Kisah Fatahilah Ulama Besar dan Panglima Perang yang Hancurkan Portugis di Sunda Kelapa
loading...
A
A
A
Jayakarta yang kini lebih dikenal dengan Jakarta, selalu melekat dengan kisah sejarah Fatahillah. Ulama besar penyebar Islam, dan panglima perang ini, dengan gagah berani memimpin penaklukkan Sunda Kelapa pada tahun 1527, dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.
Kisah keberanian dan kedigdayaan Fatahillah, atau dalam ejaan Portugis disebut Faletehan tersebut, tercatat dalam buku berjudul "Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia)" karya João de Barros.
Barros dalam laporan di bukunya tersebut, menyebutkan salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan Islam yang dipimpin Fatahillah. Seluruh laskar Portugis di kapal tersebut tewas terbunuh.
Fatahillah dengan karomahnya, memimpin Pasukan Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pertempuran melawan Portugis, juga pernah dilakukan Fatahillah di Malaka.
Ulama besar dan panglima perang yang tangguh ini, dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai, Aceh, dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak, dan ayah, Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur.
Ayahnya merupakan mufti Kesultanan Pasai, yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib).
Kemampuan Fatahillah di bidang kemiliteran, hingga membuatnya menjadi panglima perang yang handal, tak lepas dari lingkungannya di Kesultanan Pasai. Sebagai anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, dia memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut.
Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka, sangat mengandalkan armada lautnya dibanding pasukan darat. Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni.
Memasuki usia 24 tahun Fadhillah meninggalkan kampung halamannya, untuk merantau menambah pengalaman. Dia kemudian pergi ke Kesultanan Malaka, yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang juga sahabat ayahnya. Sehingga Fadhillah mendapat kedudukan sebagai Tumenggung.
Dalam ekpedisi pelayarannya ke Selat Malaka, karena karomah dan kedigdayaannya, Fadhillah sempat menghalau para bajak laut yang berkeliaran di Selat Malaka. Hal ini yang membuat kagum Laksamana Hang Tuah, pemimpin tertinggi Angkatan Laut Kesultanan Malaka.
Karenanya ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai laksamana dipercayakan kepadanya Fadhillah dengan gelar "Laksamana Khoja Hasan". Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, dia mampu mengamankan Selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan menguntungkan kerajaan.
Fadhillah mengabdi selama 15 tahun, tepatnya pada 1510 dia mengundurkan diri karena bermaksud kembali ke Pasai, untuk memperdalam ilmu keagamaan. Namun setelah satu tahun mengundurkan diri, yakni pada 1511 Kesultanan Malaka diserang dan berhasil diduduki Portugis, Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mengungsi ke Pulau Bintan.
Dari pengungsiannya ini Sultan Mahmud Syah meminta bantuan ke Demak. Atas permintaan ini armada Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus pada 1512 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak.
Dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur, dia tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak, ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.
Menurut mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa.
Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai, maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata meriam dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju.
Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India (tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Syekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah dia bertemu sanak kerabatnya, dan dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan.
Sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa dia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan. Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki, guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.
Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki Selat Malaka, karena sudah dikuasai Portugis yang pada 1513 juga telah menguasai Pasai.
Karena tidak dapat masuk ke Selat Malaka, maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang, kemudian diteruskan ke Cirebon, guna menjumpai pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati.
Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro, bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus.
Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati Kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.
Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 ribu prajurit gabungan tiga kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was.
Tetapi saat perang baru berlangsung tiga hari, ada peluru nyasar menghantam kapal yang berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan, dan menarik mundur sambil menyelamatkan jenazah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Demak.
Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para wali berhitung. Jika harus mengulangi serangan ke Malaka, tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama.
Maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran.
Secara kebetulan pula, ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa, yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam.
Kehadiran Armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Portugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam.
Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa, yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.
Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja.
Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil. Dengan karomah yang diberikan Allah SWT akhirnya pasukan Fadhillah Khan berhasil meluluhlantakkan pasukan darat Portugis, dan diikuti oleh armada lautnya pada 22 Juni 1527.
Empat kapal Portugis yang berada di laut lepas tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih kembali ke Malaka. Pasca keberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan memperoleh gelar baru yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah SWT.
