Sri Aji Kresna Kepakisan, Penguasa Bali yang Dikendalikan oleh Majapahit
loading...
A
A
A
Sumpah Palapa yang digaungkan Gajah Mada, usai dilantik menjadi Patih Kerajaan Majapahit, membawa Bali menjadi korban. Ekspedisi untuk melakukan pemekaran wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara, sebagai penerjemahan Sumpah Palapa harus dilalui dengan jalan perang di tanah Bali.
Berdasarkan catatan yang dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Bali, melalui ekspedisi Patih Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi. Sebagai tugu kemenangan yang melambangkan kekuasaan Majapahit di Bali, akhirnya didirikan Pura Kentel Gumi di Desa Tusan.
Pendirian Pura Kentel Gumi tersebut, mulai dilakukan setelah Sri Aji Kresna Kepakisan yang merupakan Adipati Samprangan, dinobatkan sebagai pemimpin di Bali, di bawah kendali Majapahit, pada tahun 1350 Masehi.
Dalam catatan kebudayaan.kemdikbud.go.id, juga disebutkan, pemberian nama Kentel Gumi mengandung makna simbolik, yaitu penegakan kembali keneradaan Pulau Bali oleh Mpu Kuturan. Di mana pada saat itu, Bali telah hancur akibat pemerintahan Maya Danawa yang memerintah pada tahun 962-975 Masehi.
Mpu Kuturan berhasil menegakan kembali kemasyarakatan penduduk Bali setelah dihancurkan oleh pemberontakan Maya Danawa. Secara arfiah dapat dijelaskan tentang pengertian kata Kentel Gumi. Kentel berati padat atau akrab, sedangkan Gumi berarti bumi, tanah, dunia. Dengan demikian kata Kentel Gumi berarti terjadinya suasana akrab di dunia atau terciptanya kedamaian.
Pada pura ini juga dibangun arca-arca perwujudan yang merupakan simbol dari sekte-sekte yang telah menyatu. Setelah pura ini lengkap dengan berbagai pelinggih yang dibangun, maka di beri nama Pura Agung Kentel Gumi.
Dalam situs kebudayaan.kemdikbud.go.id disebutkan, Pura Agung Kentel Gumi didirikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi, dan dilanjutkan pada pertengahan abad ke-14 Masehi oleh Sri Aji Kresna Kepakisan.
Sementara dilansir dari gelgel.desa.id, disebutkan, Kepakisan berasal dari kata dasar Pakis, yang berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja atau Kesatria.
Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah, Sira-Arya Kepakisan, yang merupakan keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar Paku di Jawa, pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura, Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
Diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu, Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu, Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis, dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan atau bhagawanta dari Raja Airlangga, dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal diBali.
Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula, yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahir beberapa putra, yaitu Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra.
Mpu Panawasikan berputra, Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan berputra empat orang, yaitu tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi Raja di Bali.
Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali, dipercaya sebagai keturunan dari Brahmana, yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatria atau dari Danghyang atau Mpu menjadi Sri.
Sri Aji Kresna Kepakisan, mulai memimpin pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa, pada tahun 1350 M atau 1272 Isaka. Oleh penduduk Bali, disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit, ke Pulau Bali, rombongan dari Majapahit tersebut mendarat di Pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan
Dalam pemerintahannya, Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung, berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan raja atau kesatria Kediri.
Baik Adipati maupun Patih Agung berasal dari satu desa yaitu Desa Pakis, sehingga setibanya di Bali, menggunakan nama yang hampir sama. Adipatinya bergelarSri Dalem Kresna Kepakisan, sedangkan Patih Agungnya bergelarArya Kepakisan,atauSri Nararya Kresna Kepakisan
Dalam pemerintahannya, Sri Kresna Kepakisan juga didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota kerajaan dipindahkan dari Gelgel, ke Samprangan.
Samprangan menjadi piliahn sebagai ibu kota, karena ketika ekspedisi Gajah Mada, Desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada, serta tempat mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan kini menunjukkan, jarak Desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.
Dari Babad Dalem, diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali, Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan, dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul. Seluruh konsepk kebudayaannya, memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali.
Sri Kresna Kepakisan beristri dua. Istri pertama adalah Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah Para. Dari pernikahan ini, lahir Dalem Wayan (Dalem Samprangan); Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan); Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak); dan Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir).
Sementara istri kedua Sri Kresna Kepakisan, adalah Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin. Dari pernikahan kedua ini, Sri Kresna Kepakisan memiliki satu putra, yakni Dewa Tegal Besung.
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan, menjadi awal terbentuknya dinasti baru di Bali, yaitu Dinasti Kresna Kepakisan. Dinasti ini berkuasa di Bali, sampai awal abad ke-20, atau tepatnya pada tahun 1908.
