Tragedi Perang Bubat dan Gagalnya Pernikahan Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka

Jum'at, 12 Agustus 2022 - 08:16 WIB
loading...
Tragedi Perang Bubat dan Gagalnya Pernikahan Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka
Perang Bubat pecah antara pasukan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Sunda, perang tersebut menandakan gagalnya pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dengan Putri Dyah Pitaloka. Foto: Istimewa
A A A
PRABU Linggabuana penguasa Kerajaan Sunda merasa terhormat dengan keinginan Raja Hayam Wuruk untuk memperistri putri kesayangannya, Dyah Pitaloka Citraresmi.

Namun sayang rencana pernikahan itu gagal dan menjadi petaka bagi dua kerajaan hingga pecahnya Perang Bubat.

Awalnya, Prabu Linggabuana dengan senang hati menerima surat lamaran Raja Hayam Wuruk. Maharaja dan rombongan Sunda berencana untuk berangkat menuju Majapahit dalam rangka merayakan pernikahan pada tahun 1357.

Pernikahan besar dua kerajaan di Jawadwipa. Sesuatu yang tak lazim kala itu, saat mempelai wanita harus datang kepada pihak pria, mengetahui hal itu Prabu Linggabuana ternyata sudah menyetujui pernikahan akan diselenggarakan di Majapahit.



Namun sang prabu kaget bersama rombongannya dari Sunda saat tiba di lapangan Bubat, Majapahit, mereka tak menemukan adanya penyambutan apa pun dari tuan rumah.

Padahal, Raja Hayam Wuruk memiliki keinginan untuk menyambut para tamu di persinggahan Bubat tetapi hal tersebut ditentang oleh Gajah Mada.

Menurut Gajah Mada, tidaklah pantas seorang Raja dari kerajaan besar untuk menyambut rombongan dengan mendatanginya di persinggahan Bubat. Hal tersebut dirasa merendahkan harkat dan martabat Kerajaan Majapahit. Karena tak kunjung disambut, Raja dari Kerajaan Sunda mengirim patihnya yang bernama Patih Anepaken untuk menemui pihak Majapahit ke ibukota.

Kedatangan patih Anepaken beserta rombongannya disambut oleh Gajah Mada. Di sinilah konflik mulai terjadi. Gajah Mada meminta agar penyerahan Putri Diah Pitaloka Citraresmi merupakan tanda takhluk kerajaan Sunda terhadap Majapahit. Mengingat Majapahit sudah menguasai Nusantara kecuali Kerajaan Sunda.

Pernyataan dari Gajah Mada membuat rombongan Kerajaan Sunda di bawah kepemimpinan Patih Anepaken merasa sangat kecewa. Akhirnya mereka kembali ke persinggahan Bubat.

Beberapa hari kemudian, tanpa sepengetahuan dari Hayam Wuruk, Gajah Mada mendatangi rombongan Kerajaan Sunda di persinggahan Bubat dengan membawa surat yang berisi permintaan agar Kerajaan Sunda takhluk terhadap Majapahit. Hal tersebut menuai kemarahan dari rombongan Galuh.



Konflik tersebut kemudian melahirkan peperangan yang sangat besar antara rombongan dari Kerajaan Galuh dengan Pasukan dari Majapahit yang dikenal dengan nama Perang Bubat yang terjadi di abad ke 14 pada tahun 1279 Saka atau 1357 M.

Dikarenakan perbedaan kekuatan dari Kerajaan Sunda terhadap Majapahit membuat Kerajaan Sunda kewalahan dan mampu dikalahkan oleh Majapahit.

Prabu Linggabuana Raja Kerajaan Sunda juga ikut gugur dalam peperangan itu. Melihat para prajurit gugur, para istri dari prajurit-prajurit tersebut melakukan aksi belapati tak terkecuali Putri Diah Pitaloka Citraresmi.

Hayam Wuruk baru mengetahui kejadian tersebut setelah peperangan berakhir. Hal itu membuat Hayam Wuruk mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Mengingat putri yang diidam-idamkannya ikut gugur dalam peperangan tersebut.

Sejak saat itu, hubungan antara Kerjaan Galuh dan Kerajaan Majapahit renggang. Setelah peperangan itu juga, hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada renggang yang ikut meruntuhkan kejayaan Majapahit.



Bahkan pasca Perang Bubat, dan gagalnya pernikahan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka membuat Kerajaan Majapahit sempat kehilangan kepercayaan dari Kerajaan Sunda yang memiliki hubungan akrab.

Bahkan permintaan maaf yang telah disampaikan secara terbuka oleh Raja Hayam Wuruk tak bisa diterima begitu saja oleh Patih Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Dikisahkan pada buku "Perang Bubat 1279 Saja : Membongkar Fakta Kerajaan Sunda vs Kerajaan Majapahit" tulisan Sri Wintala Achmad, Bunisora Suradipati yang menjabat sebagai pejabat sementara raja Sunda dibuat marah dan geram atas ulah Kerajaan Majapahit.

Kegagalan pernikahan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Sunda Maharaja Linggabuana Wisesa dengan Hayam Wuruk telah membuat hubungan akrab yang telah bertahun-tahun lamanya antara Majapahit dan Sunda berakhir.

Hayam Wuruk bahkan merasa sangat kehilangan setelah ditinggal sang kekasih pujaan yang akan dinikahinya. Tetapi pada fakta sejarah sepeninggal kegagalan pernikahan dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, Hayam Wuruk dikisahkan sempat menikahi Sri Sudewi atau Indudewi.

Di sisi lain, ulah Gajah Mada yang dianggap biang kerok kegagalan pernikahan dengan Dyah Pitaloka Citraresmi membuatnya tak memiliki wewenang lagi. Cita-citanya untuk merealisasikan gagasan Nusantara dan Sumpah Palapa-nya, seakan-akan langsung kandas saat itu juga.



Bahkan Gajah Mada sempat akan ditangkap oleh pejabat istana Majapahit yang mengejar dan mencarinya. Namun ia berhasil melarikan diri dengan melakukan moksa, alias wafat tanpa meninggalkan raganya.

Di sisi lain, hubungan kedua petinggi Majapahit yang disegani di seantero Nusantara ini tak lagi berbekas. Luka Hayam Wuruk seolah tak bisa disembuhkan, karena begitu kecewa dan patah hatinya gagal menikah dengan perempuan cantik putri Raja Sunda Maharaja Linggabuana Wisesa.

Hayam Wuruk pun memberi Gajah Mada tanah di Madakaripura Probolinggo, yang dapat diartikan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan pensiun. Tanah yang terletak jauh dari Kotaraja Majapahit ini membuat Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari hingar bingar perpolitikan Majapahit.

Bisa disimpulkan bahwa pasca Perang Bubat, Hayam Wuruk mulai mengurangi peran dan fungsi Gajah Mada. Ia tak lagi mempercayai Gajah Mada dan tidak terlalu bergantung padanya.

Menurut Kitab Negarakertagama, dikisahkan bahwa Gajah Mada yang telah berhenti dari jabatannya sebagai mahapatih, jatuh sakit sekitar tahun 1363 M. Gajah Mada dinyatakan wafat pada tahun 1364 M, tanpa takhta dan kekuasaan.

Sumber:
"Perang Bubat 1279 Saja : Membongkar Fakta Kerajaan Sunda vs Kerajaan Majapahit" karya Sri Wintala Achmad, dok/sindonews
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2168 seconds (0.1#10.140)