Karantina Bersama Romantisnya Aisyah
A
A
A
Ahmad Zainul Hamd
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSA Surabaya
Wakil Ketua PW ISNU Jawa Timur
Saya sebetulnya sudah tidak ingat berapa hari saya dan keluarga mengkarantina diri di rumah. Yang pasti kami semua parno dengan pandemi virus Corona yang beritanya setiap hari tidak pernah melahirkan rasa gembira. Berita-berita yang sengaja kita cari atau datang sendiri itu kalau tidak berisi kabar kematian ya penambahan jumlah orang yang positif terinfeksi virus yang gambarnya seperti jajaran bunga asoka merah yang indah.
Sekalipun demikian, suasanya work from home (WFH) terasa seperti liburan keluarga. Yang membedakan adalah kita semua kerja. Sementara saya disibukkan dengan memberi kuliah daring dan kerja-kerja tulis-menulis yang harus saya selesaikan sesuai deadline, istri saya yang seorang guru sekolah dasar disibukkan dengan kerja-kerja pengajaran melalui perangkat laptopnya. Anak-anak juga melakukan hal-hal yang kurang lebih sama. Kalau tidak kuliah atau sekolah secara daring ya menyelesaikan tugas-tugas di depan laptop. Intinya, berhari-hari semua orang sibuk dengan pasangan barunya sendiri-sendiri: laptop.
Terpenjara di rumah membuat kami sekeluarga harus memiliki hiburan agar suasana tetap nyaman. Nah di sinilah kisah ini bermula. Anak-anak saya yang saat ini berusia remaja sudah bisa ditebak selera hiburannya, kalau tidak nonton film-film Netflix ya lagu-lagu Barat atau Korea. Kalau telinganya sudah disumpal headset berarti mereka tidak mau diganggu. Sehingga, saya tidak tahu persis film dan lagu apa yang sedang mereka nikmati. Pasti setiap orang tua sudah akrab dengan sikap soliter anak-anak remajanya yang dengan tegas membangun garis demarkasi untuk melindungi dunianya dari intervensi papa mama.
Beda dengan istri saya, setiap hari dia memutar sebuah lagu. Lagu itu diputar berulang-ulang sampai saya heran apa memang di dunia ini tidak ada lagu lain selain lagu itu. Apalagi, itu adalah jenis lagu yang sama sekali tidak masuk dalam selera musik saya. Sebagai orang yang lahir di awal tahun 70-an, saya adalah Baladewa, atau jika melangkah ke Barat, saya menyukai jenis pop klasik yang ada sedikit sentuhan jazz-nya, seperti “Love Story” yang dinyanyikan secara melankolik oleh Andy Williams.
Tapi, mau tak mau, saya tidak mungkin mengelak untuk ikut mendengarkan lagu itu. Lagu itu tidak hanya didendangkan istri yang sesekali mondar-mandir di depan saya karena mengerjakan sesuatu. Dia juga sambil rengeng-rengeng mendendangkan lagu itu saat masak di dapur, sementara saya membantunya atau duduk di depan laptop di meja makan, yang dekat dapur. Oh Tuhan, kapan siksaan ini akan berakhir!
Lama-lama saya tidak ingin menyiksa diri. Apapun yang terjadi, saya tidak mungkin lari dari lagu itu. Saya tidak mungkin mempertaruhkan diri saya terpapar Covid-19 hanya karena melarikan diri dari rumah. Sebagai suami yang baik (ehem...) saya mencoba (lebih tepatnya, tepaksa) mengikuti selera musik istri saya. Saya berusaha sekuat tenaga mencoba menikmati lagu yang secara otomatis saya dengar saat mata saya terbuka di pagi hari dan baru menghilang dari pendengaran saat tertidur di malam hari.
