BMKG: Curah Hujan Tahunan 2022 Diprediksi sedikit Lebih Tinggi Dibandingkan dengan Normalnya
loading...
A
A
A
SERANG - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis outlook iklim tahun 2022. Outlook tersebut dibuat berdasarkan analisis iklim tahun 2021 dan kondisi dinamika atmosfer global. Hasilnya, curah hujan tahunan pada tahun 2022 diprediksi sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Normalnya. Kondisi Normal adalah rata-rata kondisi iklim dalam periode referensi pada tahun 1981 - 2010.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyebut jika rata-rata wilayah Indonesia memperoleh normal curah hujan tahunan sebesar 2000 mm dengan variasi secara keruangan antara 500 mm hingga 4000 mm per tahun.
Namun, pada tahun 2022, jumlah curah hujan tahunan yang turun diprediksi lebih dari 2500 mm. Kondisi tersebut berpotensi terjadi di sejumlah wilayah di antaranya Sumatera utamanya sekitar pegunungan bukit barisan, sebagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sementara curah hujan tahunan kurang dari 1500 mm berpotensi terjadi di NTB, NTT dan Sulawesi Tengah.
Terkait sebaran hujan bulanan pada tahun 2022, lanjut Dwikorita, BMKG memprediksi bahwa curah hujan sepanjang bulan Januari hingga Oktober secara umum akan sedikit lebih tinggi dibandingkan Normalnya. Sedangkan pada bulan November dan Desember curah hujan diprediksi sedikit lebih rendah dibanding Normalnya.
Apabila dibandingkan dengan curah hujan pada tahun 2021, kata dia, maka secara umum curah hujan tahun 2022 diprediksi akan lebih rendah, khususnya di bulan Januari, Maret, Mei, September, Oktober, dan November 2022. Dalam hal tren suhu, Dwikorita mengungkapkan bahwa suhu tahun 2022 akan jauh lebih tinggi dibanding rata-rata normalnya (sebesar 26,6 °C). Tren kenaikan suhu juga terjadi secara terus-menerus di Indonesia.
Namun begitu, rekor tahun terpanas masih diduduki tahun 2016 dengan nilai anomali sebesar 0,8°C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Suhu udara rata-rata tahunan 2021 ialah 27,0°C dan menempati urutan ke-8 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,4°C. Tahun 2020 dan 2019 menempati urutan kedua dan ketiga tahun terpanas dengan nilai anomali masing-masing sebesar 0,7° dan 0,6°C.
Sementara itu, meski curah hujan tahun 2022 diprediksi sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2021 lalu, namun Dwikorita mengatakan bahwa pemerintah dan masyarakat harus tetap mewaspadai potensi terjadinya bencana hidrometeorologi.
Utamanya di daerah yang diprediksikan memperoleh curah hujan bulanan di atas normal diantaranya Sumatra bagian tengah hingga utara, Kalimantan bagian timur dan utara, Jawa bagian barat, sebagian Sulawesi, Nusa Tenggara bagian timur, Maluku dan Papua pada bulan Januari. Selanjutnya di sebagian Sumatra, sebagian Jawa, Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku bagian utara dan Papua pada bulan Februari. Dan, terakhir Sumatra bagian utara, Jawa, Kalimantan bagian utara, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara dan sebagian Papua pada bulan Maret.
"Dampak negatif dan positif yang disebabkan oleh iklim harus tetap dipetakan. Kondisi curah hujan diatas normal dapat dimanfaatkan untuk kecukupan kebutuhan sumber daya air, sektor pertanian, dan sektor kehutanan,” terang Dwikorita di Jakarta, Senin (10/1).
Terkait dampak negatif, tambah Dwikorita, Pemerintah Daerah dan masyarakat harus mewaspadai, mengantisipasi dan melakukan aksi mitigasi guna menghindari dan mengurangi risiko bencana hidrometeorologi. Jangka panjangnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata ruang dan tata kelola air dengan mempertimbangkan pengaruh dan dampak perubahan iklim baik pada tingkat global, regional dan lokal, sebagai langkah antisipasi terhadap semakin meningkatnya frekuensi dan intensitas multibencana hidrometeorologi.
