Bangkit dari Luka-Duka Lumpur Porong

Minggu, 31 Mei 2015 - 12:42 WIB
Bangkit dari Luka-Duka Lumpur Porong
Bangkit dari Luka-Duka Lumpur Porong
A A A
SEMBILAN tahun yang lalu, 27 Mei 2006, lumpur Porong (atau yang lebih tenar dengan sebutan lumpur Lapindo) menyembur untuk pertama kali.

Itu awal bencana besar yang masih belum benarbenar terselesaikan sampai sekarang. Ribuan jiwa kehilangan rumah, kampung halaman, dan lingkungan sosial.

Tidak hanya itu, pada 22 November 2006, 13 orang meninggal dunia karena ledakan pipa gas Pertamina di dekat pusat semburan lumpur Porong. Satu dari 13 korban ledakan tersebut, Rudi Tri Hariadi, jenazahnya tidak ditemukan. Itu berarti tanggul lumpur adalah tempat ziarah bagi Yulinawati, istri almarhum Rudi. Sembilan tahun adalah kenangan. Namun, tidak perlu lagi ada air mata. Waktu selama itu sudah cukup untuk move on karena life must go on.

”Semua sudah takdir. Tak perlu terus larut dalam kesedihan dan dendam karena Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya,” ucap Yulinawati, warga Tanggulangin Asri Sejahtera (TAS) 1 yang kini tinggal di Surabaya, Rabu (27/5). Perempuan 39 tahun itu masih ingat peristiwa pedih yang terjadi pada 22 November 2006. ”Saat itu Mas Rudi hendak menengok semburan lumpur untuk mengetahui perkembangan tanggul. Semua yang dipakai saat itu baru.

Juga membawa handycambaru untuk mengabadikan semburan lumpur. Dokumentasi itu untuk hearingke DPR RI tanggal 25 November. Mas Rudi keluar rumah bareng Kapten Effendi (juga korban meninggal) karena rumah kami memang bersebelahan,” tutur Lina, panggilan akrabnya. Lina pun tidak mendapat firasat apa-apa saat suaminya itu meninjau lumpur.Seusai makan sore, Rudi berangkat ke tanggul lumpur. Lina bersama anak bungsunya, Perina Dilanti, tetap tinggal di rumah. Lina sedang hamil tiga bulan.

Hari beranjak malam, waktu berlalu seperti biasa. Hingga sekitar pukul 19.30 WIB tibatiba warga gempar karena terdengar suara ledakan. ”Saya sempat keluar rumah. Saya melihat ledakan dari arah tanggul lumpur, langit begitu terang,” katanya. Warga TAS 1 pun panik karena seiring ledakan itu, lumpur meluber.

”Saya hanya bisa terdiam. Saya mencoba menghubungi ponselnya (Rudi), tapi tidak bisa. Saya dan Perina masih tetap bertahan di rumah,” tuturnya. Lina sudah merasa akan kehilangan suami tercinta untuk selamanya. ”Saya sudah merasa Mas Rudi jadi korban, entah selamat atau tidak,” lanjutnya. Lina pun hanya bisa menunggu kabar suaminya. Hingga malam tak ada kabar. Sementara korban mulai ditemukan. Salah satunya, jenazah Kapten Affandi, Danramil Balongbendo.

”Orangorang sudah ramai di rumah Bu Affandi dan suara isak tangis terdengar,” ujar perempuan asal Cilacap, Jawa Tengah, ini. Lina mengatakan, Perina yang masih kecil hanya bisa bingung dan menanyakan kabar ayahnya yang belum juga pulang hingga tengah malam. Lina sudah menghubungi keluarga untuk mengecek korban-korban yang ada di rumah sakit. Dua hari berlalu, jenazah Rudi Tri Hariadi belum juga ditemukan. Perina, gadis cilik berusia 6 tahun, masih menunggu ayahnya pulang.

”Perina diantar kakak sepupunya sempat berkeliling tanggul untuk mencari ayahnya,” kata Lina. Namun, pencarian itu sia-sia, jenazah Rudi tidak ditemukan. Tim SAR memang terus melakukan pencarian hingga seminggu, tetapi Lina sudah menata hati untuk mengikhlaskan kepergian suaminya tercinta. Empat hari setelah ledakan, 26 November 2006, Lina memutuskan pindah ke rumah mertuanya di kawasan Rungkut Harapan.

Sekitar sepekan Lina masih bolakbalik ke Sidoarjo untuk mengetahui kepastian keberadaan suaminya. Namun, hingga Tim SAR menghentikan pencarian korban ledakan pipa gas itu, jenazah Rudi Hariadi tetap tidak ditemukan. Lina pun dengan tegar meyakinkan hatinya untuk terus melanjutkan hidup bersama Perina dan berjuang melahirkan bayinya yang dikandungnya.Lina kehilangan harta benda, lingkungan sosial, dan suaminya.

Pada 2 Juni 2007, Lina pun menjalani persalinan tanpa didampingi suami. Putri cantik itu diberi nama Naila Zahwah Hariadi. ”Semula terpikir untuk pulang ke Cilacap setelah melahirkan. Namun tidak jadi, dan saya lebih memilih bertahan di Surabaya membesarkan Perina dan Naila,” kata perempuan alumnus Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Purwokerto, itu.

Lina berpikir, jika pulang ke Cilacap akan menjadikan beban bagi keluarganya. Ia pun memilih hidup di Surabaya dan tetap menjalani profesinya sebagai guru taman kanakkanak. Lina lebih fokus ke masa depannya daripada harus mengutuk bencana dan menyalahkan orang lain atas nasib yang dialaminya.

”Daripada terus bersedih, saya lebih baik jalani hidup ini. Saya masih punya Allah. Saya masih punya keluarga, sahabat, dan orang-orang yang penuh kasih. Keputusan Lina semakin bulat dan hidup mandiri setelah pindah rumah ke Lebak Rejo, Surabaya. ”Pernah ada yang berniat mengadopsi Naila. Namun, niat baik itu terpaksa saya tolak,” tutur dia. Lina dan dua anaknya, dibantu saudara, tahun 2008 mulai menjalani hidup di Lebak Rejo. Hidup sebagai janda juga tidak semudah yang dibayangkan.

”Kita harus pandai-pandai membawa diri, apalagi janda. Semua butuh penyesuaian. Alhamdulillah lingkungan tempat tinggal sangat baik sehingga tidak terlalu risau saat meninggalkan anak-anak untuk bekerja,” kata Lina. Hampir tujuh tahun Lina menjadi single parent. Selama itu juga banyak pria mencoba mendekatinya. Rata-rata mereka adalah pria mapan. Meski demikian, Lina tidak juga mengakhiri kesendiriannya.

”Anak-anak adalah pertimbangan utama. Kalau anak-anak sudah merasa tidak nyaman, saya pun harus menolaknya,” kata Lina. Ia rela tetap sendiri demi kebahagiaan anak-anaknya. Hingga akhirnya pada Januari 2014, Lina menikah. Kini sembilan tahun sudah kisah lumpur Porong berjalan. Masih banyak yang belum mendapatkan ganti rugi. ”Saya kira manusiawi jika masih banyak warga korban lumpur yang marah sampai saat ini. Wajar juga masih terus berjuang menuntut ganti rugi.

Namun, sebaiknya kita juga harus bangkit dan menjalani hidup ini tanpa terus-terusan mendendam pada masa lalu. Saya pun sampai sekarang masih berjuang untuk menuntut hak. Tapi itu jangan jadi hambatan untuk kita move on,” pesannya. Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan.

zaki zubaidi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.5903 seconds (0.1#10.140)