Kisah Bung Karno, Kekuatan Gaibnya Hilang Setelah Beranjak Dewasa
loading...
A
A
A
BLITAR - Presiden Soekarno atau Bung Karno melewati masa kecil dengan berpindah-pindah rumah dan sekaligus menjalani hidup susah. Belum juga berumur tujuh tahun, Bung Karno yang lahir 6 Juni 1901 di Peneleh, Surabaya, pindah ke wilayah Mojokerto, Jawa Timur.
Sebagai guru yang termasuk golongan pegawai rendahan, penghasilan Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayah Bung Karno hanya cukup untuk memberi makan keluarganya. Bung Karno tidak mengenal sepatu. Bocah Soekarno juga tak pernah merasakan mandi yang airnya mengucur dari kran, serta tak ada sendok garpu di atas piring makannya.
Bung Karno menyamakan kehidupan masa kecilnya seperti David Copperfield, yakni bocah gelandangan yang menjadi tokoh utama novel penulis Inggris, Charles Dickens.
“Masa kanak-kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield. Aku dilahirkan di tengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan,” kata Bung Karno dalam buku Cindy Adams berjudul “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
Begitu juga saat pindah ke Mojokerto. Bung Karno hidup di tengah lingkungan masyarakat yang miskin, meskipun mereka sendiri juga bukan keluarga yang lebih berada. Untuk makan, Ida Ayu Nyoman Rai hanya mampu membeli gabah, yang lantas ia tumbuk sendiri hingga menjadi beras.
Demi menghemat uang satu sen untuk belanja sayuran, Bung Karno kerap melihat telapak tangan ibunya merah-merah dan melepuh karena kebiasaan menumbuk gabah. Seringkali karena tak memiliki beras, mereka hanya menyantap ubi kayu atau jagung tumbuk yang dicampur dengan makanan lain.
“Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk padi untuk ibuku,” kata Bung Karno. Di masa kanak-kanak yang serba sulit itu, Bung Karno mengenal Sarinah, seorang pembantu yang sudah dianggap Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai sebagai bagian keluarga sendiri.
Sarinah mengajarkan Bung Karno apa itu kasih sayang sesama manusia. Bagaimana yang utama adalah mencintai ibu, kemudian mencintai rakyat jelata, dan mencintai manusia pada umumnya. Di masa itu Bung Karno telah pindah ke Tulungagung, Jawa Timur setelah nenek dari pihak Raden Soekemi, memintanya untuk dirawat sementara.
Nenek Bung Karno seorang pedagang batik, yang meskipun bukan golongan berada, tapi memiliki penghasilan yang cukup. Kepindahan Bung Karno ke Tulungagung setidaknya meringankan beban hidup Raden Soekemi yang tinggal di Mojokerto.
Kakek nenek Bung Karno, yakni keluarga Hardjodikromo meyakini cucunya bocah istimewa.
Dalam autobigrafi “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Bung Karno menyebut kakek dan neneknya pernah mengatakan dirinya memiliki kekuatan gaib. Bung Karno kecil kerap diminta bantuan mengobati orang sakit di kampung.
Entah kebetulan atau memang demikian. Setelah menerima sentuhan bocah Soekarno, si sakit berangsur-angsur sembuh. Namun seiring bertambahnya usia, kekuatan gaib yang bersifat kebatinan Bung Karno lantas menghilang. Terutama saat bakat pidato Soekarno mulai terlihat. Bung Karno beranggapan kekuatan gaib itu telah tersalur ke arah lain.
“Pendeknya, sesudah berumur 17 tahun aku tak pernah lagi memperoleh penglihatan secara ilmu kebatinan,” kata Bung Karno. Dr Ernst Utrecht, penasehat dekat Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin menyebut periode Tulungagung sebagai periode penting untuk memahami visi misi politik Bung Karno.
Perkenalan Bung Karno dengan wayang kulit berlangsung di periode Tulungagung, di mana hal itu berpengaruh besar terhadap visi politiknya saat usianya telah matang. Dalam lakon wayang kulit, Soekarno muda kerap melihat pola dasar perjuangan antara kebenaran dan kejahatan, keadilan melawan ketidakadilan.
Soekarno memandang hal itu sebagai kontradiksi berbagai kekuatan. “Lebih jauh ia menyimpulkannya sebagai munculnya kekuatan baru sebagai hasil logis terhadapa kontradiksi dengan kekuatan lama, sesuatu yang olehnya selalu disebutnya sebagai dialektika,” demikian yang tertulis dalam buku Bob Hering, “Soekarno Bapak Indonesia Merdeka”.
Bung Karno kembali pindah ke Surabaya saat tiba waktunya masuk sekolah menengah. Raden Soekemi mengirimkan putranya kepada H.O.S Tjokroaminoto, sahabat lamanya.
Ia beralasan tak ingin melihat anaknya tumbuh menjadi kebarat-baratan, meskipun juga mendapat pendidikan Belanda. Bung Karno masuk ke sekolah menengah tertinggi di Jawa Timur, yakni Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Di Kota Surabaya, Bung Karno kelak digembleng langsung oleh H.O.S Tjokroaminoto yang merupakan tokoh terpenting Sarikat Islam (SI). Pemikiran politik Bung Karno juga dipengaruhi guru bahasa Jerman di HBS Coos Hartogh yang beraliran kiri moderat, anggota Dewan Kota, serta anggota berpengaruh di ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging).
Sebelum berangkat naik kereta api menuju Surabaya, di depan rumah Bung Karno diminta ibunya berbaring di atas tanah. Ida Ayu Nyoman Rai lantas melangkahi putranya sebanyak tiga kali, sebagai wujud restu orang tua kepada anak yang telah dilahirkan.
