 13,” papar guru humoris ini. Sebagai bahan belajar, Dayat menyarankan agar siswa juga dibekali buku KTSP khusus tiga mata pelajaran yang diujikan dalam UN. “Monggo nanti untuk bahan belajar menghadapi UN, anak-anak bisa dibelikan buku KTSP IPA, matematika, dan Bahasa Indonesia,” imbaunya.

Buku-buku KTSP memang lebih banyak penjelasannya. “Jadi nanti misalnya ada soal, terus jawabannya tidak ada di buku paket K-13, bisa dicari di buku KTSP. Bapak-bapak dan ibu-ibu wis ga usah bingung soal memakai kurikulum apa, sebab gurue dewe iki juga bingung kurikulum gontaganti ,” kelakar Dayat. Para wali murid hanya bisa tersenyum mendengar penjelasannya itu.

Jadi Momok Bersama

Memang soal dua kurikulum yang berlaku ini berdampak luas. Jika anak masih belum menghadapi UN, mungkin tidak terlalu khawatir. Namun, berhadapan dengan UN, baik kelas VI, IX, atau XII, hal ini menjadi momok para wali murid maupun siswa.

Kepala Dinas Pendidikan (Kadindik) Jatim Saiful Rachman mengatakan, sampai saat ini belum ada koordinasi dari pusat untuk membicarakan K-13. Karena itu, masih ada dua kurikulum yang digunakan sekolah, yakni KTSP 2006 dan K-13. Seperti diketahui, terdapat 1.053 lembaga sekolah di Jatim yang menjadi pilot project pelaksanaan K-13. Namun, data ini terus berkembang seiring pengajuan yang dilakukan masingmasing sekolah.

“Ini malah membawa kesan setiap sekolah jalan sendiri-sendiri dengan memakai pola ini. Dinas Pendidikan di kabupaten/kota sendiri tidak akan tahu kalau tidak dilapori sekolah,” tutur Saiful. Menurutnya, satu-satunya yang mengikat dalam pendidikan itu adalah kurikulum dan harus bersifat nasional. “Kurikulum ini pemersatu bangsa. Kalau bedabeda, bukan kurikulum namanya,” ungkapnya.

Di sisi lain, pelaksanaan K-13 yang telah sampai pada tahun ketiga ini akan dihadapkan pada UN.Karena itu, pemerintah baik di kabupaten/kota maupun provinsi harus melakukan verifikasi lebih cermat sekolah mana saja yang benar-benar sudah melaksanakan K-13 dan yang belum. “Disetujui menggunakan K-13 atau tidak itu baru bisa diketahui setelah statusnya di Dapodik (data pokok pendidikan) diizinkan atau tidak. Itu yang tahu dari setiap sekolah masing-masing,” tutur dia.

Status sekolah harus jelas menggunakan kurikulum apa, karena ini berkaitan dengan soal yang berlaku dalam UN 2016. Tarik-ulur kurikulum juga membuat para penjual buku bingung. Ini terasa bila kita mencari buku pelajaran di Pasar Blauran atau Kampung Ilmu Jalan Semarang. Banyak pedagang (mungkin bermodal kecil) yang tidak berani menyetok buku pelajaran sekolah.

“Daripada bingung, mending ga kulakan dulu. Katanya sudah tidak memakai KTSP, tapi katanya juga K-13 tidak berlaku lagi,” kata salah satu pedagang di Pasar Blauran. Namun, memang tidak semua pedagang demikian. Masih ada juga yang menjual buku dari kedua kurikulum itu. Jadi, tidak perlu bingung karena semua memang sedang bingung. Terpenting, dampingi anak-anak menghadapi UN dengan serius tapi santai.

Zaki zubaidi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6225 seconds (0.1#10.140)