Kisah Teungku Fakinah, Ulama Perempuan dan Panglima Perang Paling Ditakuti Belanda

Kamis, 12 Mei 2022 - 05:05 WIB
loading...
Kisah Teungku Fakinah,...
Ilustrasi lukisan perang Aceh. Foto: Istimewa
A A A
KEBERANIAN Wanita Aceh di medan perang sudah tidak diragukan lagi. Sehingga, pantas kiranya Zentgraaf menulis, bahwa keberanian wanita Aceh dalam melawan penjajah jauh lebih unggul dari bangsa-bangsa lain.

Seperti sosok wanita yang akan dibahas berikut ini. Namanya memang tidak setenar Cut Nyak Dien sahabatnya. Tetapi soal keberanian melawan penjajah Belanda, keduanya sama-sama hebat, tangguh, dan gemilang.

Dia adalah Teungku Fakinah, panglima perang perempuan yang sangat ditakuti dan disegani oleh Belanda.



Tetapi, Teungku Fakinah tidak hanya dikenal sebagai panglima perang perempuan. Melainkan juga sebagai ulama besar dan pendidik agama Islam yang sejak sebelum pecahnya perang dengan Belanda telah mendirikan pondok pesantren.

Dalam diri Teungku Fakinah mengalir darah bangsawan dan ulama. Dia adalah putri dari Datu Mahmud, seorang pejabat tinggi kerajaan. Sedang ibunya seorang putri ulama besar yang pengetahuannya tentang ajaran Islam sangat luas.

Pada masa mudanya, Fakinah sempat mengikuti latihan militer di Akademi Militer Baitul Maqdis milik kerajaan. Dari akademi militer itulah dia kemudian bertemu dengan suaminya, seorang perwira muda dan juga ulama Teungku Ahmad.



Berdua, mereka mengajar ilmu agama Islam di Pusat Pendidikan Islam Dayah Lam Pucok yang dibangun oleh orang tua Fakinah. Sejak Fakinah mengajar di pesantren itu, murid-muridnya mulai banyak dari kalangan wanita.

Dia juga melakukan perubahan kurikulum pondok pesantren di tempatnya mengajar, di mana selain mengajarkan bahasa Arab dan ilmu agama, serta umum. Juga diajarkan kerajinan tangan bagi pelajar putri sebagai bekal keahlian.

Saat Belanda mendarat di Pantai Cermin, rakyat Aceh menyambutnya dengan perlawanan mengangkat senjata.

Dalam pertempuran melawan Belanda itu, Fakinah memiliki peran yang cukup penting. Dia melakukan kampanye perang ke seluruh Aceh Besar, membangkitkan semangat jihad rakyat untuk saling membantu melawan penjajah Belanda.



Kampanye Fakinah berhasil menarik minat banyak kaum wanita untuk ikut terjun ke medan perang bersama suaminya. Dia juga berhasil mengumpulkan dana perang untuk membentuk pasukan perang wanita dan benteng pertahanan.

Saat Sultan Alaiddin Mahmud Syah memerintahkan pembentukan pasukan-pasukan sukarela, Fakinah menyambutnya dengan membentuk Sukey atau resimen yang terdiri dari empat balang atau batalion dan dia menjadi panglimanya.

Selanjutnya, masing-masing batalion Fakinah menempati satu kota, yaitu Kuta Cot Weu, Kuta Lamsayun, Kuta Cot Bakgarot, dan Kuta Bakbale. Fakinah memimpin di Cot Weu dan seluruh prajuritnya wanita.

Saat terjadi pertempuran dengan Belanda di Pantai Cermin, Teuku Ahmad suami Fakinah menemukan syahidnya.



Serangan tentara Belanda akhirnya berhasil menjebol benteng pertahanan pasukan Fakinah. Bersama dengan para pasukannya yang lain, Fakinah akhirnya mundur ke Kuta Cot Ukam, kemudian Gleeyeung, dan Indrapuri.

Setelah berhasil menguasai Kuta Aneuk Galong, dan Kuta Cot Bak U di Montasie, serangan Belanda semakin menggila.

Benteng pertahanan pasukan Aceh di Indrapuri akhirnya berhasil dijebol. Fakinah bersama pasukan Aceh lainnya akhirnya kembali mundur ke wilayah Lamsi, Suelimeum, Lam Tamot, dan akhirnya ke daerah Piddie.

Tetapi Belanda terlalu kuat. Bahkan, pertahanan pasukan Aceh yang baru dan kuat di Lam Tamot berhasil mereka jebol.



Lagi-lagi, Fakinah dan pasukannya harus kembali mundur mencari benteng pertahanan baru. Hingga sampai lah mereka di Tangse. Sambil terus berjuang, Fakinah juga menyusun kembali dayah dan mengajarkan pendidikan agama Islam.

Baru pada 1911, Fakinah akhirnya turun gunung meninggalkan medan pertempuran menuju kampungnya Lam Krak.

Sekembalinya di Lam Krak, Fakinah terlebih dahulu membangun kembali pondok pesantrennya yang hancur akibat perang. Dalam waktu singkat, dayah Lamdiran berkembang menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Aceh.



Tidak hanya itu, dia juga memimpin masyarakatnya untuk memperbaiki dan membangun kembali kampung-kampung yang hancur akibat perang. Dia lalu membangun jalan yang cukup panjang yang kini dikenal Jalan Teungku Faki.

Dua tahun sepeninggal sang suami, Teungku Fakinah menikah lagi dengan Teuku Nyak Badai. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari fitnah, karena dia satu-satunya panglima perang wanita yang sering bertemu pemimpin pria.

Pada 1915, Fakinah bersama suaminya pergi ke Tanah Suci Makkah. Di sana, mereka kembali belajar mengaji dengan para ulama besar di Makkah dan Madinah. Mereka juga banyak bertemu dengan para pemimpin Muslim.

Akan tetapi, pada 1918, Teuku Nyak Badai meninggal dunia di Makkah. Teungku Fakinah akhirnya kembali ke Aceh dan memimpin pondok pesantrennya dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat.

Teuku Fakinah wafat pada 8 Ramadhan 1359 H/1939 M. Dia menghembuskan napas terakhir di rumahnya, Kampung Beuha Mukim Lam Krak, dalam usia 82 tahun. Jenazahnya diantarkan ribuan orang ke pemakaman.

Sumber tulisan:
1. Amatullah Shafiyyah, Seorang Ibu Sebuah Dunia Berjuta Cinta, Gema Insani Press, 2002.
2. Peranan Wanita Indonesia di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1985.
3. Husein Muhammad, Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, IRCiSoD, 2020.
(san)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1579 seconds (0.1#10.140)