MRP Dianggap Tak Punya Ruang Gugat UU Otsus, Ini Tanggapan Senator Filep
loading...
A
A
A
“Jadi kita harus secara ekstensif melihat posisi MRP ini. Bahkan MRP bisa masuk sebagai lembaga negara yang kewenangannya di daerah. Hal itu karena MRP ikut memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Mau disebut apa posisi lembaga yang ikut melakukan wewenang legislatif tersebut? Jelas sebagai lembaga negara juga”, tegas Filep.
Dikatakan, posisi MRP yang bersama-sama DPRP dalam ruang legislatif daerah ini, mengafirmasi konsep bikameral.
“Bikameral adalah konsep sistem perwakilan yang terdiri dari 2 (dua) kamar/chambers. Kalau di level pusat ada DPR dan DPD. Kalau dalam kacamata Otsus, bikameral itu adalah DPRP dan MRP. Sistem ini bertujuan untuk melakukan check and balances antara kedua lembaga tersebut, melalui pengawasan satu sama lain, agar tercapai good governance”, jelas legal auditor ini.
Senator Papua Barat ini mempertanyakan pemahaman ahli dari Pemerintah. Menurutnya, MRP dibentuk dalam konteks kekhususan Papua, yaitu suatu lembaga yang dihadirkan untuk menjadi representasi kultural, di mana adat, perempuan, agama, hadir dan bersama-sama Pemerintah melakukan kewenangan tertentu yang diakui oleh UU dan konstitusi. Baca: TGB HM Zainul Majdi: Fitnah Menyebar Melalui WA karena Kita yang Sebarkan.
“Mungkin kita perlu melihat kembali Yurisprudensi Putusan MK sebelum sekarang. Dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XIV/2016, pada pengujian UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, terkait syarat Bupati/Wakil Bupati harus OAP, MK mengakui dan menerima legal standing para pemohon, yaitu dari Wakil Ketua dan Anggota MRP sebagai representasi kultural OAP,” ujar politisi Papua Barat tersebut.
“Apabila ditelaah secara hukum murni, Pasal 5 UU Otsus, yang lama maupun yang baru, dalam ayat (2) menempatkan MRP sebagai salah satu lembaga dalam Susunan Pemerintahan Otsus Papua. Jadi, sangat keliru bila MRP dikatakan tidak memiliki legal standing," lanjutnya.
Baca Juga: Kisah Pelajar di Aceh Besar Bertaruh Nyawa Berangkat ke Sekolah Seberangi Sungai Sarang Buaya.
Jika tidak punya legal standing, lalu apa gunanya MRP mengadvokasi aspirasi masyarakat adat atau ikut memberi persetujuan terhadap suatu Perdasus? Apakah cuma boneka Pemerintah saja? Satu hal yang pokok di sini, Pemerintah Pusat jangan coba-coba bermain aman dengan mempreteli eksistensi MRP.
"Pemerintah pusat harus menelusuri histori lahirnya MRP. Sehingga pemerintah tidak sewenang-wenang mengambil kebijakan atau keputusan yang menghilangkan histori lahirnya UU otsus yang didalamnya ada MRP," pungkasnya.
Dikatakan, posisi MRP yang bersama-sama DPRP dalam ruang legislatif daerah ini, mengafirmasi konsep bikameral.
“Bikameral adalah konsep sistem perwakilan yang terdiri dari 2 (dua) kamar/chambers. Kalau di level pusat ada DPR dan DPD. Kalau dalam kacamata Otsus, bikameral itu adalah DPRP dan MRP. Sistem ini bertujuan untuk melakukan check and balances antara kedua lembaga tersebut, melalui pengawasan satu sama lain, agar tercapai good governance”, jelas legal auditor ini.
Senator Papua Barat ini mempertanyakan pemahaman ahli dari Pemerintah. Menurutnya, MRP dibentuk dalam konteks kekhususan Papua, yaitu suatu lembaga yang dihadirkan untuk menjadi representasi kultural, di mana adat, perempuan, agama, hadir dan bersama-sama Pemerintah melakukan kewenangan tertentu yang diakui oleh UU dan konstitusi. Baca: TGB HM Zainul Majdi: Fitnah Menyebar Melalui WA karena Kita yang Sebarkan.
“Mungkin kita perlu melihat kembali Yurisprudensi Putusan MK sebelum sekarang. Dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XIV/2016, pada pengujian UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, terkait syarat Bupati/Wakil Bupati harus OAP, MK mengakui dan menerima legal standing para pemohon, yaitu dari Wakil Ketua dan Anggota MRP sebagai representasi kultural OAP,” ujar politisi Papua Barat tersebut.
“Apabila ditelaah secara hukum murni, Pasal 5 UU Otsus, yang lama maupun yang baru, dalam ayat (2) menempatkan MRP sebagai salah satu lembaga dalam Susunan Pemerintahan Otsus Papua. Jadi, sangat keliru bila MRP dikatakan tidak memiliki legal standing," lanjutnya.
Baca Juga: Kisah Pelajar di Aceh Besar Bertaruh Nyawa Berangkat ke Sekolah Seberangi Sungai Sarang Buaya.
Jika tidak punya legal standing, lalu apa gunanya MRP mengadvokasi aspirasi masyarakat adat atau ikut memberi persetujuan terhadap suatu Perdasus? Apakah cuma boneka Pemerintah saja? Satu hal yang pokok di sini, Pemerintah Pusat jangan coba-coba bermain aman dengan mempreteli eksistensi MRP.
"Pemerintah pusat harus menelusuri histori lahirnya MRP. Sehingga pemerintah tidak sewenang-wenang mengambil kebijakan atau keputusan yang menghilangkan histori lahirnya UU otsus yang didalamnya ada MRP," pungkasnya.
(nag)