Akhir Tragis Raja Jayanegara Penguasa Majapahit, Dibunuh Abdi Dalem karena Lecehkan Istri Orang
loading...
A
A
A
JAYANEGARA naik takhta menggantikan ayahnya Raden Wijaya sebagai raja Majapahit di usia yang masih sangat belia yakni 15 tahun. Sayangnya, hidupnya berakhir tragis di tangan abdi dalemnya sendiri, Ra Tanca.
Ternyata banyak orang di Majapahit yang tidak senang dengan naiknya Jayanegara menjadi raja. Salah satu penyebabnya adalah karena dia berdarah campuran, Jawa dan Melayu, bukan turunan murni dari Kertanagara, raja terakhir Singhasari sebelum Majapahit berdiri.
Jayanegara adalah putra sulung Raden Wijaya dengan Dara Petak putri Kerajaan Dharmasraya dari Melayu. Sedangkan dua saudara Jayanegara yakni, Tribhuwanatunggadewi dan Dyah Wiyat Uri Rajadewi adalah anak Raden Wijaya dengan Gayatri Rajapatni. Kedua putri Gayatri tersebut masing-masing menjadi penguasa daerah Kahuripan dan Daha. Saat itu suasana Kerajaan Majapahit masih kacau.
Di bawah kekuasaan Jayanegara, Majapahit kala itu terkenal sebagai masa pergolakan karena banyak pemberontakan. Bahkan raja harus mengungsi untuk menjaga keselamatan. Adalah seorang tokoh mahapatih Majapahit yang bermulut culas, suka mengadu domba bahkan menghasut raja. Akibatnya, banyak rekan seperjuangan Raden Wijaya yang memberontak akibat tidak puas dengan kebijakan raja.
Mereka yang memberontak tergabung dalam Dharmaputra, sebuah jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Dharmaputra beranggotakan tujuh orang, antara lain, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Mereka pun tewas dalam pemberontakan.
Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ra Tanca salah satu dari 7 Pejabat Dharmaputra yang berprofesi sebagai tabib Istana menyimpan dendam dalam-dalam terhadap Jayanegara.
Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa dendamnya pada Jayanegara muncul selepas istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh raja. Ia juga masih menyimpan dendam terhadap kematian teman-teman seperjuangannya di Dharmaputra.
Sembilan tahun pascaperistiwa Kuti, putri Tribuanarunggadewi dan Rajadewi Maharajasa yang merupakan dua putri keturunan Raja Kertanegara, tidak diizinkan menikah oleh Raja Jayanegara. Alasannya karena keduanya hendak dikawini oleh Jayanegara. Tindakan tak senonoh itu diterima kedua putri Kertanegara.
Tindakan Jayanegara ini didengar oleh Dharmaputra Tanca. Tanca pun mengadukannya kepada Gajah Mada, yang kala itu menjadi Mahapatih. Para jejaka dan laki-laki menghendaki sang putri disingkirkan oleh Raja Jayanegara. Kebetulan Jayanegara kala itu menderita sakit bisul. Beliau tidak dapat keluar dari istana, dan harus selalu berbaring di atas tempat tidur.
Tanca pun dipanggil untuk mengobatinya, ia dipercaya lantaran memiliki kemampuan mengobati penyakit. Tanca pun memasuki kamar tidur untuk mengobati Jayanegara. Bengkak pada kaki raja harus dibedah, satu dua kali tidak berhasil dibedah.
Tanca mendapatkan perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Dia pun menghadap raja di tempat tidur. Raja ditusuk dengan taji Tanca. Satu, dua kali tapi tidak mempan. Raja lalu diminta jimatnya, dan meletakkan di tempat tidur. Baru setelah itu tusukan taji mempan. Tanca menusukan berulang kali hingga raja tewas di tempat tidur. Tanca segera dibunuh Gajah Mada. Maka, mati lah Tanca,’’ (Padmopuspita, 1966,: 82-3).
Menurut kitab Babad Dalem dari Bali, kematian raja Jayanegara atau Kala Gemet sebenarnya sudah dirancang Gajah Mada. Sang Patih sering kali mendapat laporan bahwa raja suka mengganggu dan berhubungan dengan perempuan-perempuan yang telah bersuami. Perbuatan itu merupakan nista. Dalam kitab Kutaramanawadharmasastra Majapahit menyatakan, bahwa hukuman bagi orang yang mengganggu perempuan yang bersuami sangat berat.
