Kasta Terendah Kerajaan Majapahit Kenakan Baju dari Pembungkus Mayat

Selasa, 10 Januari 2023 - 05:05 WIB
loading...
Kasta Terendah Kerajaan Majapahit Kenakan Baju dari Pembungkus Mayat
Kasta terendah Kerajaan Majapahit kenakan baju dari pembungkus mayat. Foto ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pada masa Kerajaan Majapahit , strata sosial dalam kehidupan kerajaan terbagi secara jelas dan tegas. Dalam hubungan sosial, terutama pergaulan dan kawin mawin, sekat antara lapis-lapis sosial menjadi pembatas yang tegas. Kawin mawin lintas strata memiliki dampak sosial tertentu.

Dalam Kakawin Nagarakretagama, kelas sosial atau kasta di masyarakat terdiri dari empat golongan, yaitu brahamana, ksatria, waisya, dan sudra. Keempat golongan ini disebut juga sebagai warna.

Namun, selain empat kasta tersebut, ternyata ada berbagai lapis sosial yang tidak termasuk dalam warna. Dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 81/4 disebutkan bahwa ada tiga lapis sosial paling bawah yakni candala, mleccha, dan tuccha.

Ketiga lapis sosial ini, sebagaimana ditulis dalam buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" karya Prof Slamet Muljana, sebagai warna kelima atau pancana. Menurut undang-undang kerajaan, perkawinan campuran atau lintas strata akan berdampak pada status sosial anak menjadi lebih rendah dari orang tuannya.

Disebutkan bahwa anak yang lahir dari perkawinan campuran antara laki-laki sudra dan perempuan dari ketiga golongan (candala, mleccha, dan tuccha), statusnya lebih rendah daripada sudra. Kebanyakan candala itu orang-orang yang lahir dari perkawinan campuran di atas itu.

Hukum kerajaan juga mengatur agar golongan candala tidak tinggal bersama dengan golongan Arya, baik di kota maupun di desa. Mereka harus tinggal di luar batas kota. Kelompok ini umumnya tidak mempunyai mata pencaharian lain. Unumnya mereka adalah tukang penggotong dan pembakar jenazah.

Bahkan undang-undang kerajaan juga mengatur, pakaian mereka dibuat dari bahan pembungkus jenazah yang mereka bakar. Tempat makannya ialah barang pecah-pecahan (kereweng) dan perhiasannya dibuat dari besi.

Keempat golongan warna (brahamana, ksatria, waisya, dan sudra) juga harus menjauhkan diri dari mereka, karena mereka dianggap haram agar tidak jatuh ke taraf hidup mereka.

Pada zaman Gupta, mereka itu diperlakukan sama dengan penderita lepra di Eropa pada abad pertengahan. Jika masuk kota, diharuskan membunyikan keprak kayu sebagai isyarat kepada golongan Arya, untuk menyingkir.

Sementara golongan Mleccha, dalam Negarakertagama pupuh 83 / 3, yakni pedagang-pedagang India, Kamboja, Campa, Siam, dan Cina, yang tidak menganut agama Hindu. Mereka itu tidak bisa masuk anggota masyarakat Arya.

Lalu golongan Tuccha yang dalam bahasa Sanskerta berarti kosong mencakup orang-orang haram, yang dianggap sepi atau tidak berguna, bahkan merugikan masyarakat, dengan kata lain penjahat.

Inilah golongan masyarakat kelas paling rendah di zaman Majapahit. Golongan ini adalah kelompok masyarakat miskin yang kerap didiskriminasi secara sosial.

Selain penggolongan menurut Kakawin Nagarakretagama, dalam buku Bangsawan Jawa dalam Struktur Birokrasi di Majapahit karya A. A. Darban dikenal pula beberapa lapis kelas sosial. Antara lain kaum putih atau apinghay

Di antara masyarakat kelas bawah, kaum putih atau apinghay biasanya mendapat tempat khusus. Mereka ini adalah para pendeta yang biasa memimpin upacara-upacara rakyat skala desa. Ada pula yang hidup sebagai pertapa atau cendekiawan di desa.

Selain itu adankelompok masyarakat kelas bawah yaitu kaum petani. Mereka yang tergolong kelompok ini biasanya memiliki sejumlah bidang sawah terbatas di desa.

Para buruh tani yang bekerja menggarap sawah orang lain juga dimasukkan ke dalam golongan ini. Mereka adalah rakyat biasa yang umumnya bekerja di lahan milik kerajaan atau para bangsawan.

Kemudian ada kaum bertya, yaitu para budak atau pekerja kasar. Di zaman Majapahit kaum budak dan para pekerja kasar adalah bawahan para bangsawan.

Biasanya sejumlah anak thani dan bertya bekerja di bawah bangsawan yang berkuasa atas sebagian tanah tertentu. Bangsawan pemilik tanah ini biasa disebut anden.

Oleh karena itu, para bertya dan anak thani biasanya tinggal tidak jauh dari rumah si anden. Mereka menempati wilayah bagian kerajaan di desa tertentu.

Selain itu, ada empu yang bertugas membuat berbagai peralatan atau perkakas perang. Para Empu adalah kaum terampil tetapi mereka tetap tergolong masyarakat kelas bawah.

Berbagai peralatan yang dibuat oleh para empu adalah keris, tombak, dan sebagainya. Para empu biasanya membuat peralatan untuk kerajaan dan para bangsawan.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2284 seconds (0.1#10.140)