Bung Karno kemudian diminta bangkit dengan posisi menghadap ke arah timur dan diberi pesan. “Jangan sekali-kali kau lupakan anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar,” kata Bung Karno seperti dikutip dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
Sebagai guru yang termasuk golongan pegawai rendahan, penghasilan Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayah Bung Karno hanya cukup untuk memberi makan keluarganya. Bung Karno tidak mengenal sepatu. Bocah Soekarno juga tak pernah merasakan mandi yang airnya mengucur dari kran, serta tak ada sendok garpu di atas piring makannya.
Bung Karno menyamakan kehidupan masa kecilnya seperti David Copperfield, yakni bocah gelandangan yang menjadi tokoh utama novel penulis Inggris, Charles Dickens.
“Masa kanak-kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield. Aku dilahirkan di tengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan,” kata Bung Karno dalam buku Cindy Adams berjudul “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
Begitu juga saat pindah ke Mojokerto. Bung Karno hidup di tengah lingkungan masyarakat yang miskin, meskipun mereka sendiri juga bukan keluarga yang lebih berada. Untuk makan, Ida Ayu Nyoman Rai hanya mampu membeli gabah, yang lantas ia tumbuk sendiri hingga menjadi beras.
Demi menghemat uang satu sen untuk belanja sayuran, Bung Karno kerap melihat telapak tangan ibunya merah-merah dan melepuh karena kebiasaan menumbuk gabah. Seringkali karena tak memiliki beras, mereka hanya menyantap ubi kayu atau jagung tumbuk yang dicampur dengan makanan lain.
“Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk padi untuk ibuku,” kata Bung Karno. Di masa kanak-kanak yang serba sulit itu, Bung Karno mengenal Sarinah, seorang pembantu yang sudah dianggap Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai sebagai bagian keluarga sendiri.
Sarinah mengajarkan Bung Karno apa itu kasih sayang sesama manusia. Bagaimana yang utama adalah mencintai ibu, kemudian mencintai rakyat jelata, dan mencintai manusia pada umumnya. Di masa itu Bung Karno telah pindah ke Tulungagung, Jawa Timur setelah nenek dari pihak Raden Soekemi, memintanya untuk dirawat sementara.
Nenek Bung Karno seorang pedagang batik, yang meskipun bukan golongan berada, tapi memiliki penghasilan yang cukup. Kepindahan Bung Karno ke Tulungagung setidaknya meringankan beban hidup Raden Soekemi yang tinggal di Mojokerto.
Kakek nenek Bung Karno, yakni keluarga Hardjodikromo meyakini cucunya bocah istimewa.
Dalam autobigrafi “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Bung Karno menyebut kakek dan neneknya pernah mengatakan dirinya memiliki kekuatan gaib. Bung Karno kecil kerap diminta bantuan mengobati orang sakit di kampung.
Entah kebetulan atau memang demikian. Setelah menerima sentuhan bocah Soekarno, si sakit berangsur-angsur sembuh. Namun seiring bertambahnya usia, kekuatan gaib yang bersifat kebatinan Bung Karno lantas menghilang. Terutama saat bakat pidato Soekarno mulai terlihat. Bung Karno beranggapan kekuatan gaib itu telah tersalur ke arah lain.
“Pendeknya, sesudah berumur 17 tahun aku tak pernah lagi memperoleh penglihatan secara ilmu kebatinan,” kata Bung Karno. Dr Ernst Utrecht, penasehat dekat Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin menyebut periode Tulungagung sebagai periode penting untuk memahami visi misi politik Bung Karno.
Perkenalan Bung Karno dengan wayang kulit berlangsung di periode Tulungagung, di mana hal itu berpengaruh besar terhadap visi politiknya saat usianya telah matang. Dalam lakon wayang kulit, Soekarno muda kerap melihat pola dasar perjuangan antara kebenaran dan kejahatan, keadilan melawan ketidakadilan.
Soekarno memandang hal itu sebagai kontradiksi berbagai kekuatan. “Lebih jauh ia menyimpulkannya sebagai munculnya kekuatan baru sebagai hasil logis terhadapa kontradiksi dengan kekuatan lama, sesuatu yang olehnya selalu disebutnya sebagai dialektika,” demikian yang tertulis dalam buku Bob Hering, “Soekarno Bapak Indonesia Merdeka”.
Bung Karno kembali pindah ke Surabaya saat tiba waktunya masuk sekolah menengah. Raden Soekemi mengirimkan putranya kepada H.O.S Tjokroaminoto, sahabat lamanya.
Ia beralasan tak ingin melihat anaknya tumbuh menjadi kebarat-baratan, meskipun juga mendapat pendidikan Belanda. Bung Karno masuk ke sekolah menengah tertinggi di Jawa Timur, yakni Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Di Kota Surabaya, Bung Karno kelak digembleng langsung oleh H.O.S Tjokroaminoto yang merupakan tokoh terpenting Sarikat Islam (SI). Pemikiran politik Bung Karno juga dipengaruhi guru bahasa Jerman di HBS Coos Hartogh yang beraliran kiri moderat, anggota Dewan Kota, serta anggota berpengaruh di ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging).
Sebelum berangkat naik kereta api menuju Surabaya, di depan rumah Bung Karno diminta ibunya berbaring di atas tanah. Ida Ayu Nyoman Rai lantas melangkahi putranya sebanyak tiga kali, sebagai wujud restu orang tua kepada anak yang telah dilahirkan.
Bung Karno kemudian diminta bangkit dengan posisi menghadap ke arah timur dan diberi pesan. “Jangan sekali-kali kau lupakan anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar,” kata Bung Karno seperti dikutip dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
(shf)