Kisah LB Moerdani yang Menolak Diambil Menantu Bung Karno
loading...
A
A
A
Kecakapan Mayor Infanteri LB Moerdani atau Benny Moerdani yang kelak di masa pemerintahan Presiden Soeharto menjadi Panglima ABRI (sekarang TNI), telah memikat hati Presiden Soekarno atau Bung Karno.
Benny Moerdani menjadi salah satu tentara penerima penghargaan Bintang Sakti. Pada November 1960, anugerah untuk para tentara yang berjasa dalam operasi Pembebasan Irian Barat (sekarang Papua) itu disematkan langsung oleh Bung Karno.
Pada dada kiri Benny, yakni di bawah wing tanda kecakapan pasukan payung, tersemat penghargaan Bintang Sakti. Di halaman Istana Merdeka, Bung Karno berpidato dengan menyebut para penerima Bintang Sakti sebagai pahlawan.
Baca juga: Kesal dengan Komandannya, Legenda Kopassus Ini Todongkan Senjata ke Wajah LB Moerdani
“Korbanmu tidak kecil, korbanmu besar sekali. Engkau boleh dinamakan pahlawan, pahlawan bangsa,” kata Bung Karno seperti dikutip dari buku Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan (1993).
Benny Moerdani lahir 2 Oktober 1932 di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Ayahnya, Raden Bagus Moerdani Sosrodirdjo seorang pegawai jawatan kereta api yang sering berpindah-pindah tugas. Ibunya yang bernama Jeanne Roech adalah wanita berdarah Eropa kelahiran Magelang yang berprofesi guru taman kanak-kanak.
Di usia yang belum genap empat tahun, Benny kecil dibawa pindah orang tuanya ke Semarang. Kemudian pindah tugas lagi ke Yogyakarta dan lantas menetap di Solo. Di kesatuannya Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD (sekarang Kopassus), Benny Moerdani menjabat Komandan Batalyon I RPKAD.
Pada pertengahan tahun 1964, Benny dipanggil untuk menghadap Bung Karno di Istana Negara. Bung Karno ingin tahu duduk persoalan insiden bentrokan antara anggota RPKAD dengan anggota Cakrabirawa atau Tjakrabirawa dari unsur KKO (sekarang Marinir).
Kabar adanya bentrok fisik di lapangan Banteng yang dipicu aksi saling ejek, sempat membuat Bung Karno marah. Insiden tersebut bersamaan dengan acara pertemuan para dokter militer di Istana Negara. Pertikaian berakhir damai setelah para pimpinan pasukan, yakni Benny Moerdani, Mayor Saminu dan Komandan Resimen Cakrabirawa Kolonel CPM Moh Sabur bertemu di Markas Garnizun Jakarta.
Di beranda belakang Istana Merdeka, Benny dan Bung Karno bertemu. Dalam pembicaraan itu Benny lebih banyak mendengarkan, sementara Bung Karno bercerita panjang lebar bagaimana di setiap negara harus punya pasukan elite. Yang dimaksud Bung Karno adalah Cakrabirawa yang berdiri awal Mei 1963.
Benny Moerdani menjadi salah satu tentara penerima penghargaan Bintang Sakti. Pada November 1960, anugerah untuk para tentara yang berjasa dalam operasi Pembebasan Irian Barat (sekarang Papua) itu disematkan langsung oleh Bung Karno.
Pada dada kiri Benny, yakni di bawah wing tanda kecakapan pasukan payung, tersemat penghargaan Bintang Sakti. Di halaman Istana Merdeka, Bung Karno berpidato dengan menyebut para penerima Bintang Sakti sebagai pahlawan.
Baca juga: Kesal dengan Komandannya, Legenda Kopassus Ini Todongkan Senjata ke Wajah LB Moerdani
“Korbanmu tidak kecil, korbanmu besar sekali. Engkau boleh dinamakan pahlawan, pahlawan bangsa,” kata Bung Karno seperti dikutip dari buku Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan (1993).
Benny Moerdani lahir 2 Oktober 1932 di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Ayahnya, Raden Bagus Moerdani Sosrodirdjo seorang pegawai jawatan kereta api yang sering berpindah-pindah tugas. Ibunya yang bernama Jeanne Roech adalah wanita berdarah Eropa kelahiran Magelang yang berprofesi guru taman kanak-kanak.
Di usia yang belum genap empat tahun, Benny kecil dibawa pindah orang tuanya ke Semarang. Kemudian pindah tugas lagi ke Yogyakarta dan lantas menetap di Solo. Di kesatuannya Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD (sekarang Kopassus), Benny Moerdani menjabat Komandan Batalyon I RPKAD.
Pada pertengahan tahun 1964, Benny dipanggil untuk menghadap Bung Karno di Istana Negara. Bung Karno ingin tahu duduk persoalan insiden bentrokan antara anggota RPKAD dengan anggota Cakrabirawa atau Tjakrabirawa dari unsur KKO (sekarang Marinir).
Kabar adanya bentrok fisik di lapangan Banteng yang dipicu aksi saling ejek, sempat membuat Bung Karno marah. Insiden tersebut bersamaan dengan acara pertemuan para dokter militer di Istana Negara. Pertikaian berakhir damai setelah para pimpinan pasukan, yakni Benny Moerdani, Mayor Saminu dan Komandan Resimen Cakrabirawa Kolonel CPM Moh Sabur bertemu di Markas Garnizun Jakarta.
Di beranda belakang Istana Merdeka, Benny dan Bung Karno bertemu. Dalam pembicaraan itu Benny lebih banyak mendengarkan, sementara Bung Karno bercerita panjang lebar bagaimana di setiap negara harus punya pasukan elite. Yang dimaksud Bung Karno adalah Cakrabirawa yang berdiri awal Mei 1963.