Tegas-Humanis Tegakkan Perda
A
A
A
DALAM tugas operasional Satpol PP wanita tidak berbeda dengan Satpol PP pria. Mereka harus siap kapan saja hadir di tengah-tengah konflik, aksi unjuk rasa ataupun untuk menegakkan peraturan daerah (perda).
Keberadaan Satpol PP wanita penuh resiko dan tantangan yang dihadapi juga berbahaya bahkan nyawa taruhannya. Saat menegakkan perda mereka tidak boleh pandang bulu dan harus siaga menghadapi resikonya.
“Kalau diperbantukan saya turun juga. Meski sekarang sudah di staf. Tapi suka ikut juga. Misalkan pada razia psk dan lainnya,” ucap Seperti Evi Lina yang sudah mengabdi menjadi Satpol PP wanita selama 15 tahun di Pemkot Palembang. Menurutnya, menjadi Satpol PP wanita harus memiliki mental kuat dan disiplin tinggi supaya tugas yang diemban sesuai aturan. Namun, kata dia, yang terpenting bahwa tugasnya sebagai abdi negara ini harus mendapat dukungan keluarga.
“Jika tidak, bukan tidak mungkin menimbulkan konflik keluarga yang dapat menganggu aktivitas pekerjaan. Karena pekerjaan kami ini mengandung resiko tinggi dan tidak mengenal waktu,” tuturnya. Dia menuturkan, dari berbagai tugas yang pernah diemban, salah satu yang cukup beresiko saat eksekusi di Benteng Kuto Besak (BKB) untuk menertibkan pasar pisang dahulu. Saat itu, untuk meredam gejolak saat penertiban, banyak Satpol PP wanita diturunkan.
“Tengah malam sekitar pukul 1 pagi kami ditelepon untuk bertugas menjaga lokasi penertiban di BKB sampai subuh. Bahkan kami sampai tidur di pos,” katanya. Dalam upaya menjalankan tugas, Evi dan sesama Satpol PP wanita mengaku puas dengan caci maki di lokasi penertiban. Sebab, mereka kerap menemui orang-orang yang keras dan sulit diatur. Kondisi ini kerap memancing emosi. Namun menghadapinya dilakukan dengan senyuman dan berupaya memberikan pengarahan dengan baik.
“Sampai sekarang aman-aman saja. Tapi kalau ocehan ngomong kita sudah kenyang,” tandasnya. Hal yang sama dirasakan, Emi Wati anggota Satpol PP wanita yang sudah 11 tahun mengabdi mengawal perda supaya tidak tercoreng oleh oknum yang meresahkan dan merusak tatanan kota.
“Kalau tidak kuat mental sudah lama saya meninggalkan profesi ini. Namun, itu semua saya jalani dengan rasa syukur dan gembira,” ujarnya. Dalam tugas menghadapi perempuan dan anak-anak di lapangan, kata dia, Satpol PP wanita selalu mengedepankan sisi humanis dibandingkan kekerasan fisik supaya tugas yang dilakukan lebih nyaman.
“Saat bertugas dimanapun dan bagaimanapun kondisinya kami tetap harus waspada karena resiko bisa datang kapan saja. Tapi kami tetap humanis dan tidak boleh arogan saat menertibkan pedagang atau apa saja yang kiranya melanggar perda,” katanya.
Sierra syailendra
Keberadaan Satpol PP wanita penuh resiko dan tantangan yang dihadapi juga berbahaya bahkan nyawa taruhannya. Saat menegakkan perda mereka tidak boleh pandang bulu dan harus siaga menghadapi resikonya.
“Kalau diperbantukan saya turun juga. Meski sekarang sudah di staf. Tapi suka ikut juga. Misalkan pada razia psk dan lainnya,” ucap Seperti Evi Lina yang sudah mengabdi menjadi Satpol PP wanita selama 15 tahun di Pemkot Palembang. Menurutnya, menjadi Satpol PP wanita harus memiliki mental kuat dan disiplin tinggi supaya tugas yang diemban sesuai aturan. Namun, kata dia, yang terpenting bahwa tugasnya sebagai abdi negara ini harus mendapat dukungan keluarga.
“Jika tidak, bukan tidak mungkin menimbulkan konflik keluarga yang dapat menganggu aktivitas pekerjaan. Karena pekerjaan kami ini mengandung resiko tinggi dan tidak mengenal waktu,” tuturnya. Dia menuturkan, dari berbagai tugas yang pernah diemban, salah satu yang cukup beresiko saat eksekusi di Benteng Kuto Besak (BKB) untuk menertibkan pasar pisang dahulu. Saat itu, untuk meredam gejolak saat penertiban, banyak Satpol PP wanita diturunkan.
“Tengah malam sekitar pukul 1 pagi kami ditelepon untuk bertugas menjaga lokasi penertiban di BKB sampai subuh. Bahkan kami sampai tidur di pos,” katanya. Dalam upaya menjalankan tugas, Evi dan sesama Satpol PP wanita mengaku puas dengan caci maki di lokasi penertiban. Sebab, mereka kerap menemui orang-orang yang keras dan sulit diatur. Kondisi ini kerap memancing emosi. Namun menghadapinya dilakukan dengan senyuman dan berupaya memberikan pengarahan dengan baik.
“Sampai sekarang aman-aman saja. Tapi kalau ocehan ngomong kita sudah kenyang,” tandasnya. Hal yang sama dirasakan, Emi Wati anggota Satpol PP wanita yang sudah 11 tahun mengabdi mengawal perda supaya tidak tercoreng oleh oknum yang meresahkan dan merusak tatanan kota.
“Kalau tidak kuat mental sudah lama saya meninggalkan profesi ini. Namun, itu semua saya jalani dengan rasa syukur dan gembira,” ujarnya. Dalam tugas menghadapi perempuan dan anak-anak di lapangan, kata dia, Satpol PP wanita selalu mengedepankan sisi humanis dibandingkan kekerasan fisik supaya tugas yang dilakukan lebih nyaman.
“Saat bertugas dimanapun dan bagaimanapun kondisinya kami tetap harus waspada karena resiko bisa datang kapan saja. Tapi kami tetap humanis dan tidak boleh arogan saat menertibkan pedagang atau apa saja yang kiranya melanggar perda,” katanya.
Sierra syailendra
(ars)