Fahri Bachmid: Presidential Threshold Ditiadakan Sejalan dengan Spirit Konstitusi

Rabu, 01 Juli 2020 - 19:59 WIB
loading...
A A A
Dengan demikian, Fahri menegaskan bahwa berdasarkan bangunan sistem Pemilu presiden yang demikian itu, secara konstitusional tidak dapat ditafsirkan sebaliknya dengan pranata “presidential threshold” sebagaimana diatur dalam norma pasal 222 UU RI No. 7 Tahun 2017 yang mengatur pasangan Capres yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperolah 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

"Ini merupakan pranata serta norma yang sangat “oligarkis” dan tidak sejalan dengan spirit konstitusi," tegas Fahri,

Disebutkan, mestinya MK sebagai The Guardian of The Constitution tidak boleh mentolerir pelanggaran konstitusi yang sedemikian rupa itu, Dan jika ada kelompok warga negara yang hendak melakukan judicial review ke MK atas hal yang sama dalam rangka menegakan konstitusi, Fahri berharap MK sebagai “The Sole Interpreter of Constitution” dapat membangun tafsir yang sejalan dengan rumusan original intent sebagaimana makna hakiki dari rumusan dalam ketentuan pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945, bahwa pada esensinya syarat pengajuan pasangan Capres dan Cawapres adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.

Menurutnya, hal itu tidak perlu ditafsirkan lain yang sifatnya distorsif dari makna serta teks konstitusi yang sangat terang dan jelas seperti itu. "Jika Pemerintah dan DPR tetap mempertahankan rezim presidential threshold (PT) dalam RUU Pemilu ini tentunya sangat destruktif dan merusak tatanan demokrasi kita, Presidential Threshold adalah barang haram yang wajib ditiadakan," terangnya.

Fahri menambahkan, ketentuan pasal 6A ayat (2) yang mengatur tentang Capres-Cawapres yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum Pemilu dilaksanakan, merupakan rumusan yang telah sangat definitif, jelas, terang serta tidak multi interpratsi.

Sehingga, jangan lagi membangun politik hukum seolah-olah ada ruang pengaturan lebih lanjut serta derivatif untuk membuka peluang bagi DPR menggunakan kewenangan legislasinya dalam format open legal policy untuk merumuskan norma pembatasan retriksi. Artinya, memunculkan ketentuan pasal 222 sebagaimana terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu mewajibkan syarat 20% kursi di DPR dan 25% suara sah nasional maupun dalam RUU Pemilu kedepan

"Ini yang jelas-jelas tidak dikehendaki oleh UUD NRI Tahun 1945, walaupun berkali-kali MK telah menolak permohonan pemohon sepanjang menyangkut dengan uji materil “judicial review” atas norma pasal itu. Intinya Presidential Threshold harus dihapus agar sejalan dengan spirit konstitusi dan prinsip negara hukum yang demokratis dalam rangka menegakan supremasi konstitusi. Bukan merupakan hal yang mustahil jika kedepan MK dapat merubah pendirian konstitusionalnya,dan berpendapat bahwa ambang batas presidential threshold merupakan pengaturan yang bertentangan dengan konstitusi, dan itu merupakan sebuah keniscayaan," jelasnya.

Fahri menambahkan, Mahkamah dalam beberapa putusan juga telah melakukan itu, dan telah ada preseden yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi untuk merubah pendirian dan pandangannya terkait sesuatu hal yang yang telah diputus sebelumnya, kemudian diperbaharui dalam putusan MK berikutnya, dan bukan merupakan hal yang mustahil jika nantinya MK akan merubah pendiriannya terkait dengan ambang batas presidential threshold ini dalam sebuah putusan yang futuristik tentunya.
(mpw)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1795 seconds (0.1#10.140)