Seperti dejavu, kejadian ini mirip dengan yang pernah saya alami di awal tahun 2000-an saat booming film Kuch Kuch Huta Hai. Saat itu, sebagai pasangan muda, saya dan istri mengontrak di sebuah rumah sederhana di Kota Ponorogo. Tepat di depan rumah saya adalah keluarga yang memiliki anak gadis remaja yang rupanya menggilai film yang dibintangi Shah Rukh Khan dan Kajol itu.
Pagi hari begitu membuka pintu rumah, saya langsung mendengar lagu-lagu dari film itu yang diputar keras-keras melalui tape recorder yang suaranya diperlantang dengan sound system yang lumayan bagus. Album itu terus diputar setiap hari dari pagi hingga malam. Karena setiap hari tidak ada lagu lain yang punya kesempatan untuk masuk ke telinga kami, kami berdua akhirnya menikmati dan hafal beberapa penggalan liriknya, tentu saja sesuai dengan tangkapan telinga kami yang sama sekali tidak mengerti Bahasa Hindi.
Saat ini, kutukan itu datang lagi. Bahkan lebih parah karena ini tidak berasal dari rumah tetangga, tapi dari istri sendiri. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa sejarah akan mengulangi dirinya di tempat dan waktu yang berbeda, saya sepertinya harus memercayainya. Terus-menerus mendengarkan lagu itu, akhirnya saya hafal melodi dan beberapa penggalan liriknya. Penggalam lirik yang saya hafal adalah: “Aisyah, romantisnya cintamu dengan Nabi”. Itu saja! Bagian yang lain saya tidak hapal, tapi jelas memori saya sudah menangkap melodi lagu itu dengan sempurna. Dan, enak juga sih!
Dari perasaan jengah, kemudian tumbuh suka, akhirnya penasaran. Saya penasaran apa sih lagu itu. Setelah browsing, saya baru tahu, itu adalah sebuah lagu yang dipopulerkan oleh sebuah grup band dari Malaysia, Projector Band. Lagu itu berjudul “Aisyah Istri Rasulullah”. Single yang diciptakan oleh Mr. Bea ini sebetulnya sudah release di Malaysia sejak tahun 2017. Saya baru tahu bahwa lagu ini sekarang sedang booming di Indonesia karena di-cover oleh beberapa penyanyi tenar dengan lirik yang sudah digubah agar sesuai dengan telinga Indonesia.
Saya mem-browsing liriknya secara penuh. Lagu itu berkisah tentang romansa antara Aisyah dengan Nabi Muhammad. Paragraf sebelum reffrain, liriknya sangat romantis: “Sungguh sweet Nabi mencintamu hingga Nabi minum di bekas bibirmu; Bila marah Nabi kan bermanja mencubit hidungnya.” Lirik ini mampu menggambarkan betapa romansa antara Aisyah dan sang Baginda begitu indah. Kisah cinta mereka begitu manusiawi hingga seorang remaja putri atau seorang istri dari laki laki biasa seperti istri saya pun tidak akan kesulitan untuk berimajinasi tentang sebuah hubungan suami-istri yang indah seindah Muhammad dan Aisyah.
Saya membatin, jangan-jangan istri saya sedang melakukan protes secara diam-diam. Dia sebetulnya ingin mengingatkan saya bahwa bagaimanapun juga work from home itu harus berbeda dengan kerja ngantor. Work from home harus tetap menciptakan suasana hangat dalam bingkai cinta sumai-istri. Kalau work from home justru mengubah rumah menjadi kantor, maka seisi rumah bisa mati sekalipun tidak tersentuh Corona. Dengan memutar lagu “Aisyah Istri Nabi” terus-menerus dan berhari-hari, membuat saya sebagai suaminya mau tidak mau harus mendengarkan.
