Bersengketa dengan Pengusaha Besar, 28 Pembeli Kondotel di Makassar Minta Perlindungan Menkopolhukam
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Sebanyak 28 pembeli kondotel Multi Niaga Junction meminta perlindungan hukum kepada Menkopolhukam Mahfud MD dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Hal tersebut berkaitan dengan kisruh sengketa lahan dengan seorang pengusaha besar di Jalan Hertasning Baru, Kecamatan Rappocini, yang telah berproses secara hukum perdata di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.
Putusan majelis hakim yang dipimpin oleh Farid Hidayat Sopamena pada 11 Oktober 2022 dinilai melanggar undang-undang dan kode etik, dimana pihak hakim disebut bersikap aktif dan berpihak. Pihak pengadilan yang tidak kunjung memberikan salinan putusan lebih dari sepekan usai putusan juga dikeluhkan.
Kuasa hukum dari 28 pembeli kondotel, Syamsuddin, mengaku belum dapat menyusun memori banding karena belum ada salinan putusan dari pengadilan. Meski demikian, ia memastikan pihaknya bakal mengajukan banding, sembari meminta perlindungan hukum dan melaporkan dugaan pelanggaran kode etik atas putusan tersebut.
"Kami akan laporkan pelanggaran yang terjadi, termasuk ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kami juga ingin meminta perlindungan hukum ke Menkopolhukam Mahfud MD , juga berharap kepada Presiden (Jokowi), ya semua upaya mencari perlindungan hukum," kata Syamsuddin, Jumat (21/10/2022).
Ia menjelaskan pelanggaran yang dimaksud ialah putusan majelis hakim yang dinilai menyimpang dari ketentuan perundang-undangan. Majelis hakim disebutnya bersikap aktif dan melakukan tindakan ultra petita, sehingga amar putusan perkara berubah.
Dalam amar putusannya, majelis hakim dianggap bersikap aktif dan berpihak dengan menyempurnakan petitum, kemudian mengabulkan apa yang tidak diminta oleh pelawan dalam perkara tersebut. Ada tiga poin dalam amar putusan perkara yang disebut disempurnakan oleh majelis hakim yakni poin 4, 5 dan 6.
"Tidak pernah ada dalam sejarah, hakim menambahkan apa yang diminta penggugat. Hakim melampaui apa yang diminta penggugat atau ultra petita," ungkapnya.
Lebih jauh, Syamsuddin mengimbuhkan 28 kliennya sejatinya tidak ingin perkara ini berlarut-larut. Pihaknya hanya ingin mencari keadilan, dalam artian jika penggugat ingin melakukan eksekusi atas tanah wakaf tersebut agar memberikan kompensasi yang layak dan setimpal, sehingga tidak malah menimbulkan kerugian.
Sekadar diketahui, perkara ini bermula dari pembangunan kondotel Multi Niaga Junction atas nama pemilik almarhum Mubyl Handaling pada 2010. Terdapat 28 pembeli yang terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari pengusaha, pensiunan ASN, karyawan swasta, guru besar hingga ibu rumah tangga.
Belakangan, kondotel tersebut tidak kunjung tuntas hingga 2015, sehingga para pembeli akhirnya mengajukan gugatan wanprestasi dan memenangkannya. Kerugian para pembeli pada saat itu ditaksir mencapai Rp9 miliar. Kemudian, lahir putusan sita jaminan aset berupa akta jual beli atas lahan seluas 1.850 meter persegi.
Lahan yang diketahui merupakan tanah wakaf tersebut belakangan terus berperkara. Terbaru, muncul gugatan dari seorang pengusaha besar, dimana lahan yang disengketakan merupakan akses jalan masuk menuju rumah sakit yang segera diresmikan. Lahan itu sendiri diketahui masih dikuasai secara fisik oleh Syamsuddin dkk, meski gelombang teror dari preman suruhan terus bermunculan.
Putusan majelis hakim yang dipimpin oleh Farid Hidayat Sopamena pada 11 Oktober 2022 dinilai melanggar undang-undang dan kode etik, dimana pihak hakim disebut bersikap aktif dan berpihak. Pihak pengadilan yang tidak kunjung memberikan salinan putusan lebih dari sepekan usai putusan juga dikeluhkan.
Kuasa hukum dari 28 pembeli kondotel, Syamsuddin, mengaku belum dapat menyusun memori banding karena belum ada salinan putusan dari pengadilan. Meski demikian, ia memastikan pihaknya bakal mengajukan banding, sembari meminta perlindungan hukum dan melaporkan dugaan pelanggaran kode etik atas putusan tersebut.
"Kami akan laporkan pelanggaran yang terjadi, termasuk ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kami juga ingin meminta perlindungan hukum ke Menkopolhukam Mahfud MD , juga berharap kepada Presiden (Jokowi), ya semua upaya mencari perlindungan hukum," kata Syamsuddin, Jumat (21/10/2022).
Ia menjelaskan pelanggaran yang dimaksud ialah putusan majelis hakim yang dinilai menyimpang dari ketentuan perundang-undangan. Majelis hakim disebutnya bersikap aktif dan melakukan tindakan ultra petita, sehingga amar putusan perkara berubah.
Dalam amar putusannya, majelis hakim dianggap bersikap aktif dan berpihak dengan menyempurnakan petitum, kemudian mengabulkan apa yang tidak diminta oleh pelawan dalam perkara tersebut. Ada tiga poin dalam amar putusan perkara yang disebut disempurnakan oleh majelis hakim yakni poin 4, 5 dan 6.
"Tidak pernah ada dalam sejarah, hakim menambahkan apa yang diminta penggugat. Hakim melampaui apa yang diminta penggugat atau ultra petita," ungkapnya.
Lebih jauh, Syamsuddin mengimbuhkan 28 kliennya sejatinya tidak ingin perkara ini berlarut-larut. Pihaknya hanya ingin mencari keadilan, dalam artian jika penggugat ingin melakukan eksekusi atas tanah wakaf tersebut agar memberikan kompensasi yang layak dan setimpal, sehingga tidak malah menimbulkan kerugian.
Sekadar diketahui, perkara ini bermula dari pembangunan kondotel Multi Niaga Junction atas nama pemilik almarhum Mubyl Handaling pada 2010. Terdapat 28 pembeli yang terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari pengusaha, pensiunan ASN, karyawan swasta, guru besar hingga ibu rumah tangga.
Belakangan, kondotel tersebut tidak kunjung tuntas hingga 2015, sehingga para pembeli akhirnya mengajukan gugatan wanprestasi dan memenangkannya. Kerugian para pembeli pada saat itu ditaksir mencapai Rp9 miliar. Kemudian, lahir putusan sita jaminan aset berupa akta jual beli atas lahan seluas 1.850 meter persegi.
Lahan yang diketahui merupakan tanah wakaf tersebut belakangan terus berperkara. Terbaru, muncul gugatan dari seorang pengusaha besar, dimana lahan yang disengketakan merupakan akses jalan masuk menuju rumah sakit yang segera diresmikan. Lahan itu sendiri diketahui masih dikuasai secara fisik oleh Syamsuddin dkk, meski gelombang teror dari preman suruhan terus bermunculan.
(mhj)