Kisah Perlakuan Jahat Kolonial Belanda terhadap Orang Arab di Nusantara
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kedatangan orang-orang Arab di Nusantara untuk berdagang, terutama Pulau Jawa, sejak awal mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Para pedagang Arab tidak memiliki kebebasan melakukan mobilitas sosial ekonomi. Ruang gerak mereka dibatasi. Sebelum tahun 1919, orang Arab yang hendak bepergian, diharuskan mengantongi surat izin perjalanan yang proses pengurusannya dipersulit.
Mereka juga tidak bisa sesuka hati memilih tempat tinggalnya. Belanda hanya membolehkan orang-orang Arab menghuni sebuah kampung di kawasan kota yang sudah ditunjuk. Begitu pula dengan aktivitas ekonominya, juga dibatasi.
“Di sebagian besar Jawa, misalnya, mereka dilarang memiliki tanah selain jatah rumah,” tulis Huub De Jonge dalam buku Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).
Dalam The History of Java jilid 2 (1817), Thomas Stamford Raffles menyebut, pada awal abad ke-19 terdapat 621 orang Arab dan Moor yang bertempat tinggal di Jawa. Mereka datang sebagai pedagang dan pemuka agama.
Pada sepanjang abad itu jumlah mereka terus meningkat, terutama paska pembukaan terusan Suez tahun 1869. Setiap tahunnya, ribuan orang Arab telah bermigrasi ke timur, termasuk Hindia Belanda.
“Antara tahun 1870 dan 1900, minoritas Arab di Hindia Belanda meningkat dari sekitar 13.000 menjadi 27.000 jiwa,” tulis JM Van Der Kroef dalam Indonesia in the Modern World (1954).
Mayoritas orang-orang Arab yang datang ke Jawa berasal dari Hadhramaut, yakni sebuah wilayah di Yaman Selatan yang mulai tahun 1990 bergabung dengan Yaman Utara dan menjadi Republik Yaman. Selebihnya merupakan pendatang dari Hejaz.
Dalam politik rasialnya, Pemerintah Hindia Belanda menggolongkan para pendatang Arab sebagai golongan Timur Asing. Posisi sosial mereka sama dengan orang Tionghoa dan orang asing Asia lainnya (kecuali Jepang).
Perlakuan tidak mengenakkan Kolonial Belanda tidak hanya pada wilayah aktifitas sosial ekonomi. Kolonial Belanda juga berusaha menjatuhkan entitas Arab dengan melakukan propaganda keburukan yang terkait sifat atau tindak- tanduk.
Praktik renternir dan riba yang dilakukan sejumlah oknum di Nusantara, dipakai kolonial Belanda sebagai stereotip untuk mencemarkan komunitas Arab secara keseluruhan. Padahal terdapat juga oknum dari kalangan orang Tionghoa yang melakukan aktifitas ekonomi serupa (renternir).
“Jika laporan kolonial dapat dipercaya, di beberapa kawasan, kata “Arab” identik dengan istilah seperti “pelit” dan “penipu”,” tulis Oetarjo dalam catatan Over den wokerin de regentschappen Tegal, Brebes en Pemalang (1925).
Kolonial Belanda memandang orang-orang Arab dari Hadhramaut atau Hadhrami sebagai elemen yang menganggu, terutama dengan sikap fanatiknya. Belanda berdalih mereka tak memiliki sumbangan apapun untuk kemakmuran Hindia Belanda.
Puncak sentimen kolonial terhadap orang Arab diperlihatkan Gubernur Jenderal dengan membatasi mobilitas mereka secara nasional. Sejak tahun 1912 pengendalian ketat terhadap masuknya orang Hadhrami ke Hindia Belanda diberlakukan. Mereka yang dianggap tidak lolos verifikasi kependudukan dihentikan di perbatasan.
“Akibatnya, hanya 748 orang Hadhrami yang diizinkan masuk antara tahun 1912 dan 1917, “ demikian yang tercatat dalam Algeemen Rijksarchief, Den Hag, Verbaal, 28 Juni 1919/16 De Arabische kwestie in Nederlandsch-Indie.
Pada tahun 1918, larangan terhadap orang-orang Hadhrami semakin diperluas. Pejabat pemerintah regional dan lokal serta komisi imigrasi didesak untuk menghalangi eksistensi orang Hadhrami di wilayah Hindia Belanda sejauh mungkin.
Akibatnya dalam setiap pekan, banyak orang-orang Arab pendatang baru ditampung di barak-barak imigrasi. Untuk bisa masuk ke Nusantara, mereka harus lebih dulu menunggu keputusan komisi imigrasi. Mereka di antaranya adalah datang untuk tujuan berdagang.
Kemudian ada juga rekan bisnis, karyawati dan kerabat melalui jalur perkawinan dan sebagainya. Yang ditolak masuk ke Hindia Belanda tetap bertahan di barak sampai datang kapal ke Singapura atau Al-Mukalla.