Saya memang bukan Muhammad, tapi jika saya harus membayangkan kesalehan dan romantisme seorang Aisyah, saya tidak punya cara lain selain memandangi istri saya sendiri. Jika ada yang bertanya apa hikmah di balik Corona, saya dengan tegas akan menjawab: “Saya menemukan Aisyah di istri saya.” Sebuah kesadaran yang mungkin tidak pernah lahir tanpa adanya karantina karena Corona.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSA Surabaya
Wakil Ketua PW ISNU Jawa Timur
Saya sebetulnya sudah tidak ingat berapa hari saya dan keluarga mengkarantina diri di rumah. Yang pasti kami semua parno dengan pandemi virus Corona yang beritanya setiap hari tidak pernah melahirkan rasa gembira. Berita-berita yang sengaja kita cari atau datang sendiri itu kalau tidak berisi kabar kematian ya penambahan jumlah orang yang positif terinfeksi virus yang gambarnya seperti jajaran bunga asoka merah yang indah.
Sekalipun demikian, suasanya work from home (WFH) terasa seperti liburan keluarga. Yang membedakan adalah kita semua kerja. Sementara saya disibukkan dengan memberi kuliah daring dan kerja-kerja tulis-menulis yang harus saya selesaikan sesuai deadline, istri saya yang seorang guru sekolah dasar disibukkan dengan kerja-kerja pengajaran melalui perangkat laptopnya. Anak-anak juga melakukan hal-hal yang kurang lebih sama. Kalau tidak kuliah atau sekolah secara daring ya menyelesaikan tugas-tugas di depan laptop. Intinya, berhari-hari semua orang sibuk dengan pasangan barunya sendiri-sendiri: laptop.
Terpenjara di rumah membuat kami sekeluarga harus memiliki hiburan agar suasana tetap nyaman. Nah di sinilah kisah ini bermula. Anak-anak saya yang saat ini berusia remaja sudah bisa ditebak selera hiburannya, kalau tidak nonton film-film Netflix ya lagu-lagu Barat atau Korea. Kalau telinganya sudah disumpal headset berarti mereka tidak mau diganggu. Sehingga, saya tidak tahu persis film dan lagu apa yang sedang mereka nikmati. Pasti setiap orang tua sudah akrab dengan sikap soliter anak-anak remajanya yang dengan tegas membangun garis demarkasi untuk melindungi dunianya dari intervensi papa mama.
Beda dengan istri saya, setiap hari dia memutar sebuah lagu. Lagu itu diputar berulang-ulang sampai saya heran apa memang di dunia ini tidak ada lagu lain selain lagu itu. Apalagi, itu adalah jenis lagu yang sama sekali tidak masuk dalam selera musik saya. Sebagai orang yang lahir di awal tahun 70-an, saya adalah Baladewa, atau jika melangkah ke Barat, saya menyukai jenis pop klasik yang ada sedikit sentuhan jazz-nya, seperti “Love Story” yang dinyanyikan secara melankolik oleh Andy Williams.
Tapi, mau tak mau, saya tidak mungkin mengelak untuk ikut mendengarkan lagu itu. Lagu itu tidak hanya didendangkan istri yang sesekali mondar-mandir di depan saya karena mengerjakan sesuatu. Dia juga sambil rengeng-rengeng mendendangkan lagu itu saat masak di dapur, sementara saya membantunya atau duduk di depan laptop di meja makan, yang dekat dapur. Oh Tuhan, kapan siksaan ini akan berakhir!
Lama-lama saya tidak ingin menyiksa diri. Apapun yang terjadi, saya tidak mungkin lari dari lagu itu. Saya tidak mungkin mempertaruhkan diri saya terpapar Covid-19 hanya karena melarikan diri dari rumah. Sebagai suami yang baik (ehem...) saya mencoba (lebih tepatnya, tepaksa) mengikuti selera musik istri saya. Saya berusaha sekuat tenaga mencoba menikmati lagu yang secara otomatis saya dengar saat mata saya terbuka di pagi hari dan baru menghilang dari pendengaran saat tertidur di malam hari.
Seperti dejavu, kejadian ini mirip dengan yang pernah saya alami di awal tahun 2000-an saat booming film Kuch Kuch Huta Hai. Saat itu, sebagai pasangan muda, saya dan istri mengontrak di sebuah rumah sederhana di Kota Ponorogo. Tepat di depan rumah saya adalah keluarga yang memiliki anak gadis remaja yang rupanya menggilai film yang dibintangi Shah Rukh Khan dan Kajol itu.
