Kisah Cinta Sultan Syarif Kasim II dan Ratu Wilhelmina Bersemi di Antara Kolonialisme dan Kecamuk Perang

Senin, 09 Mei 2022 - 05:02 WIB
loading...
Kisah Cinta Sultan Syarif Kasim II dan Ratu Wilhelmina Bersemi di Antara Kolonialisme dan Kecamuk Perang
Sultan Syarif Kasim II. Foto/Dok.Dinsos Riau
A A A
Patung setengah badan Ratu Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau) masih berdiri tegak di salah satu sudut Istana Siak Sri Indrapura. Patung yang menggambarkan bagaimana kecantikan sang ratu Belanda tersebut, menjadi saksi bisu kedekatan Sultan Syarif Kasim II, dengan sang ratu.



Ratu Belanda kelahiran 31 Agustus 1880, dan memimpin belanda lebih dari 50 tahun tersebut, pernah berkunjung ke Istana Siak Sri Indrapura. Tak hanya itu, Sultan Syarif Kasim II juga sempat diundang sang ratu ke Belanda, saat sang ratau merayakan ulang tahunnya.



Tak hanya patung Ratu Wilhelmina yang menghiasi Istana Siak Sri Indrapura. Saksi bisu cinta kedua anak manusia ini, juga ada di Istana Kerajaan Belanda. Patung Sultan Syarif Kasim II yang terlihat gagah dan tampan, juga dipasang Ratu Wilhelmina di istananya.



Kisah cinta keduanya akhirnya pupus, akibat perbedaan agama, adat, dan bangsa. Sultan Syarif Kasim II memilih untuk mundur secara perlahan, dan tetap menjaga persahabatan dengan Ratu Wilhelmina. Cinta Sultan Syarif Kasim II, justru begitu kuat diberikan kepada rakyatnya.

Bernama asli Tengku Sulung Sayed Kasim, pewaris tahta Kerajaan Siak Sri Indrapura ke-12 tersebut lahir di pusat kerajaan Siak Sri Indrapura pada 11 Jumadil Awal 1310 Hijriah bertepatan dengan 1 Desember 1893. Sultan Syarif Kasim II naik tahta pada 13 Maret 1915 di usia 21 tahun untuk menggantikan sang ayah yang wafat 1908.

Saat naik tahta, Sultan Syarif Kasim II, memiliki gelar Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin. Selama hidupnya, Sultan Syarif Kasim II merupakan sosok yang sangat mencintai rakyatnya, dan pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia, diperlihatkannya saat mendorong raja-raja di Sumatera Timur, untuk mendukung dan mengintegrasikan diri dengan Republik Indonesia. Bahkan, setelah Indonesia diproklamasikan, Kesultanan Siak menyatakan diri sebagai bagian wilayah Indonesia.

Tak hanya menyatakan diri sebagai bagian Indonesia, Sultan Syarif Kasim II juga menyumbangkan harta kekayaan kerajaan, sebesar 13 juta gulden untuk Pemerintah Republik Indonesia. Sumbangan itu setara dengan 214,5 juta gulden pada tahun 2014, atau 120,1 juta dollar Amerika Serikat, atau Rp1,47 triliun.



Lahir dari pasangan Sultan Asysyaidis Syarif Hasyim Abdul Djalil Syaifuddin dan permaisuri Tengku Yuk, Sultan Syarif Kasim II. Sejak kecil dia didik di lingkungan istana, sebagaimana seorang calon raja. Ayahnya merupakan sultan ke-11, dan memerintah selama 19 tahun, yakni pada tahun 1889-1908.

Ayahnya ingin agar Sultan Syarif Kasim II yang akan menggantikannya kelak, dapat memimpin kerajaan dengan prinsip Islam dan pengetahuan yang luas. Untuk mewujudkan hal itu, akhirnya Sultan Syarif Kasim II dikirim ke Batavia, untuk menempuh pendidikan di sana sejak usia 12 tahun.

Selama berada di Batavia, Sultan Syarif Kasim II mendapatkan pendidikan hukum Islam dari Sayed Husein Al-Habsyi, yang merupakan ulama besar dan tokoh pergerakan nasional. Selain itu, dia juga belajar tentang ilmu hukum dan ketatanegaraan dari Profesor Snouck Hurgronye dari Institute Beck en Volten.

Di tengah masa mudanya yang penuh gairah menuntut ilmu di Batavia, dalam pengaruh besar pergerakan nasional, ayah Sultan Syarif Kasim II meninggal dunia pada tahun 1908. Sultan Syarif Kasim II tidak langsung dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahndanya, dia tetap diminta menyelesaikan pendidikannya hingga tahun 1915.

Selama terjadi kekosongan sultan, roda pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura, dijalankan oleh dua pejabat yang mewakili sultan, yakni Tengku Besar Sayed Syagaf dan Datuk Lima Puluh selama tujuh tahun. Barulah pada 3 Maret 1915, Sultan Syarif Kasim II kembali dari Batavia dan dinobatkan sebagai sultan pada usia 21 tahun.



Kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II, membuat pemerintah Kolonial Hindia Belanda, panas dingin. Pasalnya, Sebagai pewaris kerajaan Sultan Syarif Kasim II merupakan orang yang sangat berpendidikan, dan pemikirannya progresif karena terpengaruh pergerakan nasional.

Di tengah ketidak senangan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Datuk Empat Suku yang merupakan Dewan Kerajaan tetap menghendaki Sultan Syarif Kasim II menjadi sultan. Hal ini, membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda, akhirnya mengkerdilkan arti dan fungsi Dewan Kerajaan, yang kemudian dihapus.

Pada masa pemerintahan ayah Sultan Syarif Kasim II, Sultan Sayed Hasyim, dalam melaksanakan pemerintahannya, sultan dibantu oleh Dewan Menteri atau Dewan Kerajaan. Dewan inilah yang memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama sultan membuat undang-undang dan peraturan.

Dewan Kerajaan itu terdiri dari Datuk-datuk Empat Suku, yaitu Datuk Tanah Datar Sri Pakermaraja, Datuk Limapuluh Sri Bijuangsa, Datuk Pesisir Sri Dewaraja dan Datuk Kampar Maharaja Sri Wangsa. Dihapusnya Dewan Kerajaan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tentunya menjadi pengingkaran terhadap undang-undang kerajaan dan tata pemerintahan Kerajaan Siak yang tertuang dalam Babul Kawaid.

Dalam Babul Kawaid tersebut, tertuang pedoman 10 Provinsi Kerajaan Siak. Dihapusnya semua aturan tersebut, membuat Sultan Syarif Kasim II murka, dan tidak menerima perubahan yang diusulkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sultan Syarif Kasim II menilai Hindia Belanda terlalu banyak mencampuri urusan kerajaan.



Upaya menekan Sultan Syarif Kasim II, terus dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil, di mana struktur pemerintahan di daerah-daerah diubah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, yakni dari bentuk provinsi menjadi district dan onder district.

Akibat perubahan itu, Kerajaan Siak akhirnya memiliki lima distrik, yakni Distrik Siak, Distrik Selatpanjang, Distrik Bagansiapi-api, Distrik Bukit Batu, dan Distrik Pekanbaru. Hal ini juga membuat Datuk Empat Suku tidak berfungsi lagi. Dan penghasilan hutan tanah yang disebut "pancung alas" diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Keserakahan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini, membuat rakyat di Kerajaan Siak resah. Sultan Syarif Kasim II tak tinggal diam, dia semakin keras menentang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan, Sultan Syarif Kasim II memutuskan untuk membangun kekuatan fisik, karena ancaman pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Kekuatan militer dibangun oleh Sultan Syarif Kasim II, yang berawal dari barisan kehormatan pemuda-pemuda. Mereka akhirnya dilatih untuk membangkitkan semangat perlawanan, dan mempertahankan diri serta membela nasib rakyat.

Sultan Syarif Kasim II juga dengan tegas menolak campur tangan peraturan pengadilan pemerintahan kolonial Hindia Belanda terhadap rakyatnya. Dia tetap mempertahankan keberadaan Kerapatan Tinggi Kerajaan Siak, yang diatur dan disusun oleh Kerajaan Siak sendiri.



Bukan hanya itu, Sultan Syarif Kasim II juga dengan tegas menolak mengakui Kesultanan Siak sebagai bagian dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, meskipun sebelumnya para sultan di Kerajaan Siak telah terikat perjanjian dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, termasuk Perjanjian London 1824.

Mendapatkan perlawanan dari Sultan Syarif Kasim II, pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya mendatangkan bala bantuan Marsose dari Medan, di bawah pimpinan Letnan Leiner. Pasukan bersenjata yang dikenal bengis ini, dikerahkan untuk meredam kekuatan di Kerajaan Siak.

Kepedulian Sultan Syarif Kasim II terhadap rakyatnya sangat kuat. Bahkan, untuk melawan penjajahan yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat, dan memberikan beasiswa bagi anak-anak dari Kerajaan Siak untuk menempuh pendidikan tinggi.

Perlawanan Sultan Syarif Kasim II, juga terjadi di masa pendudukan Jepang. Pasukan Jepang, sempat menangkapi raja-raja di Riau, namun belum berani menangkap Sultan Syarif Kasim II, karena takut terjadi pemberontakan dari rakyat Kerajaan Siak. Sultan Syarif Kasim II juga menentang pengiriman romusha. Dia tetap melindungi rakyatnya, meskipun kekuasaannya dilucuti.

Kekalahan Jepang dari Sekutu pada 15 Agustus 1945, dan disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, tersiar hingga di Kerajaan Siak. Kabar ini membuat Sultan Syarif Kasim II langsung mengibarkan bendera merah putih di Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Pada tahun 1946, Sultan Syarif Kasih II berangkat ke Jawa, untuk menemui Bung Karno. Dalam pertemuan tersebut, Sultan Syarif Kasim II, dengan tegas menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4030 seconds (0.1#10.140)