5 Tradisi Cari Jodoh Unik di Nusantara: Omed-omedan sampai Gredoan Cuma Ada di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tradisi cari jodoh di Indonesia masih banyak dipercaya dan dilakukan sampai sekarang. Terdiri dari berbagai suku dan atau keturunan yang berbeda-beda, Indonesia memiliki cukup banyak kebudayaan dan tradisi yang terus dilestarikan.
Dari sekian banyak kebudayaan, salah satu yang cukup menarik perhatian adalah tradisi cari jodoh. Bagi sebagian orang, jodoh atau pendamping hidup mungkin menjadi masalah pribadi yang ditentukan sesuai keinginan.
Baca juga : Pesta Budaya Rondang Bittang, Momen Muda Mudi Simalungun Cari Jodoh
Akan tetapi, di berbagai penjuru Indonesia terdapat sejumlah tradisi unik tentang pencarian pasangan hidup ini.
Berikut lima tradisi cari jodoh unik di nusantara yang perlu diketahui.
1. Omed-Omedan (Bali)
Bali dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak tradisi unik. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah tradisi omed-omedan.
Dikutip dari pemberiaan MPI, Omed-omedan bisa dibilang sebagai tradisi mencari jodoh yang cukup ekstrem di Indonesia. Dalam bahasa Bali, Omed-omedan berarti saling tarik menarik.
Adapun untuk pesertanya sendiri adalah laki-laki atau perempuan dengan usia antara 17-30 tahun dan wajib mengenakan pakaian warna putih. Syarat lainnya adalah peserta belum menikah atau tidak sedang menstruasi.
Teknisnya, peserta akan dibagi menjadi dua kelompok dan dilanjutkan aksi dorong mendorong oleh perwakilan salah satu kubu. Kemudian, peserta diperbolehkan untuk berpelukan atau berciuman dengan lawan jenis.
Hal tersebut dilakukan secara bergiliran bagi semua peserta. Biasanya, jika ada yang saling tidak suka, mereka akan mencoba menghindar meski berisiko terdorong.
Setelah acara selesai, pasangan yang telah berpelukan atau berciuman tadi bisa langsung berjodoh. Namun jika belum, mereka bisa mengikutinya lagi tahun depan.
2. Kamomose (Buton Tengah)
Kamomose merupakan tradisi cari jodoh unik yang dimiliki masyarakat Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Dikutip dari pemberitaan sebelumnya, tradisi ini umumnya diperuntukkan bagi remaja yang masih jomblo atau single.
Dalam pelaksanaannya, malam hari setelah Lebaran Idul Fitri, sekelompok wanita akan duduk berjajar saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka akan disediakan sebuah baskom yang terdapat lilin menyala.
Nantinya, para pemuda yang mengikuti Kamomose harus memiliki kacang tanah yang biasa dijual warga sekitar. Setelahnya, mereka harus bergantian dan berkeliling sembari melempar kacang tersebut ke dalam baskom.
Dalam tradisi kamomose, apabila para pemuda tersebut tertarik dengan salah satu gadis, mereka akan melempar kacangnya ke baskom yang dibawa wanita itu. Setelah itu, akan terjadi perundingan dengan pihak keluarga untuk meminta persetujuan.
Jika lamaran disetujui, maka hubungan bisa berlanjut ke tingkat yang lebih serius. Kamomose sendiri berasal dari Komomo yang berarti bunga yang hampir mekar dan Poose ose yang artinya berjajar secara teratur.
Baca juga : Viral! Kakek 80 Tahun di Blitar Buka Biro Jodoh
3. Gredoan (Banyuwangi)
Berikutnya ada tradisi Gredoan yang berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Dikutip dari Skripsi berjudul Tradisi Gredoan Pada Suku Osing Ditinjau Dari ‘Urf karya Fahmi Bahar Prabowo, keberadaan tradisi gredoan di masyarakat Osing sudah ada sejak zaman dulu.
Tradisi Gredoan diartikan sebagai sebuah tradisi yang menjadi ajang pencarian jodoh bagi suku Osing. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini terbuka dan berlaku bagi perjaka, gadis, duda, maupun janda sekalipun.
