Terkenang Telepon Umum Koin
A
A
A
BEBERAPA hari belakangan ini, terutama siang, cuaca di Surabaya sangat terik meski angin semilir lebih dingin dari biasanya. Begitulah yang kami rasakan saat menyusuri kawasan pantai Kenjeran, Kamis (2/7) siang lalu.
Hari itu kami bersama teman Miko sedang mencari alamat rumah yang di jual di Jalan Bulak Kenjeran Gg II, Jalan Kyai Tambak Deres. Dia mendapat alamat itu dari mertuanya yang ada di Bangkalan. Berbekal peta lokasi di Google Map, lokasi tersebut bisa ditempuh dari Jalan Kedung Cowek dan kawasan Bulak.
Kami memutuskan menyisir lewat Pantai Ria Kenjeran. Pasalnya, menurut keterangan mertua Miko, alamat tersebut dekat Nambangan. Kami pun berboncengan mencari alamat tersebut. Di dekat Pantai Kenjeran Lama kami menemukan Jalan Tambak Deres. Kami pun masuk ke gang yang dimaksud. Sayangnya, rumah yang dicari tidak sesuai dengan informasi yang didapat Miko. Kebetulan hanya Miko yang membawa ponsel. Dia juga tidak bisa menelepon untuk memastikan alamatnya. Kami akhirnya memutuskan untuk mengkroscek alamat dengan bertanya kepada warga.
”Alamat ini bukan di sini. Di sini Tambak Deres, kalau Kyai Tambak Deres itu dekat sentra ikan Bulak sana,” ujar warga yang sedang sibuk menggosok akik tersebut. Kami pun melanjutkan perjalanan dan menjadikan salah alamat ini guyonan. ”Oalah, ternyata Tambak Deres yang ini belum jadi kyai. Sing kyai dekat Nambangan,” celetuk Miko. Kami melintas menyisir pantai dan Jembatan Suramadu di kejauhan hanya tampak abu-abu.
”Pulsa habis, ga ada warnet, telepon umum tinggal boksnya tok ,” celetuknya tiba-tiba setelah melewati sebuah telepon umum koin. Sekitar 10 menit kemudian kami sudah menemukan dan berada di Jalan Kyai Tambak Deres. Agar bisa lebih cepat, kami bertanya kepada seorang mekanik sepeda motor yang sibuk di bengkel kawasan Bogorami. Mekanik tersebut bingung karena kami sedikit keliru saat bertanya. ”Kalau Jalan Kyai Tambak Deres itu tidak ada gangnya. Kalau yang dimaksud gang kedua berarti dari ujung gang masuk dekat Kedung Cowek,” ucapnya.
Kami malah semakin bingung dibuatnya. Ingin menelepon mertua, tapi ponsel Miko sedang tidak ada pulsa reguler. Kami berhenti sejenak di bawah pohon rindang. Miko terlihat bingung membaca alamat yang ditulisnya di selembar kertas. Sekitar lima menit, tiba-tiba dia menepuk jidatnya. ”Oalah tadi kita salah bertanya, seharusnya yang kita tanyakan Jalan Bulak Kenjeran, bukan Jalan Kyai Tambak Deres,” ucapnya.
Miko lalu memutar arah motor. Ia sudah sempat melihat papan jalan tersebut. Akhirnya, alamat yang dicari ketemu. Untuk menuju Jalan Bulak Kenjeran, memang harus melalui Jalan Kyai Tambak Deres. Benar kata mekanik juga, tidak ada Jalan Kyai Tambak Deres Gang 2. ”Ya ngene iki lo, nek handphone cuman digawe ngegame ,” kelakar Miko mengolok dirinya sendiri karena lupa mengisi pulsa.
Telepon Umum, Koin untuk Pacar
Dulu, sekitar tahun 80-90an, telepon adalah sebuah alat komunikasi. Ya, telepon digunakan untuk berbicara. Ketika itu teknologi di negeri ini belum banyak yang menggunakan mobile phone . Telepon hanya ada di rumah. Jika di luar rumah, untuk telepon bisa pergi ke wartel atau ke telepon umum. Tidak banyak yang dikisahkan di wartel selain argo pulsa yang terkadang berjalan lebih cepat.
Namun, di telepon umum, banyak cerita di sana. Kala itu uang logam masih sangat berharga. Uang logam adalah bagian penting dari sebuah komunikasi. Uang logam seratus rupiah (kalau tidak salah) bisa digunakan untuk bicara selama 6 menit. Bisa dibayangkan, untuk menelepon kekasih berlama-lama, seseorang harus membawa sekantong recehan. Saat dia berjalan menuju telepon umum, terdengar suara khas, criiikkk...criikkk....crikkk. Itu seperti sebuah nada indah untuk menuju lokasi bercinta jarak jauh, telepon umum.