Kehadiran Sri Kresna Kepakisan, membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit, ke Bali, termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting, atas struktur pelapisan masyarakat Bali.Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.
Semasa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Samprangan, ternyata juga banyak diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga. Pemberontakan itu terjadi di Desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Sri Kresna Kepakisan, sempat putus asa dengan banyaknya pemberontakan yang terjadi. Bahkan, dia sempat mengirimkan utusan ke Majapahit, untuk melaporkan kondisinya yang kesulitan mengatasi situasi di Bali.
Untuk memecahkan persoalan pemberontakan tersebut, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Sri Kresna Kepakisan, serta simbol-simbol kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran, dan keris pusaka Ki Lobar.
Sebagai raja, Sri Kresna Kepakisan juga dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia. Dia menjadi pemegang otoritas politik dan kekuasaan tertinggi di kerajaan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, dia dibantu sejumlah pejabat birokrasi.
Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Sebelum menjadi raja, para putra mahkota biasanya diberi kedudukan sebagai raja muda atau Yuwaraja.
Selain itu, raja dibantu oleh sebuah lembaga yang berfungsi sebagai dewan pertimbangan. Anggota dewan pertimbangan ini, merupakan sanak saudara raja. Kitab Negara Kertagama menyebut, dewan pertimbangan raja ini dengan nama Pahem Narendra.
Untuk menjalankan urusan keagamaan dan hukum agama, Sri Kresna Kepakisan dibantu oleh dua Dharma Dhyaksa. Yakni Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan, yang mengurus agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan yang mengurus agama Budha.
Pemerintahan Sri Kresna Kepakisan, juga dibantu oleh para Arya yang memimpin sejumlah wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Bali. Para Arya ini, tiba di tanah Bali, bersamaan dengan ekspedisi Majapahit, yang dipimpin Gajah Mada. Selain itu, ada juga Arya yang tiba di Bali, bersama Sri Kresna Kepakisan.
Para Arya itu, yakni Arya Kencengmengambil tempat di Tabanan; Arya Kanuruhanmengambil tempat di Tangkas; Kyai Anglurah Pinatih Mantradi Kertalangu; Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal; Arya Belogmengambil tempat di Kaba Kaba; Arya Pangalasan; Arya Manguri; dan Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getasmengambil tempat di Toya Anyar.
Selain itu ada Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon; Arya Kutawaringinbertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung; Arya Belentong mengambil tempat di Pacung; Arya Sentongmengambil tempat di Carangsari; Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal; Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti; dan Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet.
Selanjutnya ada Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana; Arya Melel Cengkrongmengambil tempat di Jembrana; Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem; serta Sang Tri Wesya, yakni Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal, dan Si Tanmundur di Cegahan.
Sri Kresna Kepakisan, diduga menjadi penganut sekte Waisnawa, dari Sub Sekte Bhagawata. Hal ini dikaitkan dengan nama Kresna yang dipergunakannya. Kondisi ini juga dapat dilihat dari Bujangga Waisnawa yang mengelilinginya.
Kehidupan berkesenian di masa kepemimpinnan Sri Kresna Kepakisan, juga berkembang dengan baik sebagai kelanjutan dari seni budaya yang telah ada sejak zaman Kerajaan Bali Kuno pada abad 10-14 Masehi.
Kala itu, masyarakat di Kerajaan Bali telah mengenal kesenian Lakon Topeng, yang pada zaman Kerajaan Bali Kuno disebut Pertapukan. Selain itu, juga berkembang seni pertunjukan berupa wayang. Dalam prasasti Bali Kuno, juga disebutkan masyarakat sudah mengenal seni tabuh dan tiup, baik itu gamelan, kendang, maupun seruling.
Pada masa Samprangan, masyarakat Bali juga telah mengenal beberapa kitab kesusastraan. Kitab-kitab sastra ini, memiliki fungsi sebagai penuntut kejiwaan masyarakat, agar mereka mampu berbuat sesuai ajaran-ajaran agama. Sejumlah karya sastra yang dikenal di masa Samprangan, antara lain Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha, serta kitab sastra lainnya.
Masa kepemimpinan Sri Kresna Kepakisan berakhir pada tahun 1373 M atau 1295 Isaka. Banyak yang percaya Sri Kresna Kepakisan muksa. Kepemimpinan Kerajaan Bali di bawah kendali Majapahit, akhirnya digantikan putra tertua Sri Kresna Kepakisan, yakni Dalem Wayan, dan saat menjadi raja memiliki gelar Dalem Sri Agra Samprangan.
