Raja Jayabaya, Penguasa Kediri Keturunan Airlangga yang Ramalkan Kehancuran Dunia

Senin, 09 Januari 2023 - 05:34 WIB
loading...
Raja Jayabaya, Penguasa...
Ilustrasi Raja Jayabaya. Foto/Ist.
A A A
Dikenal sakti mandraguna, Raja Jayabaya melahirkan ramalan yang melegenda tentang bencana alam yang menghancurkan isi bumi. Raja Jayabaya, merupakan penguasa Kerajaan Kediri, yang memerintah pada tahun 1135-1159 Masehi.



Raja Jayabaya, yang dipercaya sebagai keturunan Airlangga, naik takhta sebagai Raja Kediri, dengan gelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.



Saat di bawah kekuasaan Raja Jayabaya, Kerajaan Kediri disegani dan berada pada puncak kejayaannya. Ramalan Raja Jayabaya, begitu melegenda dan dikenal dengan sebutan Jangka Jayabaya.



Sejumlah ramalannya tentang masa depan, hingga kini diyakini oleh banyak masyarakat telah terbukti. Salah satu ramalan Prabu Jayabaya, yang banyak diingat masyarakat adalah Pulau Jawa akan berkalung besi. Jika ditafsirkan di zaman sekarang, ramalan itu kemungkinan adalah kehadiran kereta api dengan relnya dari besi yang mengelilingi Pulau Jawa.

Ramalan Prabu Jayabaya yang terkenal lainnya adalah kedatangan pria berkulit putih yang akan menduduki Jawa dalam waktu yang sangat lama. Ramalan itu kemudian dikaitkan dengan penjajahan Indonesia oleh Belanda, yang menjejakkan kaki di bumi Nusantara pada 1595, lebih dari 400 tahun setelah pemerintahan Prabu Jayabaya.

Ramalan itu diikuti oleh firasatnya tentang orang-orang berkulit kuning dari utara, yang kedatangannya akan menandai berakhirnya kekuasaan orang kulit putih Indonesia, dan kemudian akan menduduki Jawa sendiri seumur hidup. Prediksi ini sesuai dengan kedatangan Jepang yang menginvasi Indonesia pada Perang Dunia II.

Dalam buku bertajuk "Membuka Tabir Ramalan Jayabaya di Era Reformasi" disebutkan, apabila Pulau Jawa tinggal selebar daun kelor, maka akan ada jago kate berbulu kuning yang akan menguasai Pulau Jawa. Lamanya hanya seumur jagung.

Jago kate berbulu kuning yang dimaksud kemungkinan besar adalah tentara Jepang yang berperawakan kecil dan kulit kuning. Dalam catatan sejarah disebutkan kedatangan Jepang mengakhiri masa penjajahan Belanda di Indonesia. Penjajah Jepang juga hanya berkuasa selama 3,5 tahun, tidak seperti bangsa Belanda.



Meski demikian, ada ramalan Prabu Jayabaya yang hingga kini belum terjadi namun tetap diyakini sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa. Dalam ramalan itu, Prabu Jayabaya percaya bahwa akan ada masa di mana Indonesia dipimpin oleh seorang Ratu Adil yang akan membawa Tanah Air menuju kemakmuran.

Dalam buku " Ramalan Jayabaya, Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Depan" karangan Suwidi Tono disebutkan gambaran ciri-ciri yang menandai masa dimana 'Ratu Adil' tersebut akan segera tiba.

Datangnya sang Ratu Adil menurut ramalan Jayabaya yakni ditandai gunung-gunung yang akan meletus, bumi berguncang, laut dan sungai akan meluap. Sosok Ratu Adil yang dimaksud adalah Satrio Piningit.

Ratu Adil akan muncul di masa penuh penderitaan, masa penuh kesewenang-wenangan, masa ketidakadilan, orang-orang licik akan berkuasa dan yang baik akan tertindas. Setelah masa yang paling berat itu, diramalkan akan datang zaman baru, zaman penuh kemegahan dan kemuliaan, zaman keemasan bagi Nusantara.

Ratu Adil (Satria Piningit) merupakan mitologi yang mengatakan bahwa akan datang seorang pemimpin yang akan menjadi penyelamat, ia akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.



Kata kunci Ramalan Jayabaya diyakini adalah wolak-walik ing zaman (perubahan zaman). Hal itu menggambarkan kefanaan dalam kehidupan di dunia serta keniscaraan tentang pembalasan yang setimpal.

Dalam buku Ramalan Jayabaya (Bagian Akhir) Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Depan, disebutkan Raja Jayabaya memerintahkan dua pujangga, yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh untuk menyadur dan menciptakan karya sastra. Karya tersebut kemudian dikembangkan dan disebarluaskan kepada rakyat melalui tembang berbahasa Jawa.

Kesaktian Raja Jayabaya, membuat banyak orang percaya penguasa Kediri tersebut tidak mati, melainkan moksa. Pamuksan Sri Aji Jayabaya atau Raja Jayabaya, dipercaya berada di Desa Mamenang atau Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Hingga kini, tempat tersebut masih dikeramatkan.

