Integrasi Papua ke NKRI Sudah Final, Berikut Ulasan Sejarahnya

Jum'at, 13 Mei 2022 - 12:56 WIB
loading...
Integrasi Papua ke NKRI Sudah Final, Berikut Ulasan Sejarahnya
Pendeta Freddy H. Toam. Foto: Edy/SINDOnews
A A A
JAYAPURA - Integrasi Papua kedalam NKRI telah sah dan resmi dilakukan, pada 1 Mei 1963. Namun, kini oleh kelompok berhaluan lain selalu diungkit keabsahannya.

Tokoh agama sekaligus sejarawan Papua, pendeta Freddy H. Toam mengatakan, integritas Papua kedalam NKRI terjadi setelah 18 tahun Indonesia Merdeka, dan banyak tokoh Papua yang terlibat dalam sejarah tersebut.

Tetapi oleh orang Papua yang ekstrim kiri menyebut orang Papua tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan menganggap orang Papua menjadi korban penangkapan dan pemaksaan menjadi bagian NKRI.



"Mereka berpandangan bahwa integrasi politik Tanah Papua kedalam NKRI adalah sebuah tindakan invasif melalui agresi politik dan militer Indonesia. Sentimen ke-Papua-an yang berlebihan selalu merasa, bahwa integrasi adalah sebuah bentuk kolonialisasi baru Indonesia atas tanah dan orang-orang Papua. Sudut pandang ini dipertajam dengan kenyataan perbedaan rasial, warna kulit, bentuk wajah serta rambut dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang sangat berbeda dengan orang-orang Indonesia kebanyakan," kata Freddy, Jumat (13/5/2022).

Atas sanggahan sentimen itu, ada pandangan historis kritis yang mengakar dalam sebagian warga Papua. Pandangan historis kritis ini terutama dikalangan para teolog Protestan yang melihat integrasi politik Tanah Papua ke dalam NKRI sebagai suatu peta jalan yang dirancang oleh tangan Tuhan yang Maha Kuasa atau disebut sebagai Motivasi Tuhan.

"Kerangka dasar dari pemikiran para teolog Protestan ini didasarkan pada latar belakang sejarah Tanah Papua dan perjumpaan orang Papua dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kata lain, dapat disebutkan sebagai membaca motivasi Tuhan dalam lembaran sejarah Tanah Papua," ucapnya.



Ada perbedaan pendapat dikalangan sejarawan tentang kapan Papua mulai dihuni. Namun para teolog berpendapat bahwa peran penting bangsa-bangsa lain di sekitar Tanah Papua tidak dapat dan tidak boleh diabaikan. Sebab keterbukaan Tanah Papua terjadi karena kepeloporan bangsa-bangsa lain.

Sebut saja para pelancong orang Eropa, para saudagar Cina yang berseliweran di perairan Papua sejak abad pertengahan hingga awal abad ke 20. Tak ketinggalan kisah kelam alur jual-beli budak Papua dan pelayaran para perompak Papua jauh sebelumnya.

Seperti disebutkan oleh pendeta Dr F.C. Kamma. Disebutkan, bahwa orang-orang Papua bekerja di kapal-kapal orang Tidore sebagai pendayung. Pelayaran terjauh yang mereka lakukan, yang diketahui dari data-data resmi, mereka berlayar jauh sampai ke laut Jawa. Bahkan semenanjung Malaka dan sekitarnya dan mengancam alur perdagangan di laut Jawa hingga Selat Malaka.

"Selain itu, catatan sejarah kontak orang asli Papua dengan bangsa asing dapat pula diendus melalui berbagai peninggalan lain, yang menurut pendapat Balai Arkeologi Papua dipastikan lebih lama sekitar 3500-2500 tahun silam. Seperti artefak kapak corong dan kapak mata bundar di kawasan Danau Sentani misalnya," bebernya.



Para teolog Protestan Papua juga mencatatkan, beberapa pemikiran kritis historis atas integrasi Tanah Papua ke dalam NKRI sebagai berikut:

Pertama, Integrasi Papua ke dalam Indonesia dipersiapkan oleh Tuhan pemimpin sejarah jauh sebelum 1 Mei 1963.

"Tuhan menetapkan garis linier kesejarahan Tanah Papua dengan kepulauan sebelah Barat Tanah Papua yaitu Indonesia dan bukan sebaliknya ke sebelah Timur dengan kepulauan Pasifik atau ke selatan dengan Benua Australia," jelasnya.

Dia melanjutkan, bukan pula ke Utara dengan kepulauan Jepang. Melainkan kedatangan para pekabar injil (misionaris) pertama ke Tanah Papua, datang dari Batavia (Jakarta), belajar Bahasa Indonesia (Melayu) di Batavia, sebelum ke Tidore sebagai basis akhir menuju Tanah Papua.



"Menurut sejarawan Indonesia Des Alwi, di Tidore pada tahun 1825 tercatat 25.000 orang Papua yang tinggal dan bekerja di sana dan di pulau-pulau lain di Maluku Utara sampai Sulawesi Utara," sambungnya.

Orang-orang Papua itu adalah para budak yang diperjualbelikan oleh para Mambri Papua kepada Sultan Tidore dan oleh sultan kepada para Kolonis Portugis. Kemudian, juga Belanda pengusaha perkebunan kelapa, cengkeh dan pala atau dipekerjakan sebagai pendayung perahu-perahu kembara.

"Kedua, jauh sebelum integrasi politik 1 Mei penggunaan Bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) telah dipergunakan secara luas oleh orang Papua sebagai bahasa komunikasi antar masyarakat, terutama orang-orang Papua dibagian Barat-Tenggara bahkan, Teluk Cenderawasih (Saireri)," bebernya.

Ketiga, dalam catatan sejarah, Papua pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Spanyol, ketika Inigo Ortiz de Retes 1545 menancapkan bendera Spanyol di Muara Mamberamo dan memberikan nama Tanah Papua sebagai Nova Guinea.



"Pada tahun 1793, pasukan Inggris di bawah pimpinan Kapten John Hayes membangun pemukiman di Manokwari, sebuah benteng yang diberi nama Fort Coronation. Selanjutnya, Belanda menempatkan sepasukan tentara di Teluk Triton Barat Daya Tanah Papua dan memberi nama pemukiman pasukan Belanda sebagai Fort Du Bus," jelasnya.

Dijelaskan dia, Benteng Fort Du Bus ini diresmikan pada 24 Agustus 1828, di mana benteng ini adalah benteng sebagai basis pertahanan pertama yang dibuat oleh pemerintah pada zaman itu.

Ke-empat, orang Papua yang saat ini disebut sebagai Indonesia tidak memiliki hubungan emosional apalagi hubungan sosial ekonomi dan politik dengan saudara-saudaranya di sebelah Timur Tanah Papua. Kemerdekaan bagian Timur Tanah Papua menjadi negara Papua New Guinea tidak sedikitpun menarik minat orang Papua Indonesia untuk bergabung atau menggabungkan kedua wilayah ini menjadi satu negera kendati hanya bersebelahan daratan.

"Dari sekelumit catatan sejarah sebagaimana tertulis di atas, dapat disimpulkan bahwa arah pergerakan aktivitas sosial budaya keluar dan ke dalam wilayah Papua datang dari kawasan Barat Tanah Papua, yaitu dari Indonesia," tukasnya.
(san)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1609 seconds (0.1#10.140)