Kisah Ki Ageng Suryomentaram, Pangeran yang Rela Lepas Gelar Ningrat dan Penggagas Tentara PETA

Sabtu, 16 Juli 2022 - 05:49 WIB
loading...
Kisah Ki Ageng Suryomentaram, Pangeran yang Rela Lepas Gelar Ningrat dan Penggagas Tentara PETA
Ki Ageng Suryomentaram. Foto/Repro/Ist.
A A A
Pasukan Jepang, yang menjadi pemenang di awal perang dunia ke dua, telah menguasai wilayah Indonesia, sejak tahun 1942. Selain melahirkan kerja paksa alias romusa, pada masa pendudukan Jepang, juga lahir Pembela Tanah Air (PETA).



PETA merupakan pendidikan semi militer untuk para pemuda Indonesia. PETA juga menjadi pasukan bersenjata yang pertama kali melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Jepang. Pemberontakan bersenjata dilakukan di Blitar, dan dipimpinan Sudanco Supriadi.



Tetapi siapa sangka, gagasan PETA lahir dari seorang ningrat dari Jogjakarta. Ya, pada masa penjajahan Jepang 1942-1945, seorang pangeran Jogjakarta, Ki Ageng Suryomentaram telah mengambil peran penting yang kelak menjadi tonggak lahirnya tentara republik ini.



Ki Ageng Suryomentaram merupakan salah seorang tokoh pejuang asal Jogjakarta. yang namanya nyaris tidak banyak disebut dalam perlintasan sejarah besar kemerdekaan Indonesia.

Usulan Ki Ageng Suryomentaram kepada penguasa Jepang, yakni melalui Asano (anggota Dinas Rahasia Jepang) agar pemuda Indonesia diberi pelatihan militer, telah menjadi cikal bakal berdirinya pasukan PETA pada tahun 1943.

"Mengusulkan agar dia dan teman-temannya diberi pelatihan militer yang memadai, sebagai bekal untuk berperang bersama Jepang," tulis Marcel Bonneff dalam buku Matahari dari Mataram, Menyelamai Spritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram.

Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya mengusulkan tentang pelatihan militer. Ia juga merumuskan prinsip ilmu perang yang kemudian diberinya nama Jimat Perang. Secara meyakinkan ia menegaskan Jimat Perang mampu mempertebal keberanian pasukan, di mana tentara tak lagi gentar menghadapi kematian di dalam pertempuran.

Gagasan Ki Ageng Suryomentaram didengar. Pada tahun 1943, pemerintah Jepang mengundangnya ke Jakarta, untuk berbicara di radio. Ia juga diberi kewenangan menyelenggarakan pertemuan sekaligus menyebarkan gagasannya. Ki Ageng Suryomentaram memanfaatkan kesempatan itu untuk menemui Empat Serangkai, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantoro.



"KAS (Ki Ageng Suryomentaram) menganjurkan Soekarno untuk mengadopsi gagasan Jimat Perangnya itu, dan dalam berbagai kesempatan mereka (para pemimpin nasionalis itu) bersedia mempopulerkannya," kata Marcel Bonneff.

Pendapat Ki Ageng Suryomentaram didengar para tokoh nasionalis, terutama Ki Hajar Dewantoro sudah lama mengenal sosok sekaligus sepak terjangnya. Ki Ageng Suryomentaram merupakan anak ke-55 dari 79 anak Sultan Hamengkubuwono VII dengan istri B.R.A Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI.

Ki Ageng Suryomentaram lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Jogjakarta, dengan nama Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Sebagai anak raja, ia tumbuh di lingkungan keraton yang penuh limpahan kemakmuran dan kehormatan. Sejak kecil hasrat belajarnya tinggi. Sejumlah bahasa asing, diantaranya Belanda, Inggris dan Arab dipelajarinya dengan tekun.

Berbagai jenjang pendidikan ia lalui, yakni mulai pendidikan dasar, termasuk mengikuti ujian Klein Ambtenaar (pegawai sipil junior) hingga menjadi tenaga administratif di Residen Jogjakarta. Pada umur 18 tahun gelar kepangeranannya ditahbiskan, dan bersalin nama menjadi Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram.

Perjalanan hidupnya berubah drastis setelah melihat realitas sosial (rakyat Jgjakarta) yang berbanding terbalik dengan kehidupannnya yang penuh kelimpahan materi. Saat naik kereta api untuk menghadiri acara perkawinan di Keraton Surakarta, Ki Ageng Suryomentaram melihat begitu sengsaranya kehidupan para petani.



Banyak orang menderita, sementara dirinya dan orang-orang sekalangannya hidup dalam kelimpahan harta dan tak perlu susah payah mengejar keistimewaan yang diperoleh sejak lahir. Pergolakan batin itu mendorong Ki Ageng Suryomentaram sering meninggalkan keraton dan memutuskan menjadi pengembara.

