Kisah Rakai Pikatan dan Pemindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno Dari Medang

Senin, 14 Februari 2022 - 06:52 WIB
loading...
Kisah Rakai Pikatan...
Ekskavasi situs Srigading, yang diduga peninggalan Mataram Kuno, era Mpu Sindok. Foto/MPI/Avirista Midaada
A A A
Kaki candi dan topeng wajah manusia berbahan gerabah ditemukan oleh tim arkeologi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, di situs Srigading. Situs bersejarah tersebut, berada di Dusun Manggis, Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.



Dari hasil penggalian yang dilakukan pada Kamis (10/2/2022), tim arkeologi BPCB Jawa Timur, mulai menemukan bentuk kaki candi yang masih utuh. Diduga, candi dari susunan batu bata kuno tersebut, merupakan peninggalan Mataram Kuno, pada era kepemimpinan Mpu Sindok.



Penemuan candi ini, semakin menguatkan keberadaan pusat kerajaan Mataram Kuno, yang berpindah dari wilayah Jawa Tengah, ke Jawa Timur. Situs cagar budaya tersebut, berada di tengah kebun tebu dan berada sekitar 50 meter dari permukiman warga. Lokasi situs tertimbun tumpukan tanah setinggi 5 meter.



Ketua Tim Ekskavasi Situs Srigading, Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan, dari hasil pembukaan ditemukan satu sudut bangunan yang diduga candi. Hal itu bisa diidentifikasi sebagai candi, karena mempunyai profil half moon, layaknya arsitektur candi era Mataram Kuno. "Kita bisa melihat, pada bukaan tanah, banyak sekali pecahan atau runtuhan bata, yang menandakan bahwa candi ini memiliki kaki, badan, dan atap," ungkapnya.

Wicaksono menambahkan, dari gaya bangunan candi dan temuan arca diidentifikasikan sebagai bangunan era Kerajaan Mataram Kuno, tepatnya di masa pemerintahan Mpu Sindok. Temuan ini juga didasarkan pada Prasasti Linggasutan, yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok. Prasasti itu ditemukan tak jauh dari Desa Srigading, yang kini prasastinya berada di Museum Nasional dengan nomor inventaris D103.

"Tapi dari ciri-cirinya memang arca itu bergaya Mataram Kuno. Karena prasasti Lingga Sutan itu berasal dari tahun 929 masehi, atau era Mpu Sendok. Ciri-ciri khusus kita temukan di sini salah satunya bas relief. Sama seperti di Borobudur dan Prambanan gaya reliefnya. Kemudian ukuran batanya cukup besar. Jadi kita identifikasi ini memang berasal dari pra Majapahit. Ukuran batanya panjang 35 cm, lebar 22 cm, dan ketebalan 10-11 cm," tambahnya.



Pemindahan pusat kerajaan Mataram Kuno, bukan hanya sekali terjadi. Kerajaan besar yang ada di Pulau Jawa, pada abad ke tujuh tersebut, pernah mengalami pemindahan pusat kerajaan dari Medang, ke Mamrati di era kepemimpinan Raja Rakai Pikatan.

Pendiri Kerajaan Mataram Kuno, Raja Sanjaya yang dipercaya menghasilkan raja-raja turunan Dinasti Sanjaya. Awalnya membuka kerajaan dengan ibu kota istana berada di Medang, Jawa Tengah. Hal inilah yang menyebabkan nama Kerajaan Mataram Kuno juga terkenal dengan Kerajaan Medang, karena dari nama ibu kota yang ditempati saat itu.

Namun pasca pemerintahan Raja Sanjaya, ibu kota Mataram Kuno dipindahkan oleh Raja Rakai Pikatan. Sebagaimana dikutip dari buku "Babad Tanah Jawi" tulisan Soedjipto Abimanyu, pemindahan istana kerajaan dari Medang ke Mamrati, dikisahkan melalui Prasasti Wantil yang disebut juga Prasasti Siwagreha, yang dikeluarkan pada 12 November 856 Masehi.



Saat Rakai Pikatan menjadi raja pengaruh besar agama Hindu mulai mendominasi di Mataram, menggantikan agama Buddha. Hal inilah yang juga dimuat di Prasasti Wantil mengenai pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.

Menariknya, selain pembuatan Candi Siwa, raja Rakai Pikatan memerintahkan pemindahan istana Mataram. Konon saat Rakai Pikatan turun tahta dan berganti ke raja berikutnya Rakai Kayuwangi, istana Kerajaan Mataram Kuno tak lagi di Medang.

Istana sudah berpindah dari ibu kota Medang ke daerah Mamrati, dengan istananya yang diberi nama Mamratipura. Namun tak disebutkan alasan pasti mengapa istana kerajaan ini berpindah dari Medang ke Mamrati. Tetapi yang jelas pemindahan istana kerajaan ini telah dilakukan sejak raja kedua Mataram Kuno bertahta, Rakai Pikatan.



Rakai Pikatan sendiri mempunyai putra bungsu bernama Rakai Kayuwangi, yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah Dyah Lokapala sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Wantil atau Prasasti Siwagreha. Dyah Lokapala naik tahta menggantikan ayahnya pada 12 November 856.

Ia naik tahta jadi raja dengan gelar Sang Jatiningrat. Pengangkatan putra bungsu Rakai Pikatan sebagai raja ini tak lepas dari kepahlawanannya dalam menumpas musuh ayahnya yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.

Pada situs Bukit Ratu Baka sejarawan Boechari mencatat nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang muncul sebagai pemberontak dan menyerang kerajaan di era Rakai Pikatan. Hal ini sekaligus membantah bahwa adanya informasi yang menyebut Rakai Pikatan bermusuhan dengan Balaputradewa.

Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Hal ini yang membuatnya mendapat dukungan dari rakyat untuk naik tahta menggantikan ayahnya Rakai Pikatan. Hal ini sekaligus membantah adanya teori perang antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2990 seconds (0.1#10.140)