Kasus Mafia Tanah di Makassar, Beli Lahan Malah Berujung Vonis 2 Tahun Bui

Kamis, 17 Maret 2022 - 21:58 WIB
loading...
Kasus Mafia Tanah di...
Kasus sengketa lahan diduga melibatkan mafia tanah kerap terjadi di Kota Makassar, terbaru dialami oleh seorang warga bernama Panca. Foto/Ilustrasi
A A A
MAKASSAR - Kasus sengketa lahan di Kota Makassar terbilang marak dan tidak sedikit yang diduga melibatkan mafia tanah . Kondisi itu tentunya menimbulkan praktik-praktik kecurangan dan ketidakadilan terhadap warga pemilik lahan. Tidak jarang pula berujung pidana, dimana mafia tanah pastinya menghalalkan segala cara demi kepemilikan lahan tersebut.

Seperti yang dialami oleh Panca Trisna T, dimana ia terbelit perkara pemalsuan akta otentik atas lahan di wilayah Bulurokeng, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, Provinsi Sulsel. Panca selaku pemilik lahan malah divonis hukuman dua tahun penjara melalui putusan Mahkamah Agung (MA) pada 26 Januari 2022.



Semuanya bermula saat Panca membeli lahan itu pada 2004 dari Hendro Susantio selaku pemegang hak milik yang sah merujuk Sertifikat Hak Milik (SHM). Setelah menjual lahan itu ke perusahaan, tiba-tiba ada pihak yang mengklaim selaku pemilik lahan yang sah dan ikut menyeret Panca dalam perkara pemalsuan akte otentik pada tahun 1979.

Anak Panca, Stella, menyampaikan pihaknya ingin mencari keadilan sekaligus meminta perlindungan untuk sang ayah atas perkara tersebut. Lahan di Bulurokeng itu dibeli ayahnya sesuai prosedur dan sudah dipastikan legalitasnya di PPAT. Pun saat dijaminkan ke bank dan dijual ke salah satu perusahaan, kata dia, tidak ada masalah yang timbul.

Klaim kepemilikan dari pihak lain mulai terjadi saat perusahaan itu mulai menggarap lahan. Tiba-tiba, ada orang atas nama Pangku Yudin Sarro dan anaknya, Muh Basir, yang mengaku sebagai pemilik lahan. Padahal, sengketa lahan yang melibatkan pemilik sebelumnya, Hendro dan Yudin telah tuntas mulai dari pengadilan hingga MA. Juga sudah ada putusan TUN hingga tingkat MA yang memperkuat keabsahan kepemilikan Hendro.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Hendro sebagai pemilik lahan yang sah. Bahkan, setelah dilakukan pengajuan kembali alias PK ternyata tetap dimenangkan oleh Hendro, yang pada kemudian hari menjual lahan tersebut ke Panca. Ironisnya, Panca kini malah dituduh terlibat memalsukan akte otentik atas lahan tersebut pada tahun 1979.

"Ayah saya divonis dua tahun penjara karena dituduh pemalsuan akte otentik . Ayah saya dikaitkan dengan masalah tahun 1979, yang ketika itu ayah saya masih SMP dan berada di Jakarta. Jadi, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan yang di Makassar, karena ayah saya juga kenal pembelinya ketika di Makassar," ungkap Stella, Kamis (17/3/2022).

Kuasa Hukum Panca, Husain Rahim Saijje, mengharapkan perkara ini dapat menjadi atensi dari praktisi dan akademisi hukum, serta pejabat terkait agar kliennya dapat memperoleh keadilan. Ia bilang hingga kini belum bisa dibuktikan perihal akte otentik apa yang dipalsukan oleh Panca. Toh, semua dokumen terkait lahan itu sah dan sudah teruji.

Ia malah mempertanyakan bagaimana bisa pelapor yang sudah tidak punya legal standing atas lahan tersebut malah diberikan ruang. Bahkan, pelapor yakni Basri sudah pernah dipidana atas kasus penyerobotan pada lahan tersebut. Pihaknya menyayangkan dikesampingkannya segala fakta hukum atas bukti yang dimiliki kliennya.

Atas kondisi itu, kubu Panca menduga ada permainan mafia tanah di balik perkara tersebut. Toh, nilai lahan yang disengketakan cukup besar yakni mencapai puluhan miliar rupiah. Pihaknya juga menyoroti sia-sianya putusan pengadilan hingga MA perihal kasus perdata atas lahan tersebut, lantaran saat digugat pidana, pihak pelapor yang sudah dinyatakan kalah terkesan dianggap sebagai pemilik dan korban.

"Kami sayangkan ada penegakan hukum seperti ini. Seseorang yg harusnya diberikan perlindungan hukum, karena pelapor tidak punya legalitas, legal standing. Lalu, kasus yang diangkat tahun 1979, yang konon katanya adanya pemalsuan di situ. Tapi, dikesampingkan yang kita punya (fakta hukum, termasuk dokumen), sementara pelapor hanya bermodal peristiwa lama tahun 1979, dimana terlapor saat itu masih di Jakarta, masih anak-anak," jelasnya.



Kuasa Hukum Basir, Krisna Murti, sebelumnya menyampaikan pihaknya sempat mengajukan somasi terhadap perusahaan agar tidak membeli lahan sengketa. Namun, somasi itu dihiraukan. Sang klien mulanya sama sekali tidak tahu bahwa lahan miliknya telah dijual, sehingga saat tahu langsung melapor ke penegak hukum.

“Muhamad Basir selaku ahli waris pada mulanya justru tak mengetahui lahannya telah dijual. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukan adanya tindak pidana pemalsuan sertifikat, hingga akhirnya, lahan yang dimaksud mulai dipasangi police line oleh polisi pada Rabu, 7 Februari 2018 silam,” sebutnya.
(tri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2323 seconds (0.1#10.140)