Sumber:
- kebudayaan.kemdikbud.go.id
- gelgel.desa.id
Lihat Juga: Kisah Raja Kediri Jayabaya Serang Jenggala Demi Kuasai Bandar Dagang Terbesar di Pulau Jawa
Berdasarkan catatan yang dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Bali, melalui ekspedisi Patih Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi. Sebagai tugu kemenangan yang melambangkan kekuasaan Majapahit di Bali, akhirnya didirikan Pura Kentel Gumi di Desa Tusan.
Pendirian Pura Kentel Gumi tersebut, mulai dilakukan setelah Sri Aji Kresna Kepakisan yang merupakan Adipati Samprangan, dinobatkan sebagai pemimpin di Bali, di bawah kendali Majapahit, pada tahun 1350 Masehi.
Dalam catatan kebudayaan.kemdikbud.go.id, juga disebutkan, pemberian nama Kentel Gumi mengandung makna simbolik, yaitu penegakan kembali keneradaan Pulau Bali oleh Mpu Kuturan. Di mana pada saat itu, Bali telah hancur akibat pemerintahan Maya Danawa yang memerintah pada tahun 962-975 Masehi.
Mpu Kuturan berhasil menegakan kembali kemasyarakatan penduduk Bali setelah dihancurkan oleh pemberontakan Maya Danawa. Secara arfiah dapat dijelaskan tentang pengertian kata Kentel Gumi. Kentel berati padat atau akrab, sedangkan Gumi berarti bumi, tanah, dunia. Dengan demikian kata Kentel Gumi berarti terjadinya suasana akrab di dunia atau terciptanya kedamaian.
Pada pura ini juga dibangun arca-arca perwujudan yang merupakan simbol dari sekte-sekte yang telah menyatu. Setelah pura ini lengkap dengan berbagai pelinggih yang dibangun, maka di beri nama Pura Agung Kentel Gumi.
Dalam situs kebudayaan.kemdikbud.go.id disebutkan, Pura Agung Kentel Gumi didirikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi, dan dilanjutkan pada pertengahan abad ke-14 Masehi oleh Sri Aji Kresna Kepakisan.
Sementara dilansir dari gelgel.desa.id, disebutkan, Kepakisan berasal dari kata dasar Pakis, yang berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja atau Kesatria.
Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah, Sira-Arya Kepakisan, yang merupakan keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar Paku di Jawa, pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura, Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
Diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu, Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu, Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis, dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan atau bhagawanta dari Raja Airlangga, dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal diBali.
Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula, yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahir beberapa putra, yaitu Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra.
Mpu Panawasikan berputra, Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan berputra empat orang, yaitu tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi Raja di Bali.
Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali, dipercaya sebagai keturunan dari Brahmana, yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatria atau dari Danghyang atau Mpu menjadi Sri.
Sri Aji Kresna Kepakisan, mulai memimpin pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa, pada tahun 1350 M atau 1272 Isaka. Oleh penduduk Bali, disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit, ke Pulau Bali, rombongan dari Majapahit tersebut mendarat di Pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan
Dalam pemerintahannya, Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung, berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan raja atau kesatria Kediri.
Baik Adipati maupun Patih Agung berasal dari satu desa yaitu Desa Pakis, sehingga setibanya di Bali, menggunakan nama yang hampir sama. Adipatinya bergelarSri Dalem Kresna Kepakisan, sedangkan Patih Agungnya bergelarArya Kepakisan,atauSri Nararya Kresna Kepakisan
Dalam pemerintahannya, Sri Kresna Kepakisan juga didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota kerajaan dipindahkan dari Gelgel, ke Samprangan.
Samprangan menjadi piliahn sebagai ibu kota, karena ketika ekspedisi Gajah Mada, Desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada, serta tempat mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan kini menunjukkan, jarak Desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.
Dari Babad Dalem, diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali, Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan, dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul. Seluruh konsepk kebudayaannya, memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali.
Sri Kresna Kepakisan beristri dua. Istri pertama adalah Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah Para. Dari pernikahan ini, lahir Dalem Wayan (Dalem Samprangan); Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan); Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak); dan Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir).
Sementara istri kedua Sri Kresna Kepakisan, adalah Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin. Dari pernikahan kedua ini, Sri Kresna Kepakisan memiliki satu putra, yakni Dewa Tegal Besung.
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan, menjadi awal terbentuknya dinasti baru di Bali, yaitu Dinasti Kresna Kepakisan. Dinasti ini berkuasa di Bali, sampai awal abad ke-20, atau tepatnya pada tahun 1908.
Kehadiran Sri Kresna Kepakisan, membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit, ke Bali, termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting, atas struktur pelapisan masyarakat Bali.Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.