Bersama Prawirowiworo, sepupunya, ia mengunjungi sejumlah tempat yang diyakini dapat membawa keberuntungan, untuk menenggelamkan diri dalam doa-doa. Di antara tempat yang dikunjungi adalah Goa Langse atau Goa Cermin di kawasan Pantai Parangtritis, dan sejumlah makam-makam keramat.

"Lain waktu mereka mengunjungi para pemimpin agama untuk membicarakan serta belajar tentang hal-hal yang terkait dengan hakikat agama dan (pengalaman) mistik," kata Marcel Bonneff.

Pada usia 20 tahun atau menjelang tahun 1920, Ki Ageng Suryomentaram membuat keputusan yang betul-betul mengubah jalan hidupnya. Ia bagi-bagikan semua kekayaan pribadinya kepada orang lain dengan cuma-cuma.

Mobil pribadinya ia berikan kepada sopirnya. Kuda-kudanya ia hibahkan kepada tukang kuda yang biasa merawatnya. Baginya kepemilikan materi hanya menjadi penghambat mencapai kebahagiaan hakiki.



Ki Ageng Suryomentaram juga menolak pengangkatannya sebagai pangeran, dan sekaligus meminta gelar kepangeranannya tidak diumumkan. Pada tahun 1921 saat Sultan Hamengkubuwono VII lengser dan digantikan Sultan Hamengkubuwono VIII, ia ke luar dari keraton dan memilih tinggal di Desa Bringin, dekat Salatiga. Tunjangan hidup yang sempat ditawarkan Belanda, ditolaknya.

Pangeran muda ini memilih hidup sebagai petani, berpakaian layaknya petani, yakni celana pendek dipadu sabuk kulit yang umum dikenakan petani saat itu. Pada tahun 1925 masyarakat di sekitarnya mengenalnya sebagai Ki Ageng Bringin, ahli spirititual yang menjadi rujukan rakyat dalam meminta nasihat dan bantuan.

Kemunculannya pada tahun 1931 di makam ayahnya di Imogiri, menggemparkan para kerabat keraton. Penampilannya yang sama dengan rakyat jelata, termasuk cara bicaranya yang tak lazim, dipandang sebagai hal yang ganjil. Ada yang menganggap Ki Ageng Suryomentaram telah kehilanga akal sehatnya.

Sebelumnya, pada tahun 1921-1922 Ki Ageng Suryomentaram merupakan pemimpin Paguyuban Selasa Kliwon. Sebuah paguyuban yang berjalan di jalur masyarakat kebatinan. Kelompok yang didalamnya terdapat sembilan orang priyayi, yakni diantaranya adalah Ki Hajar Dewantoro merupakan cikal bakal berdirinya Gerakan Taman Siswa.

Paguyuban yang kemudian bubar pada 3 Juli 1922 itu juga berinteraksi dengan organisasi Budi Utomo. Sikap nasionalismenya jelas, yakni memenangkan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1930, Ki Ageng Suryomentaram bersama temannya mendirikan Pakempalan Kawula Ngayogjokarto. Perkumpulan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan itu diketuai Pangeran Suryodiningrat.



Saat Ki Ageng Suryomentaram menyampaikan usulan perlu adanya pelatihan militer pada tahun 1943, Gubernur Militer Jepang untuk Jogjakarta, Kolonel Yamanuchi tidak langsung menyetujui. Yamanuchi belum yakin rakyat Indonesia mampu membentuk kesatuan militer. Berkat bantuan Asano (anggota Dinas Rahasia Jepang) yang menyarankan Ki Ageng Suryomentaram membuat permohonan resmi kepada Kaisar Jepang, usulan itu akhirnya disetujui.

Permohonan resmi atau petisi Ki Ageng Suryomentaram bersama delapan temannya, yang kemudian disebut Manggala Sembilan itu, ditulis di atas kertas dan diberi tanda tangan dengan darah masing-masing. Ki Ageng Suryomentaram kemudian bergabung sebagai tenaga sukarela. Ia meninggalkan rumah beserta sawahnya di Bringin, dan kembali ke Jogjakarta.

"Namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA," kata Marcel Bonneff yang pernah menjadi dosen bahasa Perancis di UGM (1966-1973).

Berbagai sumber sejarah menyebut, Ki Ageng Suryomentaram terlibat aktif dalam pertempuran melawan kolonial Belanda di dekat Jogjakarta, selama periode 1947-1949. Ki Ageng Suryomentaram wafat pada usia 70 tahun, di mana Presiden Soekarno atau Bung Karno melalui sebuah telegram, secara khusus mengirim ucapan bela sungkawa.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4036 seconds (0.1#10.140)