Harga Ikan Dimonopoli Tauke, Nelayan di Bintan, Karimun, dan Lingga Butuh Pelabuhan
loading...
A
A
A
TANJUNGPINANG - Nelayan di tiga kabupaten di Kepulauan Riau (Kepri), yakni Kabupaten Bintan, Karimun, dan Lingga, belum bisa menentukan harga ikan hasil tangkapannya secara mandiri. Harga ikan masih dikendalikan oleh tauke atau pedagang besar.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Tengku Said Arif Fadillah, nelayan di Kabupaten Bintan, Karimun, dan Lingga, membutuhkan pelabuhan perikanan untuk meningkatkan produktivitas tangkapan ikan.
"Sampai sekarang pelabuhan perikanan di Kepri, hanya ada di Anambas, dan Batam. Sementara pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemprov Kepri hanya pelabuhan perikanan di Anambas," kata Arif.
Mantan Sekda Kepri itu menjelaskan, sebagian warga pesisir di Tanjungpinang, Bintan, Lingga, dan Karimun, bekerja sebagai nelayan. Selama ini harga ikan diatur oleh tauke ikan sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk melindungi para nelayan, terutama nelayan tradisional.
Perlindungan terhadap hak nelayan tradisional, katanya, merupakan upaya penguatan ekonomi perikanan, yang semestinya didukung pula melalui fasilitas yang memadai, seperti pelabuhan yang dijadikan sebagai tempat sandar kapal nelayan.
Tanpa pelabuhan perikanan, menurutnya, mustahil tempat pelelangan ikan dapat beroperasi normal. Tempat pelelangan ikan dibutuhkan untuk melindungi nelayan dalam perdagangan ikan. "Ruangan beku atau pendingin itu dibutuhkan untuk menyimpan ikan," katanya.
Menurut dia, pendapatan asli daerah yang bersumber dari retribusi pengelolaan pelabuhan perikanan di Pulau Antang, Anambas, hanya Rp900 juta. Namun pelabuhan perikanan memberi dampak positif terhadap para nelayan. "Kami mendorong di sekitar kawasan pelabuhan perikanan dibangun ruang pendingin ikan dan tempat pelelangan ikan yang dapat dikelola pemerintah kabupaten," ucapnya.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Bintan, Syukur Harianto alias Buyung Adli mengatakan, nelayan tradisional sulit sejahtera bila harga ikan masih diatur oleh tauke.
Nelayan sekarang tidak khawatir mendapatkan ikan saat melaut, melainkan mereka takut ikan dijual dengan harga rendah. Alasan harga ikan yang dibeli tauke menjadi murah, seperti banjir ikan, atau ikan lagi banyak.
Menurut dia, harga ikan tidak dilepas di pasar, karena tidak menguntungkan nelayan. Sebaiknya pemerintah mengintervensi harga ikan karena ikan merupakan makanan pokok bagi masyarakat kepulauan.
Penetapan harga ikan oleh pemerintah juga harus pro nelayan, agar sesuai target pemerintah mensejahterakan keluarga nelayan dapat terealisasi. Pengendalian perdagangan ikan harus dimulai dari tempat pelelangan ikan.
Bintan sampai sekarang belum memiliki tempat pelelangan ikan, padahal merupakan daerah pesisir yang memiliki luas lautan jauh melebihi luas daratannya. "Sekitar lima tahun lalu, pemda berencana membangun tempat pelelangan ikan di Batu Duyung, dekat Wak Copek, namun sampai sekarang belum terealisasi. Saya tidak tahu pasti apa masalahnya," ucapnya.
"Nelayan dianggap sebagai orang yang paling berjasa memenuhi kebutuhan masyarakat setiap hari. Mereka mengarungi lautan yang terkadang tidak bersahabat. Jadi wajar bila mereka memperoleh pendapatan yang lebih baik dari sekarang," ujarnya.
Jumlah nelayan di Bintan berdasarkan data tahun 2017 sebanyak 13.760 orang. Data terbaru terkait jumlah nelayan belum diperoleh KNTI dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bintan.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Tengku Said Arif Fadillah, nelayan di Kabupaten Bintan, Karimun, dan Lingga, membutuhkan pelabuhan perikanan untuk meningkatkan produktivitas tangkapan ikan.
"Sampai sekarang pelabuhan perikanan di Kepri, hanya ada di Anambas, dan Batam. Sementara pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemprov Kepri hanya pelabuhan perikanan di Anambas," kata Arif.
Baca Juga
Mantan Sekda Kepri itu menjelaskan, sebagian warga pesisir di Tanjungpinang, Bintan, Lingga, dan Karimun, bekerja sebagai nelayan. Selama ini harga ikan diatur oleh tauke ikan sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk melindungi para nelayan, terutama nelayan tradisional.
Perlindungan terhadap hak nelayan tradisional, katanya, merupakan upaya penguatan ekonomi perikanan, yang semestinya didukung pula melalui fasilitas yang memadai, seperti pelabuhan yang dijadikan sebagai tempat sandar kapal nelayan.
Tanpa pelabuhan perikanan, menurutnya, mustahil tempat pelelangan ikan dapat beroperasi normal. Tempat pelelangan ikan dibutuhkan untuk melindungi nelayan dalam perdagangan ikan. "Ruangan beku atau pendingin itu dibutuhkan untuk menyimpan ikan," katanya.
Menurut dia, pendapatan asli daerah yang bersumber dari retribusi pengelolaan pelabuhan perikanan di Pulau Antang, Anambas, hanya Rp900 juta. Namun pelabuhan perikanan memberi dampak positif terhadap para nelayan. "Kami mendorong di sekitar kawasan pelabuhan perikanan dibangun ruang pendingin ikan dan tempat pelelangan ikan yang dapat dikelola pemerintah kabupaten," ucapnya.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Bintan, Syukur Harianto alias Buyung Adli mengatakan, nelayan tradisional sulit sejahtera bila harga ikan masih diatur oleh tauke.
Nelayan sekarang tidak khawatir mendapatkan ikan saat melaut, melainkan mereka takut ikan dijual dengan harga rendah. Alasan harga ikan yang dibeli tauke menjadi murah, seperti banjir ikan, atau ikan lagi banyak.
Menurut dia, harga ikan tidak dilepas di pasar, karena tidak menguntungkan nelayan. Sebaiknya pemerintah mengintervensi harga ikan karena ikan merupakan makanan pokok bagi masyarakat kepulauan.
Penetapan harga ikan oleh pemerintah juga harus pro nelayan, agar sesuai target pemerintah mensejahterakan keluarga nelayan dapat terealisasi. Pengendalian perdagangan ikan harus dimulai dari tempat pelelangan ikan.
Bintan sampai sekarang belum memiliki tempat pelelangan ikan, padahal merupakan daerah pesisir yang memiliki luas lautan jauh melebihi luas daratannya. "Sekitar lima tahun lalu, pemda berencana membangun tempat pelelangan ikan di Batu Duyung, dekat Wak Copek, namun sampai sekarang belum terealisasi. Saya tidak tahu pasti apa masalahnya," ucapnya.
"Nelayan dianggap sebagai orang yang paling berjasa memenuhi kebutuhan masyarakat setiap hari. Mereka mengarungi lautan yang terkadang tidak bersahabat. Jadi wajar bila mereka memperoleh pendapatan yang lebih baik dari sekarang," ujarnya.
Jumlah nelayan di Bintan berdasarkan data tahun 2017 sebanyak 13.760 orang. Data terbaru terkait jumlah nelayan belum diperoleh KNTI dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bintan.
(eyt)