Kiai Mojo, Ulama Kepercayaan Pangeran Diponegoro yang Menjadi Ahli Strategi Perang Gerilya

Senin, 21 Maret 2022 - 05:04 WIB
loading...
Kiai Mojo, Ulama Kepercayaan Pangeran Diponegoro yang Menjadi Ahli Strategi Perang Gerilya
Kiai Mojo yang memiliki nama asli Muslim Muhamad Halifah, salah satu sosok penting dalam Perang Jawa atau lebih dikenal Perang Diponegoro pada 1825-1830. Foto wikipedia
A A A
JAKARTA - Kiai Mojo yang memiliki nama asli Muslim Muhamad Halifah, salah satu sosok penting dalam Perang Jawa atau lebih dikenal Perang Diponegoro pada 1825-1830. Bahkan, Kiai Mojo diberi kepercayaan sebagai Panglima oleh Pangeran Diponegoro dalam perang yang berlangsung lima tahun itu.

Dalam catatan sejarah, perang Diponegoro salah satu perang yang sangat merepotkan Belanda karena menguras sumber daya, baik material maupun imaterial. Pasukan Diponegoro sangat tangguh dengan taktik perang gerilya sehingga sulit dipatahkan. Belanda akhirnya mengeluarkan segala upaya dan akal bulusnya untuk mengulik apa rahasia di balik ketangguhan pasukan Pangeran Diponegoro.



Dikisahkan, untuk mengetahui rahasia itu, pemimpin perang Belanda mengirim mata-mata ke markas pasukan Pangeran Diponegoro di Goa Selarong. Intel yang menyusup masuk tidak lain adalah orang pribumi. Hasil amatan mata-mata diungkapkan bahwa sosok paling berperan penting dalam perang tersebut adalah Kiai Mojo. Dialah sosok hebat, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro yang menjadi otak pengatur strategi dalam perang setengah dekade itu.

Lahir dari keturunan bangsawan (1782), -ibu bernama R.A Mursilah adik Sultan Hamengkubuwono III dan ayah bernama Iman Abdul Ngarip seorang ulama besar dari Keraton Surakarta dengan sebutan Kyai Baderan- membuat Kiai Mojo tumbuh dalam tradisi keagamaan yang kuat.

Ilmu agamanya semakin sempurna ketika mendapat kesempatan belajar di Mekah. Selain memahami Al-Qur’an dengan sangat sempurna, Kiai Mojo juga menguasai sejarah dan manuskrip-manuskrip Arab. Tidak hanya menguasai ilmu agama dan sejarah, Kiai Mojo juga memiliki kemampuan berorganisasi.

Berkat kepribadiannya yang rendah hati meski berilmu tinggi, dia bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Ia membangun jaringan dan hubungan yang karib dengan banyak pesantren baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan bahkan hingga Bali. Disebutkan pula bahwa dia pernah menjadi penghubung antara Kraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali

Kemampuan itu pula yang memudahkan dia memobilisasi kekuatan ulama dan santri saat dibutuhkan. Itu terbukti ketika Kiai Mojo mendukung penuh Pengeran Diponegoro. Dikisahkan bahwa para santri dan tokoh agama bersatu mendukung Pangeran Diponegoro berperang melawan Belanda. Kedua kelompok tersebut pun turut berkumpul di Selarong yang dijadikan markas perjuangan Pangeran Diponegoro.

Dalam buku 'Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785–1825', disebutkan bahwa ada sekitar 200 laki-laki dan perempuan kaum santri yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Beberapa di antara mereka bahkan terdapat orang Arab dan peranakan Tionghoa. Ada juga golongan santri istana yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton.

Mereka semua dimobilisasi Kiai Mojo untuk ikut berperang bersama Diponegoro. Kiai juga memobilisasi keluarga besarnya dan para santrinya yang datang dari tiga pesantren di Mojo dan Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri.

Semua kiprah dan kehebatan Kiai Mojo menjadi informasi penting yang disampaikan mata-mata kepada kompeni. Sang mata-mata tentu tidak hanya melapor kehebatan Panglima Kiai Mojo, tapi juga kelemahannya. Dari informasi-informasi penting itu, pimpinan perang Belanda menyusun strategi untuk menaklukkan kekuatan Pangeran Diponegoro.

Pada 1828, tibalah saatnya bagi Belanda untuk menangkap Kiai Mojo. Saat itu, ada selisih paham antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro. Kiai diperintahkan untuk kembali ke tempat kelahirannya di Pajang.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5649 seconds (0.1#10.140)