Sementara itu, Plt. Deputi Klimatologi Urip Haryoko menambahkan, pada semester I tahun 2022, anomali iklim ENSO di Samudera Pasifik diprediksikan akan masih berada pada fase La Nina dengan intensitas moderate, dan akan kembali Netral pada Semester II. Sementara itu anomali iklim IOD di Samudera Hindia diprediksikan akan berada pada kondisi Netral pada periode tersebut. Di wilayah Indonesia, suhu muka laut di bagian timur diprediksikan hangat.
Urip mengatakan, Informasi BMKG dalam Climate Outlook, Prediksi Musim dan iklim bulanan dapat digunakan sebagai acuan dalam antisipasi dampak keadaan iklim 2022 terhadap kegiatan sektoral yang penting, diantaranya sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor pekerjaan umum, sektor pariwisata, sektor kesehatan, dan sektor kebencanaan. Baca: Dibakar Cemburu, Pria di Kuta Bali Bacok Kepala Pacar dan Teman.
Di antaranya, lanjut Urip di sektor pertanian dimana pemerintah daerah dan masyarakat dapat mengatur pola tanam sesuai dengan ketersediaan air; memilih komoditas dan varietas sesuai dengan prediksi iklim, upaya adaptasi lebih fokus dan tepat lokasi, seperti untuk wilayah yang diprediksi kering dapat menyediakan air melalui sumur pompa, dam parit, embung, longstorage. Sedangkan untuk yang diprediksi lebih basah dapat menyiapkan sistem drainase yang baik, dan menekan kehilangan hasil pertanian akibat kekeringan atau serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Sektor lainnya, tambah Urip, seperti di sektor kehutanan dimana potensi kelimpahan air hujan dapat dimanfaatkan untuk mendukung untuk aktivitas penanaman pohon dan reboisasi, demikian pula untuk kebencanaan hidrometeorologi kekeringan dengan tetap menjaga kesiagaan, potensi karhutla pun tidak terlalu tinggi.
Sementara di sektor kebencanaan, tingginya curah hujan berpeluang menimbulkan bencana hidrometeorologi di wilayah Sumatra bagian tengah, Kalimantan bagian utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Baca Juga: Hilang saat Mancing di Laut, Kepala BPBD Halmahera Barat Ditemukan Meninggal Dunia.
"Bencana di sektor kesehatan juga perlu diperhatikan. Meningkatnya curah hujan juga turut meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Demam Berdarah Dengue," tuturnya.
"Karenanya, Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) menjadi hal yang wajib dilakukan selama musim penghujan agar tidak menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah," pungkas Urip.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyebut jika rata-rata wilayah Indonesia memperoleh normal curah hujan tahunan sebesar 2000 mm dengan variasi secara keruangan antara 500 mm hingga 4000 mm per tahun.
Namun, pada tahun 2022, jumlah curah hujan tahunan yang turun diprediksi lebih dari 2500 mm. Kondisi tersebut berpotensi terjadi di sejumlah wilayah di antaranya Sumatera utamanya sekitar pegunungan bukit barisan, sebagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sementara curah hujan tahunan kurang dari 1500 mm berpotensi terjadi di NTB, NTT dan Sulawesi Tengah.
Terkait sebaran hujan bulanan pada tahun 2022, lanjut Dwikorita, BMKG memprediksi bahwa curah hujan sepanjang bulan Januari hingga Oktober secara umum akan sedikit lebih tinggi dibandingkan Normalnya. Sedangkan pada bulan November dan Desember curah hujan diprediksi sedikit lebih rendah dibanding Normalnya.
Apabila dibandingkan dengan curah hujan pada tahun 2021, kata dia, maka secara umum curah hujan tahun 2022 diprediksi akan lebih rendah, khususnya di bulan Januari, Maret, Mei, September, Oktober, dan November 2022. Dalam hal tren suhu, Dwikorita mengungkapkan bahwa suhu tahun 2022 akan jauh lebih tinggi dibanding rata-rata normalnya (sebesar 26,6 °C). Tren kenaikan suhu juga terjadi secara terus-menerus di Indonesia.
Namun begitu, rekor tahun terpanas masih diduduki tahun 2016 dengan nilai anomali sebesar 0,8°C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Suhu udara rata-rata tahunan 2021 ialah 27,0°C dan menempati urutan ke-8 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,4°C. Tahun 2020 dan 2019 menempati urutan kedua dan ketiga tahun terpanas dengan nilai anomali masing-masing sebesar 0,7° dan 0,6°C.