Pagi hari begitu membuka pintu rumah, saya langsung mendengar lagu-lagu dari film itu yang diputar keras-keras melalui tape recorder yang suaranya diperlantang dengan sound system yang lumayan bagus. Album itu terus diputar setiap hari dari pagi hingga malam. Karena setiap hari tidak ada lagu lain yang punya kesempatan untuk masuk ke telinga kami, kami berdua akhirnya menikmati dan hafal beberapa penggalan liriknya, tentu saja sesuai dengan tangkapan telinga kami yang sama sekali tidak mengerti Bahasa Hindi.
Saat ini, kutukan itu datang lagi. Bahkan lebih parah karena ini tidak berasal dari rumah tetangga, tapi dari istri sendiri. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa sejarah akan mengulangi dirinya di tempat dan waktu yang berbeda, saya sepertinya harus memercayainya. Terus-menerus mendengarkan lagu itu, akhirnya saya hafal melodi dan beberapa penggalan liriknya. Penggalam lirik yang saya hafal adalah: “Aisyah, romantisnya cintamu dengan Nabi”. Itu saja! Bagian yang lain saya tidak hapal, tapi jelas memori saya sudah menangkap melodi lagu itu dengan sempurna. Dan, enak juga sih!
Dari perasaan jengah, kemudian tumbuh suka, akhirnya penasaran. Saya penasaran apa sih lagu itu. Setelah browsing, saya baru tahu, itu adalah sebuah lagu yang dipopulerkan oleh sebuah grup band dari Malaysia, Projector Band. Lagu itu berjudul “Aisyah Istri Rasulullah”. Single yang diciptakan oleh Mr. Bea ini sebetulnya sudah release di Malaysia sejak tahun 2017. Saya baru tahu bahwa lagu ini sekarang sedang booming di Indonesia karena di-cover oleh beberapa penyanyi tenar dengan lirik yang sudah digubah agar sesuai dengan telinga Indonesia.
Saya mem-browsing liriknya secara penuh. Lagu itu berkisah tentang romansa antara Aisyah dengan Nabi Muhammad. Paragraf sebelum reffrain, liriknya sangat romantis: “Sungguh sweet Nabi mencintamu hingga Nabi minum di bekas bibirmu; Bila marah Nabi kan bermanja mencubit hidungnya.” Lirik ini mampu menggambarkan betapa romansa antara Aisyah dan sang Baginda begitu indah. Kisah cinta mereka begitu manusiawi hingga seorang remaja putri atau seorang istri dari laki laki biasa seperti istri saya pun tidak akan kesulitan untuk berimajinasi tentang sebuah hubungan suami-istri yang indah seindah Muhammad dan Aisyah.
Saya membatin, jangan-jangan istri saya sedang melakukan protes secara diam-diam. Dia sebetulnya ingin mengingatkan saya bahwa bagaimanapun juga work from home itu harus berbeda dengan kerja ngantor. Work from home harus tetap menciptakan suasana hangat dalam bingkai cinta sumai-istri. Kalau work from home justru mengubah rumah menjadi kantor, maka seisi rumah bisa mati sekalipun tidak tersentuh Corona. Dengan memutar lagu “Aisyah Istri Nabi” terus-menerus dan berhari-hari, membuat saya sebagai suaminya mau tidak mau harus mendengarkan.
Saya memang bukan Muhammad, tapi jika saya harus membayangkan kesalehan dan romantisme seorang Aisyah, saya tidak punya cara lain selain memandangi istri saya sendiri. Jika ada yang bertanya apa hikmah di balik Corona, saya dengan tegas akan menjawab: “Saya menemukan Aisyah di istri saya.” Sebuah kesadaran yang mungkin tidak pernah lahir tanpa adanya karantina karena Corona.
(msd)