One Monkey Show

Minggu, 16 Agustus 2015 - 11:30 WIB
One Monkey Show
One Monkey Show
A A A
Tiba-Tiba terdengar suara gaduh di kawasan tepi Jalan Menur beberapa hari lalu. Bunyi yang bersumber dari dua alat musik pukul itu menyedot perhatian. Anak-anak pun bergegas mendekat. Suara tetabuhan semakin rancak, meski hanya dari kendang dan kulintang kecil. Seekor monyet pun beraksi sesuai perintah sang pawang.

Ya, pertunjukan topeng monyet atau yang dikenal dengan tandak bedhesoleh warga Surabaya sudah dimulai. Si monyet yang beraksi itu sering dijuluki Sarimin. Jadi, sebut saja monyet dalam tulisan ini Sarimin, meski sang pawang kini tidak lagi memanggilnya dengan nama itu.

Dengan gelang besi di leher dan terkait tampar panjang, Sarimin menghibur penonton untuk mendapat uang bagi sang pawang. Sarimin pada era milenium ini tampil lebih keren. Dia tidak lagi menunggang anjing, tapi sebuah motor balap dengan tulisan Monster. Dengan sekali hentakan tali di tangan sang pawang, motor itu melaju cepat hingga sekitar 10 meter dan Sarimin berlagak seperti pembalap andal. Sarimin beberapa kali ngebut dengan iringan suara tetabuhan.

Setiap kali Sarimin dan motornya mendekat, kerumunan anak-anak pun melangkah mundur. Sarimin menjauh, kerumunan melangkah maju lagi. Setelah ngebut, Sarimin beraksi seperti pembalap yang mengalami selip di lintasan. Sarimin beraksi terjatuh dan pura-pura mati, sementara motornya tergulingguling. Setelah akting kecelakaan, Sarimin bangkit lagi. Iringan tetabuhan masih bertalu-talu.

Sarimin bersiap melanjutkan aksinya. Iringan musik oplosan terdengar. Seperti seorang pemabuk, Sarimin menggenggam botol yang dibentuk serupa salah satu merek minuman keras terkenal. Ia tenggak beberapa kali, lalu tubuhnya seolah klenger karena mabuk berat. ”Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu. Emanen nyawamu ojo mbok terus-teruske...,” Sang Pawang bernyanyi.

Lalu Sarimin ambruk seperti overdosis. Adegan mabuk itu pun diulang beberapa kali. Dengan hentakan tali, Sarimin kembali mendekat kepada sang pawang. Botol diletakkan, Sarimin mengambil sajadah, mengenakan sarung dan peci. Ya, Sarimin berakting seperti orang salat. Pemabuk itu insaf.

Adegan demi adegan berlangsung. Tawa renyah dan tepuk tangan beberapa kali terdengar untuk atraksi dan akting Sarimin. Hingga pertunjukan akan berakhir, Sarimin membawa kantong dan menyodorkannya kepada para penonton yang telah dihiburnya. Koin demi koin, lembar demi lembar uang pun diberikan. Biaya yang murah untuk tawa bahagia dari hiburan seni tradisional.

Nasib Sarimin kini memang beda dengan bapak moyangnya terdahulu. Hingga sekitar 1990-an, Sarimin tampil tidak sendiri. Saat menghibur masyarakat, Sarimin selalu ditemani anjing dan ular. Trio binatang ini kerja bareng dengan apik lewat asuhan pawang. Tetapi, pelan-pelan Sarimin ditinggalkan para partnernya. Memang tidak langsung Sarimin menjadi one monkey show.

Paling dulu lengser dari trio tandak bedhes adalah ular. Pertunjukan hanya dimainkan Sarimin dan anjing. Tetapi pelan dan pasti, anjing juga tidak lagi ikut beraksi. Kini tinggallah Sarimin sendiri. ”Kalau membawa tiga binatang itu semakin lama biaya perawatannya juga semakin mahal,” ucap Karyadi, sang pawang, seusai pertunjukan. Penjelasan singkat tetapi logis sekali. Demi menghemat biaya, Sarimin harus one monkey show.

Hiburan dan Pesan Moral

Belum ada literatur resmi yang menjelaskan secara pasti sejak kapan topeng monyet ada di Indonesia. Namun, berbagai sumber ada yang menceritakan bahwa pertunjukan sirkus mini itu sudah ada sejak akhir abad 19. Salah satu cerita tentang monyet terdapat di novel berjudul Roro Mendut karya YB Mangunwijaya sekitar 1981.

Topeng monyet dalam novel tersebut disebut kethek ogleng atau berarti monyet yang serba bergerak tidak seimbang, kikuk, dan lucu dan dimanfaatkan untuk ngamen dalam pertunjukan topeng monyet. Literatur lain adalah ditemukannya dokumentasi foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Pada hasil jepretan Charles Breijer, anggota de Ondergedoken Camera atau juru foto Amsterdam yang bekerja di Indonesia pada 1947- 1953, terdapat foto-foto topeng monyet seperti yang ada saat ini.

Sementara itu, Matthew Isaac Cohen dalam bukunya berjudul The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903 di halaman 341, menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing terkait perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda sudah ada pada akhir abad ke-19. Biarlah para ahli sibuk mencari kepastian pertunjukan rakyat ini masuk ke Tanah Air.

Namun yang pasti, pada awal sejarahnya, topeng monyet adalah sebuah pertunjukan komersial yang tujuan utamanya sebagai sarana hiburan. ”Tapi sekarang pelaku seni tradisional topeng monyet melakukan penyesuaian dengan perkembangan zaman. Mereka menyisipkan isu terhangat saat ini,” kata sejarawan RN Bayu Aji.

Dia pun sempat mengamati, kini bahkan ada pesan moral yang disampaikan dalam pertunjukan topeng monyet. ”Saya pernah melihat, ada pesan agar tertib berlalu lintas untuk memakai helm dan tidak kebut-kebutan di jalan,” katanya. Dia menegaskan, masih ada juga pesan moral soal bahaya minuman keras.

”Ini kan menarik. Jadi, secara tidak langsung harus mengikuti perkembangan zaman dengan segala persoalannya. Tidak melulu mempertunjukkan Sarimin pergi ke pasar,” tandasnya sambil tersenyum.

Zaki zubaidi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8017 seconds (0.1#10.140)