Kisah Kiai Amin, Gigih Melawan Penjajah dan Ditembak Mati Usai Kumandangkan Adzan

Rabu, 23 Maret 2022 - 05:05 WIB
loading...
Kisah Kiai Amin, Gigih Melawan Penjajah dan Ditembak Mati Usai Kumandangkan Adzan
Makam Kiai Muhammad Amin Musthofa di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro. Foto: Istimewa
A A A
KEMERDEKAAN Indonesia diraih berkat perjuangan semua rakyat, bukan hanya dari kalangan militer, tapi salah satu yang memiliki andil besar dalam perjuangan meraih kemerdekaan adalah tokoh agama, kiai dan para ulama.

Salah satu ulama yang gigih memperjuangkan kemerdekaan dan melawan penjajah adalah Kiai Amin Musthofa, dia merupakan pendiri Pondok Pesantren Tunggul.

Kiai Amin memiliki nama lengkap KH Muhammad Amin Musthofa, dia terpanggil ke jalan jihad bersama saudaranya KH Ahmad Muhtadi Musthofa, dalam mengusir penjajah Belanda dari Kota Lamongan.

Kiai Amin memiliki semangat heroik dan terlibat langsung dalam perang 10 November di Surabaya, bahkan berkat keberaniannya dia didapok sebagai pemimpin Laskar Hizbullah untuk wilayah pantura Lamongan, Tuban, dan Gresik.



Menurut cerita di kalangan santri-santrinya, putra ketujuh dari KH Musthofa Kranji Kecamatan Paciran ini kebal senjata, sehingga untuk melumpuhkannya sangat sulit bahkan sering tidak terlihat oleh kasat mata.

Dia pun diberi tugas mempertahankan Lamongan dari serangan penjajah Belanda, tepatnya di Surabaya wilayah utara.

Dedikasi Kiai Amin bagi bangsa dan negara tidak dapat diragukan lagi yang berani mengusir penjajah Belanda. Tak hanya itu santri yang pernah belajar di Mekkah Arab Saudi itu juga menguasai beragam kitab kuning warisan pendahulunya.

Kiai Amin juga dipercaya oleh ayahnya KH Musthofa menjadi pengasuh Ponpes Kranji yang saat ini dikenal dengan nama Tarbiyatut Tholabah.

Selain berani dan dikenal kebal, Kiai Amin juga seorang penghafal Alquran yang mampu menguasainya dalam waktu singkat. Tak heran jika banyak santri kala itu bukan hanya mendalami agama tetapi juga ingin menuntut ilmu kanuragan.

Kiai Amin Musthofa lahir pada tahun 1910 M di Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Dia adalah putra KH Musthofa Abdul Karim yang juga pendiri Pondok Tarbiyatut Tholabah Kranji dan Nyai Hj Aminah binti KH Moh Sholeh Tsani dari Gresik.



Kiai Amin merupakan anak ketujuh dari 10 orang bersaudara, dua perempuan dan delapan laki-laki. Dua di antaranya meninggal di waktu kecil yaitu anak pertama dan terakhir, dua orang perempuan yakni Maryam dan Sofiyah. Sedangkan kelima saudara laki-lakinya adalah Kiai Abdul Karim, Kiai Moh Sholeh, Kiai Ahmad Muhtadi, Kiai Abdur Rahman, dan Kiai Abdullah.

Di usianya yang relatif muda, 24 tahun, Kiai Amin mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Al Iman wal Islam yang kemudian dikenal dengan Pondok Pesantren Al-Amin Tunggul yang kini berkembang pesat.

Sebelum mendirikan pesantren, Kiai Amin telah menimbah ilmu di beberapa pondok pesantren, yakni di Tebuireng, Termas, Ngeloh, Sepanjang, Kediri dan Maskumambang. Dia bahkan bermukim di Mekkah pada tahun 1936.

Dalam hal ibadah shalat, Kiai Amin amat keras berpegang kepada Sunnah. Misalnya, tidak mau menggunakan alas sajadah yang bergambar apa pun. Bahkan dalam pelaksanaan shalat Jumat Kiai Amin amat tegas dan hanya menerapkan sekali adzan dan tidak menyukai masjid yang dilengkapi bedug atau kentongan.

Sebagai komandan tentara Hizbullah wilayah pantura yang meliputi Lamongan, Tuban, dan Gresik ia bersama ribuan santri berangkat ke Surabaya untuk menggempur penjajah, turut serta beberapa kiai dalam peperangan seperti KH Abdurrahman Syamsuri, Kiai Ridlwan Syarqowi (pendiri Pondok Modern Muhammadiyah Paciran), KH Anwar Mu’rot, KH Adnan Noer (Blimbing), KH Anshory (Brondong), KH Sa’dullah (Blimbing) dan beberapa kiai lainnya.



Dalam peperangan di Surabaya, kisah Kiai Amin cukup legendaris hingga sekarang yakni tidak mempan senjata maupun peluru. Dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom. Tapi beliau mengatakan, “Tidak mati karena bomnya meleset.”

Namun takdir berkata lain, di usianya yang masih terbilang muda yakni 39 tahun, Kiai Amin tertangkap bersama 6 orang anak buahnya dan ditembak mati usai mengumandangkan adzan, tepatnya tanggal 10 November 1945, dan dimakamkan di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro.

Meski demikian, namanya tetap dikenang sebagai seorang ulama pemberani yang gigih memperjuangkan bangsa dan Negara dari pejajah. Bahkan, tetap bisa dijumpai di salah satu sudut jalan di Kota Lamongan. (sumber: berbagai sumber).
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2400 seconds (0.1#10.140)