Kisah Teungku Fakinah, Ulama Perempuan dan Panglima Perang Paling Ditakuti Belanda
loading...
A
A
A
Benteng pertahanan pasukan Aceh di Indrapuri akhirnya berhasil dijebol. Fakinah bersama pasukan Aceh lainnya akhirnya kembali mundur ke wilayah Lamsi, Suelimeum, Lam Tamot, dan akhirnya ke daerah Piddie.
Tetapi Belanda terlalu kuat. Bahkan, pertahanan pasukan Aceh yang baru dan kuat di Lam Tamot berhasil mereka jebol.
Lagi-lagi, Fakinah dan pasukannya harus kembali mundur mencari benteng pertahanan baru. Hingga sampai lah mereka di Tangse. Sambil terus berjuang, Fakinah juga menyusun kembali dayah dan mengajarkan pendidikan agama Islam.
Baru pada 1911, Fakinah akhirnya turun gunung meninggalkan medan pertempuran menuju kampungnya Lam Krak.
Sekembalinya di Lam Krak, Fakinah terlebih dahulu membangun kembali pondok pesantrennya yang hancur akibat perang. Dalam waktu singkat, dayah Lamdiran berkembang menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Aceh.
Tidak hanya itu, dia juga memimpin masyarakatnya untuk memperbaiki dan membangun kembali kampung-kampung yang hancur akibat perang. Dia lalu membangun jalan yang cukup panjang yang kini dikenal Jalan Teungku Faki.
Dua tahun sepeninggal sang suami, Teungku Fakinah menikah lagi dengan Teuku Nyak Badai. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari fitnah, karena dia satu-satunya panglima perang wanita yang sering bertemu pemimpin pria.
Pada 1915, Fakinah bersama suaminya pergi ke Tanah Suci Makkah. Di sana, mereka kembali belajar mengaji dengan para ulama besar di Makkah dan Madinah. Mereka juga banyak bertemu dengan para pemimpin Muslim.
Tetapi Belanda terlalu kuat. Bahkan, pertahanan pasukan Aceh yang baru dan kuat di Lam Tamot berhasil mereka jebol.
Lagi-lagi, Fakinah dan pasukannya harus kembali mundur mencari benteng pertahanan baru. Hingga sampai lah mereka di Tangse. Sambil terus berjuang, Fakinah juga menyusun kembali dayah dan mengajarkan pendidikan agama Islam.
Baru pada 1911, Fakinah akhirnya turun gunung meninggalkan medan pertempuran menuju kampungnya Lam Krak.
Sekembalinya di Lam Krak, Fakinah terlebih dahulu membangun kembali pondok pesantrennya yang hancur akibat perang. Dalam waktu singkat, dayah Lamdiran berkembang menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Aceh.
Tidak hanya itu, dia juga memimpin masyarakatnya untuk memperbaiki dan membangun kembali kampung-kampung yang hancur akibat perang. Dia lalu membangun jalan yang cukup panjang yang kini dikenal Jalan Teungku Faki.
Dua tahun sepeninggal sang suami, Teungku Fakinah menikah lagi dengan Teuku Nyak Badai. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari fitnah, karena dia satu-satunya panglima perang wanita yang sering bertemu pemimpin pria.
Pada 1915, Fakinah bersama suaminya pergi ke Tanah Suci Makkah. Di sana, mereka kembali belajar mengaji dengan para ulama besar di Makkah dan Madinah. Mereka juga banyak bertemu dengan para pemimpin Muslim.