Ada Dugaan Penyiksaan Keji di Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Ini Seruan KontraS

Jum'at, 11 Maret 2022 - 23:04 WIB
loading...
Ada Dugaan Penyiksaan Keji di Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Ini Seruan KontraS
Kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin. Foto/Dok.
A A A
LANGKAT - Penyiksaan di luar batas kemanusiaan, diduga terjadi di kerangkeng manusia yang ada di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin. Menyikapi hal itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak polisi segera memberikan kepastian proses penegakan hukumnya.



Pasalnya, sejak penemuan kerangkeng manusia pada bulan Januari 2022, kepolisian bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan lembaga-lembaga lain sudah merilis berbagai temuan yang cukup komprehensif.



"Sudah lebih satu setengah bulan sejak kerangkeng manusia ditemukan, namun masih belum ada juga penetapan tersangka bagi para pelaku yang diduga terlibat," kata Staf Informasi dan Dokumentasi KontraS Sumut, Adinda Zahra Noviyanti, Jumat (11/3/2022).



Dari perkembangan kasus yang KontraS lakukan, Adinda menyebut hingga minggu pertama bulan Maret 2022, kepolisian baru menaikan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan. Itupun, secara spesifik terkait konteks temuan penghuni yang meninggal selama berada dalam kerangkeng manusia.

Lambatnya penetapan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia milik Terbit Rencana Perangin Angin patut dipertanyakan. Menurut Dinda, penetapan tersangka menjadi satu poin penting untuk menakar komitmen kepolisian dalam melakukan penegakan hukum kasus ini. Apalagi pihak kepolisian sudah memeriksa sebanyak 70 saksi, menyita sejumlah barang bukti, serta autopsi. Bahkan hasil autopsi juga sudah didapatkan.

Selain mendorong sesegera mungkin penetapan tersangka, Dinda juga menyampaikan beberapa catatan KontraS Sumut, dalam menyikapi berjalannya proses hukum kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat non aktif tersebut. Salah satunya adalah pemenuhan hak bagi para penghuni kerangkeng manusia (korban) dan perlindungan bagi saksi.



"Ada sekitar 57 orang yang terdata terakhir di dalam kerangkeng sebelum ditemukan. Harus dipenuhi haknya, baik itu dalam bentuk pemulihan fisik maupun psikis. Selama ini, semua cenderung fokus pada penegakan hukum, negara sampai lupa bahwa ada hak-hak korban yang harus dipenuhi," tambahnya.

Para korban perlu dipulihkan psikisnya karena mengalami berbagai tindakan tidak manusiawi. Mengingat banyak korban yang merupakan orang-orang dengan permasalahan sosial yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab negara, terutama yang berusia anak. Berikutnya, ada korban meninggal yang juga harus dipenuhi hak bagi keluarga korban apakah itu dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi.

Ia menambahkan, LPSK juga harus proaktif dalam memberikan akses keadilan bagi saksi dan korban yang telah melapor kepada kepolisian. Dengan demikian, kendala pengungkapan kasus yang diakibatkan adanya ketakutan dari korban maupun saksi, yang mengetahui keberadaan dan tindakan di luar batas kemanusiaan di kerangkeng manusia itu bisa diminimalisir.



Hal lain yang menjadi sorotan KontraS, adalah terkait temuan keterlibatan oknum polisi dan TNI dalam kasus kerangkeng manusia. Dinda menegaskan kepolisian melalui Bidang Propam, maupun TNI melalui POM, wajib bertindak cepat dalam melakukan pemeriksaan terhadap personelnya yang terlibat.

"Poin pentingnya, proses hukum bagi aparat polisi dan TNI yang diduga terlibat harus dilakukan secara professional dan transparan. Sehingga publik bisa mengetahui siapa, bagaimana dan sejauh apa bentuk keterlibatan mereka. Ini diperlukan agar tidak menjadi asumsi liar yang justru makin merusak citra polisi dan TNI dihadapan publik," ujarnya.

Catatan terakhir, kata Dinda, KontraS menilai kasus kerangkeng manusia ini bukan sekadar tindak pidana biasa. Dari pola dan bentuk pelanggaran yang terjadi, dia mengatakan lembaganya melihat apa yang terjadi di kerangkeng manusia milik Bupati Langkat bisa masuk kategori pelanggaran HAM berat. Jika demikian, maka bukan tidak mungkin diadili menggunakan mekanisme pengadilan HAM.



Mengacu kepada UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran yang dapat diseret adalah pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan kemanusian lain. Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam UU ini, adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

"Bentuknya bisa banyak, pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, dan perampasan kemerdekaan seperti yang diduga terjadi di dalam kerangkeng manusia milik Bupati Langkat non aktif adalah beberapa contohnya," tegas Dinda.

Ia menambahkan, unsur meluas dan sistematik menunjukkan pada keterlibatan otoritas yang memegang kekuasaan sehingga terjadi pelanggaran. Kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat, keterlibatan otoritas pemegang kekuasaan sangat jelas. Di situ ada Bupati Langkat, pejabat pemerintah lain, hingga aparat keamanan negara.



Jika melihat pada instrumen HAM internasional, istilah meluas merujuk pada jumlah. Dari temuan Komnas HAM setidaknya ada enam orang tewas. Angka ini belum termasuk korban fisik dan trauma psikis. Ini belum lagi korban yang tidak memiliki keberanian untuk mengungkap penyiksaan yang dialaminya selama berada di dalam kerangkeng manusia.

Sebuah catatan yang KontraS Sumut temukan, di ruangan kerangkeng manusia tersebut setidaknya sudah ada 433 orang yang tercatat pernah mendiami kerangkeng manusia itu. Angka yang disebutkan Polda Sumut, dan Komnas HAM bahkan jauh lebih banyak dari itu.

Satu hal yang pasti, kata Dinda, kepastian hukum yang mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban, sekaligus langkah konkrit dari negara dalam melakukan perlindungan HAM merupakan fokus utama. Bahwa keberadaan kerangkeng manusi a itu tidak sekedar melanggar aspek perizinan, dan tindakan yang melampaui kewenangan.



Beroperasinya kerangkeng manusia, menurut Dinda telah merenggut hak azasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Seperti hak untuk tidak disiksa, hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak untuk tidak diperbudak sebagaimana diatur oleh Pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

" Kerangkeng manusia berlangsung selama lebih 10 tahun, didukung dan difasilitasi oleh otoritas kekuasaan, jumlah korban tidak sedikit dan berasal dari berbagai daerah. Tentu ini bukan sekedar tindak pidana biasa," tutup Dinda.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3022 seconds (0.1#10.140)