Munculnya kebijakan kolonial Belanda yang tidak mengenakkan bagi orang Arab tersebut, bersumber dari pemikiran Snouck Hurgronje. Snouck merupakan penasihat terpenting khusus Urusan Arab di Hindia Belanda (Islamitischeen Arabische Zaken).
Bagi pandangan Snouck Hurgronje, orang-orang Arab dan keturunan Arab adalah penghasut para kiai, guru agama, dan warga muslim Nusantara (pribumi) yang itu membahayakan kepentingan Belanda.
Snouck Hurgronje tak berhenti membonsai eksistensi orang-orang Arab di Nusantara, meskipun dirinya secara pribadi juga sempat tak setuju dengan adanya aturan surat izin bagi orang-orang Arab yang hendak melakukan perjalanan.
Baca: Kakek 71 Tahun di Yogya Terjebak Kebakaran di Kamar, Api Diduga dari Puntung Rokok Milik Korban.
Dalam surat 22 Desember 1902 yang ditujukan kepada Gubernur Hindia Belanda, Snouck menyebut keberadaan orang-orang Hadhrami tidak menguntungkan, bahkan secara politik merugikan.
Jika kedatangan mereka di Pulau Jawa dibebaskan, jumlah orang-orang Arab yang ribuan akan menjadi puluhan ribu, dan Pemerintah Hindia Belanda akan semakin sulit mengawasi. Apalagi sejak ada Konsul Turki di Hindia Belanda, sikap orang-orang Arab dinilai semakin berani memusuhi Belanda.
“Snouck sejak awal adalah pendukung gigih pelarangan imigrasi dari Hadhramaut,” ungkap Huub De Jonge dalam Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).
Baca Juga: 3 Remaja Geng Motor Diamankan Polisi, Salah Satunya Gadis Belia.
Dalam tulisan Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda, Hamid Algadri menyebut Snouck Hurgronje tengah menerapkan politik Arab-fobi. Framing Arab-fobi merupakan kelanjutan dari Islam-fobi di mana keturunan Arab dianggap memegang peranan cukup penting dalam melawan kolonial Belanda di Jawa dan Nusantara pada umumnya.
“Untuk menjajah Pulau Jawa mereka (Kolonial Belanda) memerangi kerajaan Islam di pantai pulau itu yang sebagian dari kerajaan itu didirikan oleh orang keturunan Arab, sebagaimana dikatakan oleh Prof .L.W.C Van den Berg”.
Para pedagang Arab tidak memiliki kebebasan melakukan mobilitas sosial ekonomi. Ruang gerak mereka dibatasi. Sebelum tahun 1919, orang Arab yang hendak bepergian, diharuskan mengantongi surat izin perjalanan yang proses pengurusannya dipersulit.
Mereka juga tidak bisa sesuka hati memilih tempat tinggalnya. Belanda hanya membolehkan orang-orang Arab menghuni sebuah kampung di kawasan kota yang sudah ditunjuk. Begitu pula dengan aktivitas ekonominya, juga dibatasi.
“Di sebagian besar Jawa, misalnya, mereka dilarang memiliki tanah selain jatah rumah,” tulis Huub De Jonge dalam buku Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).
Dalam The History of Java jilid 2 (1817), Thomas Stamford Raffles menyebut, pada awal abad ke-19 terdapat 621 orang Arab dan Moor yang bertempat tinggal di Jawa. Mereka datang sebagai pedagang dan pemuka agama.
Pada sepanjang abad itu jumlah mereka terus meningkat, terutama paska pembukaan terusan Suez tahun 1869. Setiap tahunnya, ribuan orang Arab telah bermigrasi ke timur, termasuk Hindia Belanda.
“Antara tahun 1870 dan 1900, minoritas Arab di Hindia Belanda meningkat dari sekitar 13.000 menjadi 27.000 jiwa,” tulis JM Van Der Kroef dalam Indonesia in the Modern World (1954).
Mayoritas orang-orang Arab yang datang ke Jawa berasal dari Hadhramaut, yakni sebuah wilayah di Yaman Selatan yang mulai tahun 1990 bergabung dengan Yaman Utara dan menjadi Republik Yaman. Selebihnya merupakan pendatang dari Hejaz.
Dalam politik rasialnya, Pemerintah Hindia Belanda menggolongkan para pendatang Arab sebagai golongan Timur Asing. Posisi sosial mereka sama dengan orang Tionghoa dan orang asing Asia lainnya (kecuali Jepang).
Perlakuan tidak mengenakkan Kolonial Belanda tidak hanya pada wilayah aktifitas sosial ekonomi. Kolonial Belanda juga berusaha menjatuhkan entitas Arab dengan melakukan propaganda keburukan yang terkait sifat atau tindak- tanduk.