Raja Jayanegara mati akibat tikaman Tanca. Gajah Mada yang mengetahui kejadian tersebut langsung bangkit dan menusuk Tanca, hingga tewas. Kejadian pembunuhan sang raja Jayanegara tercatat pada tahun 1328 Masehi atau 1250 Saka.
Sumber: dok.sindonews/inews/okezone
Ternyata banyak orang di Majapahit yang tidak senang dengan naiknya Jayanegara menjadi raja. Salah satu penyebabnya adalah karena dia berdarah campuran, Jawa dan Melayu, bukan turunan murni dari Kertanagara, raja terakhir Singhasari sebelum Majapahit berdiri.
Jayanegara adalah putra sulung Raden Wijaya dengan Dara Petak putri Kerajaan Dharmasraya dari Melayu. Sedangkan dua saudara Jayanegara yakni, Tribhuwanatunggadewi dan Dyah Wiyat Uri Rajadewi adalah anak Raden Wijaya dengan Gayatri Rajapatni. Kedua putri Gayatri tersebut masing-masing menjadi penguasa daerah Kahuripan dan Daha. Saat itu suasana Kerajaan Majapahit masih kacau.
Baca Juga
Di bawah kekuasaan Jayanegara, Majapahit kala itu terkenal sebagai masa pergolakan karena banyak pemberontakan. Bahkan raja harus mengungsi untuk menjaga keselamatan. Adalah seorang tokoh mahapatih Majapahit yang bermulut culas, suka mengadu domba bahkan menghasut raja. Akibatnya, banyak rekan seperjuangan Raden Wijaya yang memberontak akibat tidak puas dengan kebijakan raja.
Mereka yang memberontak tergabung dalam Dharmaputra, sebuah jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Dharmaputra beranggotakan tujuh orang, antara lain, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Mereka pun tewas dalam pemberontakan.
Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ra Tanca salah satu dari 7 Pejabat Dharmaputra yang berprofesi sebagai tabib Istana menyimpan dendam dalam-dalam terhadap Jayanegara.
Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa dendamnya pada Jayanegara muncul selepas istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh raja. Ia juga masih menyimpan dendam terhadap kematian teman-teman seperjuangannya di Dharmaputra.
Sembilan tahun pascaperistiwa Kuti, putri Tribuanarunggadewi dan Rajadewi Maharajasa yang merupakan dua putri keturunan Raja Kertanegara, tidak diizinkan menikah oleh Raja Jayanegara. Alasannya karena keduanya hendak dikawini oleh Jayanegara. Tindakan tak senonoh itu diterima kedua putri Kertanegara.
Tindakan Jayanegara ini didengar oleh Dharmaputra Tanca. Tanca pun mengadukannya kepada Gajah Mada, yang kala itu menjadi Mahapatih. Para jejaka dan laki-laki menghendaki sang putri disingkirkan oleh Raja Jayanegara. Kebetulan Jayanegara kala itu menderita sakit bisul. Beliau tidak dapat keluar dari istana, dan harus selalu berbaring di atas tempat tidur.
Tanca pun dipanggil untuk mengobatinya, ia dipercaya lantaran memiliki kemampuan mengobati penyakit. Tanca pun memasuki kamar tidur untuk mengobati Jayanegara. Bengkak pada kaki raja harus dibedah, satu dua kali tidak berhasil dibedah.
Tanca mendapatkan perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Dia pun menghadap raja di tempat tidur. Raja ditusuk dengan taji Tanca. Satu, dua kali tapi tidak mempan. Raja lalu diminta jimatnya, dan meletakkan di tempat tidur. Baru setelah itu tusukan taji mempan. Tanca menusukan berulang kali hingga raja tewas di tempat tidur. Tanca segera dibunuh Gajah Mada. Maka, mati lah Tanca,’’ (Padmopuspita, 1966,: 82-3).
Menurut kitab Babad Dalem dari Bali, kematian raja Jayanegara atau Kala Gemet sebenarnya sudah dirancang Gajah Mada. Sang Patih sering kali mendapat laporan bahwa raja suka mengganggu dan berhubungan dengan perempuan-perempuan yang telah bersuami. Perbuatan itu merupakan nista. Dalam kitab Kutaramanawadharmasastra Majapahit menyatakan, bahwa hukuman bagi orang yang mengganggu perempuan yang bersuami sangat berat.
Raja Jayanegara mati akibat tikaman Tanca. Gajah Mada yang mengetahui kejadian tersebut langsung bangkit dan menusuk Tanca, hingga tewas. Kejadian pembunuhan sang raja Jayanegara tercatat pada tahun 1328 Masehi atau 1250 Saka.
Sumber: dok.sindonews/inews/okezone
(nic)