Mengenang Sosok dan Perjuangan Sri Sultan HB IX

Jum'at, 26 Agustus 2016 - 05:00 WIB
Mengenang Sosok dan Perjuangan Sri Sultan HB IX
Mengenang Sosok dan Perjuangan Sri Sultan HB IX
A A A
Salah satu sosok penting dalam perjalanan bangsa ini adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Apa saja jasanya bagi Republik Indonesia?

Sri Sultan HB IX lahir dengan nama Dorodjatun. Pada 18 Maret 1940 dinobatkan sebagai raja Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping IX.

Dia memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Hal itu antara lain terlihat dari sikap tegasnya yang dengan konsekuen mendukung Republik Indonesia. Sesaat setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia (RI), pada 19 Agustus 1945 Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat melalui surat kawat atau telegram kepada Soekarno.

Sultan HB IX juga menyampaikan amanat tentang keinginan Kerajaan Yogyakarta mendukung pemerintahan RI. Hal itu tertuang dalam Amanat 5 September 1945.

Mengutip Soedarisman, 1984, Purwadi dalam buku Sejarah Raja-Raja Jawa (Penerbit Media Abadi) menuliskan isi amanat Sultan tersebut sebagai berikut:

Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan:

Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.

Bahwa hubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngayogyakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
Hamengku Buwono IX

Dikutip dari Wikipedia, pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi perekonomian sangat buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri terhambat.

Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk Yogyakarta. Demi menjamin roda Pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan HB IX menyumbangkan kekayaan sekitar 6.000.000 Gulden yang diambil dari peti harta keratonnya, untuk membiayai pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya.

Setelah Perundingan Renville, pada 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer II. Sasaran penyerbuan adalah Ibu Kota Yogyakarta.

Pada 22 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan para pembesar lainnya ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka.

Sementara, Sultan HB IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa dikhawatirkan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat.

Dirayu sedemikian rupa, Sri Sultan HB IX menolak ajakan untuk bekerja sama dengan Belanda. Dia pun menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengunduran diri Sultan diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda.

Dengan demikian, Sultan tidak dapat diperalat untuk membantu musuh. Sementara, secara diam-diam Sultan membantu para pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat Pemerintah RI dan orang-orang Republiken.

Bahkan, di lingkungan keraton, Sultan memberikan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Pada Februari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan serangan umum terhadap Belanda.

Setelah mendapat persetujuan Panglima Sudirman, Sultan langsung menghubungi Letkol Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Sesuai hasil Perundingan Roem-Royen, pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda meminta jaminan keamanan selama penarikan itu berlangsung. Presiden Soekarno mengangkat Sri Sultan HB IX sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu dilaksanakannya dengan baik.

Pada 27 Desember 1949, ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta juga terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS. Dan, Sri Sultan HB IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3891 seconds (0.1#10.140)