Semasa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Samprangan, ternyata juga banyak diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga. Pemberontakan itu terjadi di Desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Sri Kresna Kepakisan, sempat putus asa dengan banyaknya pemberontakan yang terjadi. Bahkan, dia sempat mengirimkan utusan ke Majapahit, untuk melaporkan kondisinya yang kesulitan mengatasi situasi di Bali.
Untuk memecahkan persoalan pemberontakan tersebut, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Sri Kresna Kepakisan, serta simbol-simbol kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran, dan keris pusaka Ki Lobar.
Sebagai raja, Sri Kresna Kepakisan juga dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia. Dia menjadi pemegang otoritas politik dan kekuasaan tertinggi di kerajaan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, dia dibantu sejumlah pejabat birokrasi.
Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Sebelum menjadi raja, para putra mahkota biasanya diberi kedudukan sebagai raja muda atau Yuwaraja.
Selain itu, raja dibantu oleh sebuah lembaga yang berfungsi sebagai dewan pertimbangan. Anggota dewan pertimbangan ini, merupakan sanak saudara raja. Kitab Negara Kertagama menyebut, dewan pertimbangan raja ini dengan nama Pahem Narendra.
Untuk menjalankan urusan keagamaan dan hukum agama, Sri Kresna Kepakisan dibantu oleh dua Dharma Dhyaksa. Yakni Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan, yang mengurus agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan yang mengurus agama Budha.
Pemerintahan Sri Kresna Kepakisan, juga dibantu oleh para Arya yang memimpin sejumlah wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Bali. Para Arya ini, tiba di tanah Bali, bersamaan dengan ekspedisi Majapahit, yang dipimpin Gajah Mada. Selain itu, ada juga Arya yang tiba di Bali, bersama Sri Kresna Kepakisan.
Para Arya itu, yakni Arya Kencengmengambil tempat di Tabanan; Arya Kanuruhanmengambil tempat di Tangkas; Kyai Anglurah Pinatih Mantradi Kertalangu; Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal; Arya Belogmengambil tempat di Kaba Kaba; Arya Pangalasan; Arya Manguri; dan Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getasmengambil tempat di Toya Anyar.
Selain itu ada Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon; Arya Kutawaringinbertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung; Arya Belentong mengambil tempat di Pacung; Arya Sentongmengambil tempat di Carangsari; Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal; Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti; dan Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet.
Selanjutnya ada Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana; Arya Melel Cengkrongmengambil tempat di Jembrana; Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem; serta Sang Tri Wesya, yakni Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal, dan Si Tanmundur di Cegahan.
Sri Kresna Kepakisan, diduga menjadi penganut sekte Waisnawa, dari Sub Sekte Bhagawata. Hal ini dikaitkan dengan nama Kresna yang dipergunakannya. Kondisi ini juga dapat dilihat dari Bujangga Waisnawa yang mengelilinginya.
Kehidupan berkesenian di masa kepemimpinnan Sri Kresna Kepakisan, juga berkembang dengan baik sebagai kelanjutan dari seni budaya yang telah ada sejak zaman Kerajaan Bali Kuno pada abad 10-14 Masehi.
Kala itu, masyarakat di Kerajaan Bali telah mengenal kesenian Lakon Topeng, yang pada zaman Kerajaan Bali Kuno disebut Pertapukan. Selain itu, juga berkembang seni pertunjukan berupa wayang. Dalam prasasti Bali Kuno, juga disebutkan masyarakat sudah mengenal seni tabuh dan tiup, baik itu gamelan, kendang, maupun seruling.
Pada masa Samprangan, masyarakat Bali juga telah mengenal beberapa kitab kesusastraan. Kitab-kitab sastra ini, memiliki fungsi sebagai penuntut kejiwaan masyarakat, agar mereka mampu berbuat sesuai ajaran-ajaran agama. Sejumlah karya sastra yang dikenal di masa Samprangan, antara lain Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha, serta kitab sastra lainnya.
Masa kepemimpinan Sri Kresna Kepakisan berakhir pada tahun 1373 M atau 1295 Isaka. Banyak yang percaya Sri Kresna Kepakisan muksa. Kepemimpinan Kerajaan Bali di bawah kendali Majapahit, akhirnya digantikan putra tertua Sri Kresna Kepakisan, yakni Dalem Wayan, dan saat menjadi raja memiliki gelar Dalem Sri Agra Samprangan.
Sumber:
- kebudayaan.kemdikbud.go.id
- gelgel.desa.id
Lihat Juga: Kisah Raja Kediri Jayabaya Serang Jenggala Demi Kuasai Bandar Dagang Terbesar di Pulau Jawa
(eyt)