Banyak orang datang untuk ngalab berkah di Pamuksan Sri Aji Jayabaya tersebut. Tidak terkecuali Soekarno atau Bung Karno. Di masa bangsa Indonesia masih terjajah, Bung Karno dikabarkan pernah secara khusus mengunjungi Kediri, dalam rangka ngalab berkah, dengan menziarahi petilasan Raja Jayabaya.

"Sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, presiden pertama negara baru itu, Soekarno, dikabarkan berziarah tiga kali ke Pamuksan Sri Aji Jayabaya," tulis George Quinn dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa.



Sri Aji Jayabaya yang memerintah Kerajaan Panjalu selama 24 tahun (1135-1159) tersohor sebagai raja adil dan bijaksana. Di tangan Jayabaya hukum benar-benar ditegakkan.

Dalam Prahara Bumi Jawa Sejarah Bencana dan Jatuh Bangunnya Penguasa Jawa, Otto Sukatno CR menuliskan, saat itu tidak ada orang yang dikurung sehingga penjara tidak diperlukan. Yang berlaku saat itu hanya hukuman denda. Mereka yang dinyatakan bersalah harus membayar denda dengan besaran yang ditentukan.

"Sementara bagi pencuri, perampok dan penyamun, dan tindak-tindak kejahatan besar lainnya, langsung mendapat hukuman mati". Di masa Jayabaya, Kerajaan Panjalu atau Kadiri atau Kediri dengan ibu kota Dahanapura atau Daha, mencapai masa keemasannya. Jayabaya merupakan keturunan Raja Airlangga (1019-1042).

Ia adalah raja ketiga Panjalu setelah Airlangga membelah Kerajaan Kahuripan menjadi Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Dengan kekuatan dan kebijakannya, Jayabaya berhasil menyatukan Panjalu dan Jenggala yang bertahun-tahun berseteru dalam perang saudara. Jayabaya juga termasyhur dengan ramalannya yang dikenal bernama Jangka Jayabaya.

Ramalan itu disusun dalam bentuk tembang (macapat) dan gancaran (prosa) serta aforisma-aforisma singkat dan padat sehingga mudah dihafalkan. Di dalam ramalan Jayabaya, Pulau Jawa terbagi atas tiga zaman besar. Yakni jaman Kali Swara atau zaman permulaan yang lamanya 700 tahun matahari atau 721 berdasarkan hitungan tahun bulan.



Kemudian zaman Kaliyoga atau zaman pertengahan yang lamanya juga 700 tahun dan jaman Kali Sangsara atau zaman akhir yang lamanya juga 700 tahun terhitung sejak 1401 hingga 2100.

Peneliti asing George Quinn dalam Wali Berandal Tanah Jawa menuliskan, dalam Jangka Jayabaya terdapat dua bait ikonik yang dianggap menjadi bukti bahwa Raja Jayabaya dapat meramalkan masa depan. "Tersembunyi dalam kedua bait itu, Soekarno pun tampil sekilas," tulisnya.

Teks ramalan yang terkait Soekarno diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi: Lalu Garuda Ngwangga akan berkuasa. Ibunya putri dari Bali. Ia akan berkuasa di tanah Jawa, bala tentaranya setan dan demit. Garuda ditafsirkan sebagai burung garuda, lambang negara Republik Indonesia. Kemudian Ngwangga dianggap merujuk kepada Soekarno. Ngwangga merupakan nama lain dari Adipati Karna, tokoh pewayangan saudara Pandawa satu ibu beda ayah.

Seperti diketahui, penggantian nama Kusno menjadi Soekarno karena ayah Bung Karno terpikat dengan ketokohan Adipati Karna atau Karno. Penggantian nama itu berlangsung di Ndalem Pojok, Desa Pojok, Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, saat Soekarno kecil sakit-sakitan. Sementara sesuai teks ramalan, ibu Bung Karno juga berasal dari Bali.

"Tentara setan dan dedemit mengacu pada tentara gerilyawan rakyat jelata Indonesia yang mengobarkan perjuangan sengit dan sukses untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 dan 1949," tulis George Quinn.



Entah karena terpengaruh ramalan itu atau tidak, sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dikabarkan menziarahi Pamuksan Sri Aji Jayabaya Kediri. Bahkan ziarah itu dilakukan sebanyak tiga kali. Menurut saksi mata saat itu, kunjungan terakhir Soekarno dilakukan hanya beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan.

"Aku datang ke sini untuk minta restu Raja Jayabaya," demikian Soekarno menjelaskan kepada rombongannya. "Aku ingin kalian semua membantuku," tambahnya. Di situs Pamuksan Jayabaya, Bung Karno berdiam diri selama tujuh menit. Sebelum beranjak, Bung Karno kemudian berkata: "Sudah direstui. Sekarang kita bisa pergi," demikian dikutip dari Wali Berandal Tanah Jawa.

Entah kebetulan atau memang Jangka Jayabaya memperlihatkan kebenarannya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Soekarno dan Mohammad Hatta kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejak itu Bung Karno adalah Presiden Pertama Republik Indonesia.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2147 seconds (0.1#10.140)