Dalam perkembangannya, ada juga kenakalan-kenakalan untuk membobol telepon umum koin agar satu logam seratus rupiah bisa digunakan telepon berjam-jam. Menggelikan, seperti seorang mafia telepon umum saat membawa uang logam dengan diikat benang. Butuh timing yang jitu agar koin dengan benang itu mengganjal dengan pas sehingga satu koin bisa membobol pulsa telepon berjam-jam. Bahkan, koin itu bisa diambil kembali, keluar dengan selamat dari boks telepon.
Maka, jangan heran jika pada masa itu gampang dijumpai uang loga berlubang tepinya seperti liontin kalung. ”Wah , kalau tidak ahlinya, ga bisa menggunakan koin terikat benang itu,” ujar Sakson sambil tertawa mengenang kelakuannya semasa kuliah di Fisip Universitas Airlangga angkatan 1997. Dia kini sudah bekerja sebagai PNS di Kabupaten Malang. Kebetulan, dia sering di Surabaya karena menuntaskan kuliah pascasarjananya.
Kenakalan mafia telepon umum koin ini ada yang lebih ekstrem. Ini dilakukan karena kebutuhan berkomunikasi dengan orang tua yang ada di luar pulau. Untuk kantong mahasiswa, telepon SLJJ tentu saja sangat memberatkan. Dasar akal kancil, selalu ada kenakalan yang kini bisa dikenang. Cara lain membobol telepon koin, yakni memutus sambungan kabelnya. Sambungan itu dikoneksikan langsung dengan pesawat telepon rumahan.
”Iya. Itu kelakuane arek-arek nek bengi. Telepon sampe subuh,” ujar Sakson sambil tertawa terpingkalpingkal. Nasib serupa juga terjadi pada telepon umum kartu. Kenakalan para mahasiswa bisa membuat kartu telepon itu ”sakti” karena pulsanya tidak habis-habis. Ciri fisik kartu telepon yang ”sakti” itu ada solitip yang menutup lubang plong tanda sisa pulsa. Berjualan kartu telepon ini juga menjadi bisnis sambilan para mahasiswa saat itu. Untuk yang sedang menjalani cinta jarak jauh, kartu telepon ”sakti” ini sangat bermanfaat untuk modal merayu pacar.
Sedikit lebih bonafit dibanding rayuan modal koin recehan. Meski demikian, keduanya layak dikenang. Alat komunikasi yang masih berfungsi sebagaimana mestinya. Bukan alat komunikasi yang hanya digunakan untuk bermain game.
Zaki zubaidi
Hari itu kami bersama teman Miko sedang mencari alamat rumah yang di jual di Jalan Bulak Kenjeran Gg II, Jalan Kyai Tambak Deres. Dia mendapat alamat itu dari mertuanya yang ada di Bangkalan. Berbekal peta lokasi di Google Map, lokasi tersebut bisa ditempuh dari Jalan Kedung Cowek dan kawasan Bulak.
Kami memutuskan menyisir lewat Pantai Ria Kenjeran. Pasalnya, menurut keterangan mertua Miko, alamat tersebut dekat Nambangan. Kami pun berboncengan mencari alamat tersebut. Di dekat Pantai Kenjeran Lama kami menemukan Jalan Tambak Deres. Kami pun masuk ke gang yang dimaksud. Sayangnya, rumah yang dicari tidak sesuai dengan informasi yang didapat Miko. Kebetulan hanya Miko yang membawa ponsel. Dia juga tidak bisa menelepon untuk memastikan alamatnya. Kami akhirnya memutuskan untuk mengkroscek alamat dengan bertanya kepada warga.
”Alamat ini bukan di sini. Di sini Tambak Deres, kalau Kyai Tambak Deres itu dekat sentra ikan Bulak sana,” ujar warga yang sedang sibuk menggosok akik tersebut. Kami pun melanjutkan perjalanan dan menjadikan salah alamat ini guyonan. ”Oalah, ternyata Tambak Deres yang ini belum jadi kyai. Sing kyai dekat Nambangan,” celetuk Miko. Kami melintas menyisir pantai dan Jembatan Suramadu di kejauhan hanya tampak abu-abu.
”Pulsa habis, ga ada warnet, telepon umum tinggal boksnya tok ,” celetuknya tiba-tiba setelah melewati sebuah telepon umum koin. Sekitar 10 menit kemudian kami sudah menemukan dan berada di Jalan Kyai Tambak Deres. Agar bisa lebih cepat, kami bertanya kepada seorang mekanik sepeda motor yang sibuk di bengkel kawasan Bogorami. Mekanik tersebut bingung karena kami sedikit keliru saat bertanya. ”Kalau Jalan Kyai Tambak Deres itu tidak ada gangnya. Kalau yang dimaksud gang kedua berarti dari ujung gang masuk dekat Kedung Cowek,” ucapnya.