Praktik renternir dan riba yang dilakukan sejumlah oknum di Nusantara, dipakai kolonial Belanda sebagai stereotip untuk mencemarkan komunitas Arab secara keseluruhan. Padahal terdapat juga oknum dari kalangan orang Tionghoa yang melakukan aktifitas ekonomi serupa (renternir).
“Jika laporan kolonial dapat dipercaya, di beberapa kawasan, kata “Arab” identik dengan istilah seperti “pelit” dan “penipu”,” tulis Oetarjo dalam catatan Over den wokerin de regentschappen Tegal, Brebes en Pemalang (1925).
Kolonial Belanda memandang orang-orang Arab dari Hadhramaut atau Hadhrami sebagai elemen yang menganggu, terutama dengan sikap fanatiknya. Belanda berdalih mereka tak memiliki sumbangan apapun untuk kemakmuran Hindia Belanda.
Puncak sentimen kolonial terhadap orang Arab diperlihatkan Gubernur Jenderal dengan membatasi mobilitas mereka secara nasional. Sejak tahun 1912 pengendalian ketat terhadap masuknya orang Hadhrami ke Hindia Belanda diberlakukan. Mereka yang dianggap tidak lolos verifikasi kependudukan dihentikan di perbatasan.
“Akibatnya, hanya 748 orang Hadhrami yang diizinkan masuk antara tahun 1912 dan 1917, “ demikian yang tercatat dalam Algeemen Rijksarchief, Den Hag, Verbaal, 28 Juni 1919/16 De Arabische kwestie in Nederlandsch-Indie.
Pada tahun 1918, larangan terhadap orang-orang Hadhrami semakin diperluas. Pejabat pemerintah regional dan lokal serta komisi imigrasi didesak untuk menghalangi eksistensi orang Hadhrami di wilayah Hindia Belanda sejauh mungkin.
Akibatnya dalam setiap pekan, banyak orang-orang Arab pendatang baru ditampung di barak-barak imigrasi. Untuk bisa masuk ke Nusantara, mereka harus lebih dulu menunggu keputusan komisi imigrasi. Mereka di antaranya adalah datang untuk tujuan berdagang.
Kemudian ada juga rekan bisnis, karyawati dan kerabat melalui jalur perkawinan dan sebagainya. Yang ditolak masuk ke Hindia Belanda tetap bertahan di barak sampai datang kapal ke Singapura atau Al-Mukalla.
Munculnya kebijakan kolonial Belanda yang tidak mengenakkan bagi orang Arab tersebut, bersumber dari pemikiran Snouck Hurgronje. Snouck merupakan penasihat terpenting khusus Urusan Arab di Hindia Belanda (Islamitischeen Arabische Zaken).
Bagi pandangan Snouck Hurgronje, orang-orang Arab dan keturunan Arab adalah penghasut para kiai, guru agama, dan warga muslim Nusantara (pribumi) yang itu membahayakan kepentingan Belanda.
Snouck Hurgronje tak berhenti membonsai eksistensi orang-orang Arab di Nusantara, meskipun dirinya secara pribadi juga sempat tak setuju dengan adanya aturan surat izin bagi orang-orang Arab yang hendak melakukan perjalanan.
Baca: Kakek 71 Tahun di Yogya Terjebak Kebakaran di Kamar, Api Diduga dari Puntung Rokok Milik Korban.
Dalam surat 22 Desember 1902 yang ditujukan kepada Gubernur Hindia Belanda, Snouck menyebut keberadaan orang-orang Hadhrami tidak menguntungkan, bahkan secara politik merugikan.
Jika kedatangan mereka di Pulau Jawa dibebaskan, jumlah orang-orang Arab yang ribuan akan menjadi puluhan ribu, dan Pemerintah Hindia Belanda akan semakin sulit mengawasi. Apalagi sejak ada Konsul Turki di Hindia Belanda, sikap orang-orang Arab dinilai semakin berani memusuhi Belanda.
“Snouck sejak awal adalah pendukung gigih pelarangan imigrasi dari Hadhramaut,” ungkap Huub De Jonge dalam Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).
Baca Juga: 3 Remaja Geng Motor Diamankan Polisi, Salah Satunya Gadis Belia.
Dalam tulisan Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda, Hamid Algadri menyebut Snouck Hurgronje tengah menerapkan politik Arab-fobi. Framing Arab-fobi merupakan kelanjutan dari Islam-fobi di mana keturunan Arab dianggap memegang peranan cukup penting dalam melawan kolonial Belanda di Jawa dan Nusantara pada umumnya.
“Untuk menjajah Pulau Jawa mereka (Kolonial Belanda) memerangi kerajaan Islam di pantai pulau itu yang sebagian dari kerajaan itu didirikan oleh orang keturunan Arab, sebagaimana dikatakan oleh Prof .L.W.C Van den Berg”.
(nag)