Ongkos Mahal Identitas Palsu

Minggu, 02 Agustus 2015 - 09:56 WIB
Ongkos Mahal Identitas Palsu
Ongkos Mahal Identitas Palsu
A A A
Lebaran telah lewat. Musim tahun ajaran baru telah tiba. Kami pun menyiapkan segalah keperluan sekolah anak-anak. Kebutuhan sekolah sudah terpenuhi, namun ada tanggungan yang harus ditunaikan.

Anak kami yang pertama menghilangkan dua buku pelajaran yang dipinjam dari perpustakaan sekolahnya. Kami pun harus mencari gantinya dan memutuskan untuk mencarinya ke Pasar Blauran. Kamis (30/7) malam sekitar pukul 19.30 WIB, kami tiba di salah satu pasar legendaris tersebut.

Ternyata di blok penjual emas di sisi Jalan Blauran, parkiran sangat membeludak. Toko-toko emas terlihat dipenuhi pengunjung. Kami pun berbelok ke arah Jalan Kranggan dengan harapan tempat parkir lebih longgar. Ternyata dugaan itu keliru, di lokasi itu malah lebih ramai. Tampak beberapa petugas Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya berjaga.

Terlihat ada ruang untuk memarkir motor tapi para juru parkir tidak memperbolehkannya. Hingga agak jauh dari petugas Dishub, kami berhasil memarkir motor. Kami segera menuju blok penjual buku. Melewati blok penjual makanan, pakaian, dan beberapa blok lainnya juga tidak terlalu ramai. Agak sedikit ramai di blok penjual buku pelajaran sekolah.

Para orang tua (seperti juga kami) sibuk mencari buku pelajaran untuk anakanaknya. Singkat cerita, urusan kami telah beres. Sekadar penghapus lelah, kami menikmati dawet di stan makanan tradisional. Beberapa obrolan pun melintas dan mampir di kuping.

Ada yang baru saja menjual perhiasan untuk kembali mencukupi kebutuhan sehari-hari, juga kebutuhan sekolah anak-anaknya.Ya, Lebaran dengan tradisi mudiknya memang membuat sebagian masyarakat kita bersusah payah tampil luar biasa (karena tidak seperti kehidupan sehari-harinya).

Masyarakat desa masih saja menilai keberhasilan seseorang di perantauan berdasar barang-barang yang dibawanya saat mudik Lebaran. Itu juga yang kami rasakan saat mudik ke Cilacap. Pulang kampung dengan mobil adalah sebuah kebanggaan. Tentu saja hal-hal semacam itu butuh ongkos yang mahal. Demi sebuah identitas agar dianggap sukses.

Seperti halnya emas, mobil dan motor pun pasca-Lebaran bernasib sama. Barang-barang itu dijual setelah ”dipamerkan” di kampung halaman. Ada ongkos yang dikeluarkan saat membelinya. Meski bisa dijual lagi, tentu saja ada kerugian yang harus diterima. Belum lagi (dengan kaca mata berburuk sangka) besarnya uang yang dibagikan kepada sanak famili.

Nominal yang dikeluarkan untuk angpau ini juga seolah menjadi standar keberhasilan. Semakin besar uang yang dibagi-bagikan dianggap semakin tinggi status sosial seseorang di tempat perantauan. Padahal, bisa jadi dan sangat mungkin saat Lebaran yang ditampilkan adalah kondisi luar biasa (karena tidak seperti kehidupan hari-hari biasanya).

Hal-hal itu sepertinya tidak menjadi masalah karena tampil luar biasa saat Lebaran dianggap jauh lebih urgen dari pada tampil biasa sesuai identitas yang sesungguhnya. Sebab, itu hal semacam ini hakikatnya tak akan mampu menjadi identitas, hanya sebuah pencitraan belaka. Mungkin.

Fluktuasi Identitas

Identitas memang bisa direkayasa. Sebab, identitas itu tak ubahnya sebuah proyek seperti yang dicetuskan Anthony Giddens. Ia berpendapat bahwa identitas diri dapat disebut sebagai proyek. Identitas diri ini terbangun oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri sehingga membangun suatu perasaan terusmenerus tentang adanya kontinuitas biografis.

Identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: “Apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?” Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan.Jadi, identitas diri bukanlah sifat distingtif, bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki individu.

Ini adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh seseorang dalam konteks biografinya. Argumen Giddens sesuai pandangan awam kita tentang identitas. Karena dia mengatakan bahwa identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi. Tentu, dia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki; ini bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk.

Agaknya, identitas adalah cara berpikir tentang diri kita. Namun, yang kita pikir tentang diri kita berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya. Itulah mengapa Giddens menyebut identitas adalah proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan,

sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu yang datang kemudian. Proyek identitas membangun apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita inginkan. Identitas harapan kita ke depan.

Zaki zubaidi/ berbagai sumber
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6331 seconds (0.1#10.140)