Penamaan Gredoan sendiri berasal dari kata bahasa Osing, yaitu Nggridu yang berarti goda atau menggoda. Menurut salah satu tokoh, gredoan juga bisa diartikan sebagai cara yang lebih baik bagi gadis, jejaka, duda, atau janda untuk saling mengenal.
Lebih lanjut, tradisi gredoan yang dilakukan pada zaman sekarang hanya dilakukan setahun sekali, yakni ketika peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw atau biasa disebut masyarakat Suku Osing dengan Mauludan.
Para pelaku tradisi Gredoan dari Suku Osing ini percaya bahwa berkenalan melalui gredoan akan berlanjut sampai jenjang pernikahan.
4. Tarian Emaida Yibu (Papua)
Beralih ke tanah Papua, ada sebuah tradisi cari jodoh unik yang bernama Tarian Emaida Yibu. Dikutip dari pemberitaan MPI, tradisi ini dalam riwayatnya biasa dilakukan oleh Suku Mee yang akan membangun sebuah rumah dari bambu dan kayu.
Dalam teknisnya, Tarian Emaida Yibu ini akan membuat para lelaki dan perempuan menari di dalam rumah tersebut. Pada setiap tariannya, mereka akan mencoba untuk saling menarik perhatian lawan jenisnya sampai menemukan pilihan hati.
5. Kabuenga (Wakatobi)
Tradisi cari jodoh Kabuenga mempertemukan antara lelaki dan perempuan yang sudah baligh dalam kegiatan jual beli. Dalam sejarahnya, tradisi ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Buton.
Semua berawal dari banyaknya pemuda yang memilih untuk merantau dan jarang bertemu gadis setempat. Sebagai solusinya, digunakanlah Kabuenga ini untuk mempertemukan mereka.
Teknisnya, para perempuan akan menjual liwo, sejenis makanan khas Wakatobi dengan mengenakan pakaian adat dan konde. Nantinya, para pria akan datang dan bisa membeli dagangan para gadis tersebut.
Dari pertemuan itulah proses perkenalan di antara mereka dimulai. Jika sang pria tertarik, dia bisa langsung mendatangi kediaman perempuan tersebut.
Dari sekian banyak kebudayaan, salah satu yang cukup menarik perhatian adalah tradisi cari jodoh. Bagi sebagian orang, jodoh atau pendamping hidup mungkin menjadi masalah pribadi yang ditentukan sesuai keinginan.
Baca juga : Pesta Budaya Rondang Bittang, Momen Muda Mudi Simalungun Cari Jodoh
Akan tetapi, di berbagai penjuru Indonesia terdapat sejumlah tradisi unik tentang pencarian pasangan hidup ini.
Berikut lima tradisi cari jodoh unik di nusantara yang perlu diketahui.
1. Omed-Omedan (Bali)
Bali dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak tradisi unik. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah tradisi omed-omedan.
Dikutip dari pemberiaan MPI, Omed-omedan bisa dibilang sebagai tradisi mencari jodoh yang cukup ekstrem di Indonesia. Dalam bahasa Bali, Omed-omedan berarti saling tarik menarik.
Adapun untuk pesertanya sendiri adalah laki-laki atau perempuan dengan usia antara 17-30 tahun dan wajib mengenakan pakaian warna putih. Syarat lainnya adalah peserta belum menikah atau tidak sedang menstruasi.
Teknisnya, peserta akan dibagi menjadi dua kelompok dan dilanjutkan aksi dorong mendorong oleh perwakilan salah satu kubu. Kemudian, peserta diperbolehkan untuk berpelukan atau berciuman dengan lawan jenis.
Hal tersebut dilakukan secara bergiliran bagi semua peserta. Biasanya, jika ada yang saling tidak suka, mereka akan mencoba menghindar meski berisiko terdorong.
Setelah acara selesai, pasangan yang telah berpelukan atau berciuman tadi bisa langsung berjodoh. Namun jika belum, mereka bisa mengikutinya lagi tahun depan.
