Sri Sultan HB X Ajak Hidupkan Birokrasi yang Melayani
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X kembali menyapa warganya. Di Selasa kedelapan kali ini Sultan mengajak menghidupkan birokrasi yang melayani.
Sultan kembali mengingatkan bahwa reformasi birokrasi telah digulirkan sejak Maklumat No 10/1946 tentang Perubahan Pangreh Pradja ke Pamong Praja. Esensinya dari maklumat tersebut bukan sekadar istilah, tetapi juga mengubah tata pemerintahannya, dari abdi negara ke abdi masyarakat . "Di sanalah sumber filosofi aparatur sipil negara (ASN) itu, dari dilayani menjadi melayani. Mereka bukan sekedar kerumunan pekerja kantoran, tapi insan peradaban sarat empati," katanya, Selasa (16/6/2020). (Baca juga: 5 Warga Positif COVID-19, Grobogan Terganjal Menuju New Normal)
Diakuinya, pandemi Corona saat ini mengubah keteraturan menjadi kekacauan. Dari cosmos ke chaos. Dampak positifnya, adalah pergeseran peradaban yang mengubah perilaku. Budaya bersih, peduli lingkungan, belajar disiplin, menguji rasa kemanusiaan dan semangat kegotongroyongan, juga menyadarkan manusia akan makna kehidupan yang lebih hakiki. "Untuk itu konsekuensinya, ASN harus bersiap diri memasuki era normal baru dengan norma dan etika yang baru pula," tutur Sultan. (Baca juga: Awas! Sabu asal Belgia Mulai Serbu Mojokerto, Dijual Rp1,5 Juta Per Gram)
Salah satu tokoh reformasi "98 ini melanjutkan, ASN harus mengubah pola pikir (mindset). Ini lantaran masyarakat yang dilayani juga semakin cerdas atau masyarakat berpengetahuan (knowledge society), dengan tuntutan yang beragam. "Untuk itu tak ada jalan, kecuali membangunnya sejak dini! Jalan adalah sesuatu yang linier, dan di dunia yang tidak linier penuh lonjakan gejolak ini, kita harus melakukan lompatan pemikiran non-linier, dari daratan yang dikenal baik ke sebuah pulau yang tak dikenal sama sekali. Dari terra firma ke terra incognita. Bukan dengan sedan mewah masa silam. Tetapi jip persneling ganda yang bisa menjelajah medan sulit dan mudah untuk dimanuver," tandas Sultan.
Meski bermetafora mekanis, lanjut Ngarso Dalem (sapaan untuk Sultan) wahana baru itu tetap punya hakikat organisme biologis yang hidup, bukan mesin. Birokrasi baru itu, lanjut dia, merupakan jaringan pemikiran trans-disiplin, para pakar yang berbagi ilmu, perwujudan triplehelix model Yogyakarta. Mereka ada yang di dalam dan yang lain ada di luar birokrasi. Sehingga menjadikannya birokrasi cerdas, karena digerakkan oleh mesin imajinasi manusia. "Menjadi sangat penting mengundang partisipasi publik dan mitra kerja untuk melakukan penjelajahan era normal baru, berkolaborasi mendefinisikan protokol norma baru tersebut," paparnya.
Oleh karena itu, suami GKR Hemas ini mengajak pada sebuah gerakan cepat (radikal) terhadap birokrasi agar tidak birokratis, namun inovatif. Menerapkan aplikasi dari simbol satriya yang tersemat di dada, meski perubahan itu pun harus dilakukan di tengah lomba itu sedang berlangsung. "aat ini tidak ada perhentian dalam rally ke masa depan itu. Tak ada jeda untuk memulihkan tenaga, karena proses perubahan itu sendiri menjadi lomba adu cepat dan asah cerdas. Mereka yang terlalu lama menjalani proses itu dan berlaku bimbang, bisa menjadi pecundang. Lebih buruk lagi, tak dapat turut serta dalam perjalanan," bebernya.
Lebih jauh Sultan menegaskan pentingnya birokrasi yang melayani, bentuknya ramping, proaktif, responsif, partisipatis, sarat empati dan mudah bergerak cepat untuk hadir di tengah masyarakat, membangun relasi, bermitra mencari solusi. "Ayo! Hidupkanlah mesin birokrasi sebagai aktor perubahan dan insan peradaban yang melayani seperti itu. Ya Allah, jauhkanlah itu semua dari sebuah utopia, dan dekatkanlah menjadi realita," pungkas Sultan.