Sementara itu, meski curah hujan tahun 2022 diprediksi sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2021 lalu, namun Dwikorita mengatakan bahwa pemerintah dan masyarakat harus tetap mewaspadai potensi terjadinya bencana hidrometeorologi.
Utamanya di daerah yang diprediksikan memperoleh curah hujan bulanan di atas normal diantaranya Sumatra bagian tengah hingga utara, Kalimantan bagian timur dan utara, Jawa bagian barat, sebagian Sulawesi, Nusa Tenggara bagian timur, Maluku dan Papua pada bulan Januari. Selanjutnya di sebagian Sumatra, sebagian Jawa, Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku bagian utara dan Papua pada bulan Februari. Dan, terakhir Sumatra bagian utara, Jawa, Kalimantan bagian utara, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara dan sebagian Papua pada bulan Maret.
"Dampak negatif dan positif yang disebabkan oleh iklim harus tetap dipetakan. Kondisi curah hujan diatas normal dapat dimanfaatkan untuk kecukupan kebutuhan sumber daya air, sektor pertanian, dan sektor kehutanan,” terang Dwikorita di Jakarta, Senin (10/1).
Terkait dampak negatif, tambah Dwikorita, Pemerintah Daerah dan masyarakat harus mewaspadai, mengantisipasi dan melakukan aksi mitigasi guna menghindari dan mengurangi risiko bencana hidrometeorologi. Jangka panjangnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata ruang dan tata kelola air dengan mempertimbangkan pengaruh dan dampak perubahan iklim baik pada tingkat global, regional dan lokal, sebagai langkah antisipasi terhadap semakin meningkatnya frekuensi dan intensitas multibencana hidrometeorologi.
Sementara itu, Plt. Deputi Klimatologi Urip Haryoko menambahkan, pada semester I tahun 2022, anomali iklim ENSO di Samudera Pasifik diprediksikan akan masih berada pada fase La Nina dengan intensitas moderate, dan akan kembali Netral pada Semester II. Sementara itu anomali iklim IOD di Samudera Hindia diprediksikan akan berada pada kondisi Netral pada periode tersebut. Di wilayah Indonesia, suhu muka laut di bagian timur diprediksikan hangat.
Urip mengatakan, Informasi BMKG dalam Climate Outlook, Prediksi Musim dan iklim bulanan dapat digunakan sebagai acuan dalam antisipasi dampak keadaan iklim 2022 terhadap kegiatan sektoral yang penting, diantaranya sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor pekerjaan umum, sektor pariwisata, sektor kesehatan, dan sektor kebencanaan. Baca: Dibakar Cemburu, Pria di Kuta Bali Bacok Kepala Pacar dan Teman.
Di antaranya, lanjut Urip di sektor pertanian dimana pemerintah daerah dan masyarakat dapat mengatur pola tanam sesuai dengan ketersediaan air; memilih komoditas dan varietas sesuai dengan prediksi iklim, upaya adaptasi lebih fokus dan tepat lokasi, seperti untuk wilayah yang diprediksi kering dapat menyediakan air melalui sumur pompa, dam parit, embung, longstorage. Sedangkan untuk yang diprediksi lebih basah dapat menyiapkan sistem drainase yang baik, dan menekan kehilangan hasil pertanian akibat kekeringan atau serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Sektor lainnya, tambah Urip, seperti di sektor kehutanan dimana potensi kelimpahan air hujan dapat dimanfaatkan untuk mendukung untuk aktivitas penanaman pohon dan reboisasi, demikian pula untuk kebencanaan hidrometeorologi kekeringan dengan tetap menjaga kesiagaan, potensi karhutla pun tidak terlalu tinggi.
Sementara di sektor kebencanaan, tingginya curah hujan berpeluang menimbulkan bencana hidrometeorologi di wilayah Sumatra bagian tengah, Kalimantan bagian utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Baca Juga: Hilang saat Mancing di Laut, Kepala BPBD Halmahera Barat Ditemukan Meninggal Dunia.
"Bencana di sektor kesehatan juga perlu diperhatikan. Meningkatnya curah hujan juga turut meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Demam Berdarah Dengue," tuturnya.
"Karenanya, Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) menjadi hal yang wajib dilakukan selama musim penghujan agar tidak menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah," pungkas Urip.
(nag)