Kami malah semakin bingung dibuatnya. Ingin menelepon mertua, tapi ponsel Miko sedang tidak ada pulsa reguler. Kami berhenti sejenak di bawah pohon rindang. Miko terlihat bingung membaca alamat yang ditulisnya di selembar kertas. Sekitar lima menit, tiba-tiba dia menepuk jidatnya. ”Oalah tadi kita salah bertanya, seharusnya yang kita tanyakan Jalan Bulak Kenjeran, bukan Jalan Kyai Tambak Deres,” ucapnya.
Miko lalu memutar arah motor. Ia sudah sempat melihat papan jalan tersebut. Akhirnya, alamat yang dicari ketemu. Untuk menuju Jalan Bulak Kenjeran, memang harus melalui Jalan Kyai Tambak Deres. Benar kata mekanik juga, tidak ada Jalan Kyai Tambak Deres Gang 2. ”Ya ngene iki lo, nek handphone cuman digawe ngegame ,” kelakar Miko mengolok dirinya sendiri karena lupa mengisi pulsa.
Telepon Umum, Koin untuk Pacar
Dulu, sekitar tahun 80-90an, telepon adalah sebuah alat komunikasi. Ya, telepon digunakan untuk berbicara. Ketika itu teknologi di negeri ini belum banyak yang menggunakan mobile phone . Telepon hanya ada di rumah. Jika di luar rumah, untuk telepon bisa pergi ke wartel atau ke telepon umum. Tidak banyak yang dikisahkan di wartel selain argo pulsa yang terkadang berjalan lebih cepat.
Namun, di telepon umum, banyak cerita di sana. Kala itu uang logam masih sangat berharga. Uang logam adalah bagian penting dari sebuah komunikasi. Uang logam seratus rupiah (kalau tidak salah) bisa digunakan untuk bicara selama 6 menit. Bisa dibayangkan, untuk menelepon kekasih berlama-lama, seseorang harus membawa sekantong recehan. Saat dia berjalan menuju telepon umum, terdengar suara khas, criiikkk...criikkk....crikkk. Itu seperti sebuah nada indah untuk menuju lokasi bercinta jarak jauh, telepon umum.
Dalam perkembangannya, ada juga kenakalan-kenakalan untuk membobol telepon umum koin agar satu logam seratus rupiah bisa digunakan telepon berjam-jam. Menggelikan, seperti seorang mafia telepon umum saat membawa uang logam dengan diikat benang. Butuh timing yang jitu agar koin dengan benang itu mengganjal dengan pas sehingga satu koin bisa membobol pulsa telepon berjam-jam. Bahkan, koin itu bisa diambil kembali, keluar dengan selamat dari boks telepon.
Maka, jangan heran jika pada masa itu gampang dijumpai uang loga berlubang tepinya seperti liontin kalung. ”Wah , kalau tidak ahlinya, ga bisa menggunakan koin terikat benang itu,” ujar Sakson sambil tertawa mengenang kelakuannya semasa kuliah di Fisip Universitas Airlangga angkatan 1997. Dia kini sudah bekerja sebagai PNS di Kabupaten Malang. Kebetulan, dia sering di Surabaya karena menuntaskan kuliah pascasarjananya.
Kenakalan mafia telepon umum koin ini ada yang lebih ekstrem. Ini dilakukan karena kebutuhan berkomunikasi dengan orang tua yang ada di luar pulau. Untuk kantong mahasiswa, telepon SLJJ tentu saja sangat memberatkan. Dasar akal kancil, selalu ada kenakalan yang kini bisa dikenang. Cara lain membobol telepon koin, yakni memutus sambungan kabelnya. Sambungan itu dikoneksikan langsung dengan pesawat telepon rumahan.
”Iya. Itu kelakuane arek-arek nek bengi. Telepon sampe subuh,” ujar Sakson sambil tertawa terpingkalpingkal. Nasib serupa juga terjadi pada telepon umum kartu. Kenakalan para mahasiswa bisa membuat kartu telepon itu ”sakti” karena pulsanya tidak habis-habis. Ciri fisik kartu telepon yang ”sakti” itu ada solitip yang menutup lubang plong tanda sisa pulsa. Berjualan kartu telepon ini juga menjadi bisnis sambilan para mahasiswa saat itu. Untuk yang sedang menjalani cinta jarak jauh, kartu telepon ”sakti” ini sangat bermanfaat untuk modal merayu pacar.
Sedikit lebih bonafit dibanding rayuan modal koin recehan. Meski demikian, keduanya layak dikenang. Alat komunikasi yang masih berfungsi sebagaimana mestinya. Bukan alat komunikasi yang hanya digunakan untuk bermain game.
Zaki zubaidi
(ars)