2. Kamomose (Buton Tengah)
Kamomose merupakan tradisi cari jodoh unik yang dimiliki masyarakat Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Dikutip dari pemberitaan sebelumnya, tradisi ini umumnya diperuntukkan bagi remaja yang masih jomblo atau single.
Dalam pelaksanaannya, malam hari setelah Lebaran Idul Fitri, sekelompok wanita akan duduk berjajar saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka akan disediakan sebuah baskom yang terdapat lilin menyala.
Nantinya, para pemuda yang mengikuti Kamomose harus memiliki kacang tanah yang biasa dijual warga sekitar. Setelahnya, mereka harus bergantian dan berkeliling sembari melempar kacang tersebut ke dalam baskom.
Dalam tradisi kamomose, apabila para pemuda tersebut tertarik dengan salah satu gadis, mereka akan melempar kacangnya ke baskom yang dibawa wanita itu. Setelah itu, akan terjadi perundingan dengan pihak keluarga untuk meminta persetujuan.
Jika lamaran disetujui, maka hubungan bisa berlanjut ke tingkat yang lebih serius. Kamomose sendiri berasal dari Komomo yang berarti bunga yang hampir mekar dan Poose ose yang artinya berjajar secara teratur.
Baca juga : Viral! Kakek 80 Tahun di Blitar Buka Biro Jodoh
3. Gredoan (Banyuwangi)
Berikutnya ada tradisi Gredoan yang berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Dikutip dari Skripsi berjudul Tradisi Gredoan Pada Suku Osing Ditinjau Dari ‘Urf karya Fahmi Bahar Prabowo, keberadaan tradisi gredoan di masyarakat Osing sudah ada sejak zaman dulu.
Tradisi Gredoan diartikan sebagai sebuah tradisi yang menjadi ajang pencarian jodoh bagi suku Osing. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini terbuka dan berlaku bagi perjaka, gadis, duda, maupun janda sekalipun.
Penamaan Gredoan sendiri berasal dari kata bahasa Osing, yaitu Nggridu yang berarti goda atau menggoda. Menurut salah satu tokoh, gredoan juga bisa diartikan sebagai cara yang lebih baik bagi gadis, jejaka, duda, atau janda untuk saling mengenal.
Lebih lanjut, tradisi gredoan yang dilakukan pada zaman sekarang hanya dilakukan setahun sekali, yakni ketika peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw atau biasa disebut masyarakat Suku Osing dengan Mauludan.
Para pelaku tradisi Gredoan dari Suku Osing ini percaya bahwa berkenalan melalui gredoan akan berlanjut sampai jenjang pernikahan.
4. Tarian Emaida Yibu (Papua)
Beralih ke tanah Papua, ada sebuah tradisi cari jodoh unik yang bernama Tarian Emaida Yibu. Dikutip dari pemberitaan MPI, tradisi ini dalam riwayatnya biasa dilakukan oleh Suku Mee yang akan membangun sebuah rumah dari bambu dan kayu.
Dalam teknisnya, Tarian Emaida Yibu ini akan membuat para lelaki dan perempuan menari di dalam rumah tersebut. Pada setiap tariannya, mereka akan mencoba untuk saling menarik perhatian lawan jenisnya sampai menemukan pilihan hati.
5. Kabuenga (Wakatobi)
Tradisi cari jodoh Kabuenga mempertemukan antara lelaki dan perempuan yang sudah baligh dalam kegiatan jual beli. Dalam sejarahnya, tradisi ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Buton.
Semua berawal dari banyaknya pemuda yang memilih untuk merantau dan jarang bertemu gadis setempat. Sebagai solusinya, digunakanlah Kabuenga ini untuk mempertemukan mereka.
Teknisnya, para perempuan akan menjual liwo, sejenis makanan khas Wakatobi dengan mengenakan pakaian adat dan konde. Nantinya, para pria akan datang dan bisa membeli dagangan para gadis tersebut.
Dari pertemuan itulah proses perkenalan di antara mereka dimulai. Jika sang pria tertarik, dia bisa langsung mendatangi kediaman perempuan tersebut.
(bim)