Pada 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucunya yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya (Pangeran Adipati Cirebon) justru telah meninggal lebih dahulu. Oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II karena kepiawaiannya dalam ilmu agama.
Sumber: kajiannasab.blogspot
Kisah keberanian dan kedigdayaan Fatahillah, atau dalam ejaan Portugis disebut Faletehan tersebut, tercatat dalam buku berjudul "Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia)" karya João de Barros.
Barros dalam laporan di bukunya tersebut, menyebutkan salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan Islam yang dipimpin Fatahillah. Seluruh laskar Portugis di kapal tersebut tewas terbunuh.
Fatahillah dengan karomahnya, memimpin Pasukan Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pertempuran melawan Portugis, juga pernah dilakukan Fatahillah di Malaka.
Ulama besar dan panglima perang yang tangguh ini, dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai, Aceh, dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak, dan ayah, Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur.
Ayahnya merupakan mufti Kesultanan Pasai, yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib).
Kemampuan Fatahillah di bidang kemiliteran, hingga membuatnya menjadi panglima perang yang handal, tak lepas dari lingkungannya di Kesultanan Pasai. Sebagai anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, dia memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut.
Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka, sangat mengandalkan armada lautnya dibanding pasukan darat. Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni.
Baca Juga
Memasuki usia 24 tahun Fadhillah meninggalkan kampung halamannya, untuk merantau menambah pengalaman. Dia kemudian pergi ke Kesultanan Malaka, yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang juga sahabat ayahnya. Sehingga Fadhillah mendapat kedudukan sebagai Tumenggung.
Dalam ekpedisi pelayarannya ke Selat Malaka, karena karomah dan kedigdayaannya, Fadhillah sempat menghalau para bajak laut yang berkeliaran di Selat Malaka. Hal ini yang membuat kagum Laksamana Hang Tuah, pemimpin tertinggi Angkatan Laut Kesultanan Malaka.
Karenanya ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai laksamana dipercayakan kepadanya Fadhillah dengan gelar "Laksamana Khoja Hasan". Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, dia mampu mengamankan Selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan menguntungkan kerajaan.
Fadhillah mengabdi selama 15 tahun, tepatnya pada 1510 dia mengundurkan diri karena bermaksud kembali ke Pasai, untuk memperdalam ilmu keagamaan. Namun setelah satu tahun mengundurkan diri, yakni pada 1511 Kesultanan Malaka diserang dan berhasil diduduki Portugis, Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mengungsi ke Pulau Bintan.
Dari pengungsiannya ini Sultan Mahmud Syah meminta bantuan ke Demak. Atas permintaan ini armada Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus pada 1512 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak.
Dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur, dia tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak, ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.
Menurut mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa.
Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai, maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata meriam dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju.
Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India (tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Syekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah dia bertemu sanak kerabatnya, dan dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan.
Sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa dia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan. Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki, guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.
Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki Selat Malaka, karena sudah dikuasai Portugis yang pada 1513 juga telah menguasai Pasai.
Karena tidak dapat masuk ke Selat Malaka, maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang, kemudian diteruskan ke Cirebon, guna menjumpai pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati.
Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro, bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus.
Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati Kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.
Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 ribu prajurit gabungan tiga kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was.
Tetapi saat perang baru berlangsung tiga hari, ada peluru nyasar menghantam kapal yang berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan, dan menarik mundur sambil menyelamatkan jenazah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Demak.
Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para wali berhitung. Jika harus mengulangi serangan ke Malaka, tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama.
Maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran.
Secara kebetulan pula, ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa, yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam.
Kehadiran Armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Portugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam.
Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa, yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.
Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja.
Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil. Dengan karomah yang diberikan Allah SWT akhirnya pasukan Fadhillah Khan berhasil meluluhlantakkan pasukan darat Portugis, dan diikuti oleh armada lautnya pada 22 Juni 1527.
Empat kapal Portugis yang berada di laut lepas tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih kembali ke Malaka. Pasca keberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan memperoleh gelar baru yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah SWT.
Pada 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucunya yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya (Pangeran Adipati Cirebon) justru telah meninggal lebih dahulu. Oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II karena kepiawaiannya dalam ilmu agama.
Sumber: kajiannasab.blogspot
(eyt)