Sultan kembali mengingatkan bahwa reformasi birokrasi telah digulirkan sejak Maklumat No 10/1946 tentang Perubahan Pangreh Pradja ke Pamong Praja. Esensinya dari maklumat tersebut bukan sekadar istilah, tetapi juga mengubah tata pemerintahannya, dari abdi negara ke abdi masyarakat . "Di sanalah sumber filosofi aparatur sipil negara (ASN) itu, dari dilayani menjadi melayani. Mereka bukan sekedar kerumunan pekerja kantoran, tapi insan peradaban sarat empati," katanya, Selasa (16/6/2020). (Baca juga: 5 Warga Positif COVID-19, Grobogan Terganjal Menuju New Normal)
Diakuinya, pandemi Corona saat ini mengubah keteraturan menjadi kekacauan. Dari cosmos ke chaos. Dampak positifnya, adalah pergeseran peradaban yang mengubah perilaku. Budaya bersih, peduli lingkungan, belajar disiplin, menguji rasa kemanusiaan dan semangat kegotongroyongan, juga menyadarkan manusia akan makna kehidupan yang lebih hakiki. "Untuk itu konsekuensinya, ASN harus bersiap diri memasuki era normal baru dengan norma dan etika yang baru pula," tutur Sultan. (Baca juga: Awas! Sabu asal Belgia Mulai Serbu Mojokerto, Dijual Rp1,5 Juta Per Gram)
Salah satu tokoh reformasi "98 ini melanjutkan, ASN harus mengubah pola pikir (mindset). Ini lantaran masyarakat yang dilayani juga semakin cerdas atau masyarakat berpengetahuan (knowledge society), dengan tuntutan yang beragam. "Untuk itu tak ada jalan, kecuali membangunnya sejak dini! Jalan adalah sesuatu yang linier, dan di dunia yang tidak linier penuh lonjakan gejolak ini, kita harus melakukan lompatan pemikiran non-linier, dari daratan yang dikenal baik ke sebuah pulau yang tak dikenal sama sekali. Dari terra firma ke terra incognita. Bukan dengan sedan mewah masa silam. Tetapi jip persneling ganda yang bisa menjelajah medan sulit dan mudah untuk dimanuver," tandas Sultan.
Meski bermetafora mekanis, lanjut Ngarso Dalem (sapaan untuk Sultan) wahana baru itu tetap punya hakikat organisme biologis yang hidup, bukan mesin. Birokrasi baru itu, lanjut dia, merupakan jaringan pemikiran trans-disiplin, para pakar yang berbagi ilmu, perwujudan triplehelix model Yogyakarta. Mereka ada yang di dalam dan yang lain ada di luar birokrasi. Sehingga menjadikannya birokrasi cerdas, karena digerakkan oleh mesin imajinasi manusia. "Menjadi sangat penting mengundang partisipasi publik dan mitra kerja untuk melakukan penjelajahan era normal baru, berkolaborasi mendefinisikan protokol norma baru tersebut," paparnya.
Oleh karena itu, suami GKR Hemas ini mengajak pada sebuah gerakan cepat (radikal) terhadap birokrasi agar tidak birokratis, namun inovatif. Menerapkan aplikasi dari simbol satriya yang tersemat di dada, meski perubahan itu pun harus dilakukan di tengah lomba itu sedang berlangsung. "aat ini tidak ada perhentian dalam rally ke masa depan itu. Tak ada jeda untuk memulihkan tenaga, karena proses perubahan itu sendiri menjadi lomba adu cepat dan asah cerdas. Mereka yang terlalu lama menjalani proses itu dan berlaku bimbang, bisa menjadi pecundang. Lebih buruk lagi, tak dapat turut serta dalam perjalanan," bebernya.
Lebih jauh Sultan menegaskan pentingnya birokrasi yang melayani, bentuknya ramping, proaktif, responsif, partisipatis, sarat empati dan mudah bergerak cepat untuk hadir di tengah masyarakat, membangun relasi, bermitra mencari solusi. "Ayo! Hidupkanlah mesin birokrasi sebagai aktor perubahan dan insan peradaban yang melayani seperti itu. Ya Allah, jauhkanlah itu semua dari sebuah utopia, dan dekatkanlah menjadi realita," pungkas Sultan.
(shf)