Tumbuh dalam Lingkungan Anti Imperialisme, Ratu Kalinyamat Jadi Sosok Pemberani Lawan Portugis di Malaka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Retno Kencono atau Ratu Kalinyamat dikenal sebagai sosok pemberani dan cerdas. Tumbuh di tengah keluarga kaya dan anti imperialisme, Ratu Kalinyamat membuat Jepara kelak disegani dan diperhitungkan baik raja-raja di Nusantara maupun para penjajah Eropa, khususnya Portugis.
Nama Jepara dan sosok Ratu Kalinyamat pun tercatat dalam buku sejarah di negeri itu. Buku Suma Oriental karya Tome Pires, misalnya, mencatat bahwa Japara dikenal sejak abad ke-15 (1470 M) sebagai bandar kecil. Kota pelabuhan ini, tulis Tome Pieres, hanya dihuni oleh 90-100 orang. Kota kecil ini dikuasai Arya Timur dan berada di bawah pemerintahan Demak.
Tome Pires menerangkan, setelah Arya Timur meninggal, tampuk kekuasaan dipegang Pati Unus selama 14 tahun, dari 1507 hingga 1521 Masehi. Pada masa kekuasaan Pati Unus, Japara berkembang menjadi kota pelabuhan niaga dan militer yang disegani. Kata Jepara itu sendiri artinya tempat permukiman para pedagang yang berniaga dari dan ke berbagai daerah.
Pati Unus dalam buku sejarah di Indonesia, dikenal sebagai salah satu sosok pemberani. Ia tercatat sebagi tokoh yang ikut melawan Portugis di Malaka. Setelah Pati Unus meninggal, perjuangan melawan Portugis dilanjutkan oleh Fatahillah, ipar Pati Unus yang berkuasa dari 1521 hingga 1536 Masehi.
Sama seperti pendahulunya, Fatahillah adalah tokoh yang sangat gigih melawan kelaliman angkatan laut Portugis di Selat Malaka. Setelah Fatahillah meninggal, darah anti imperialisme diturunkan kepada putranya, Sultan Trenggono pada tahun 1536 M.
Tak lama setelah itu, Sultan Hadirin asal Aceh yang menikahi Retno Kencono, putri Trenggono diserahi kepercayaan untuk mimimpin Jepara. Dengan warisan darah anti imperialisme dan kekayaan yang didapat dari hasil niaga, Jepara di bawah pimpinan Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat memperkuat armada perangnya.
Dalam buku Ratu Kalinyamat, Rainha de Jepara karya Hadi Priyanto, disebutkan bahwa meski suaminya tewas di tangan Arya Penangsang, semangat Ratu Kalinyamat untuk membangun Japara tidak surut.
Sebagai kota pelabuhan, pembangunan diarahkan untuk memperkuat armada angkatan laut. Jumlah kapal perang dilipatgandakan oleh Ratu Kalinyamat. Demikian pun prajurit-prajuritnya, dilipatgandakan jumlahnya.
Kuatnya armada angkatan laut Jepara terdengar sampai ke Johor Malaysia dan kerajaan lainnya di Nusantara. Itulah sebabnya, pada 1550, ketika Johor merasa terganggu kepentingannya oleh kehadiran armada Portugis di Selat Malaka, Kesultanan Johor segera mengontak Ratu Kalinyamat untuk meminta dukungan pasukan.
Ratu Kalinyamat mengabulkan permohonan Sultan Johor dengan mengirimkan 40 kapal perang yang mengangkut lebih dari 4.000 orang prajurit ke Selat Malaka. Di Selat Malaka, armada dari Jepara bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu yang berkekuatan lebih dari 150 kapal.
Menurut catatan sejarahwan H.J. de Graaf dalam buku Awal Kebangkitan Mataram, kehadiran armada Jepara ternyata masih kalah dengan Portugis yang memiliki jumlah jauh lebih besar disertai peralatan perang yang lebih unggul. Dalam pertempuran itu, armada Jepara mengalami kerugian besar. Tidak kurang dari 2.000 prajuritnya gugur. Faktor cuaca ekstrem juga membuat armada Jepara kocar-kacir.
Ekspedisi pertama ini boleh dibilang gagal total. Namun, kegagalan ini tidak membuat Ratu Kalinyamat patah arang. Ketika pada 1573 ada permintaan bantuan dari Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tempat asal suaminya, Ratu Kalinyamat kembali mengirimkan pasukan.
Kali ini Ratu Kalinyamat mengirim armada tempur ke Malaka jauh lebih besar lagi. Ratu Kalinyamat bahkan memerintahkan salah satu panglima perangnya, Ki Demang untuk memimpin 300 kapal dengan 15.000 orang prajurit.
Ekspedisi kedua ke Selat Malaka ini jauh lebih menantang, banyak rintangan dihadapi sehingga memakan waktu tempuh yang lebih lama dari yang diperkirakan. Akibatnya mereka tidak tepat waktu tiba di medan perang. Sehingga saat mereka tiba di Semenanjung Melayu, pasukan Aceh Darussalam sudah dipukul mundur oleh Portugis
Armada Jepara kiriman Ratu Kalinyamat pun menyerang Portugis sendirian, tanpa kekuatan gabungan. Akibatnya, armada Jepara mudah dipukul mundur. Sebanyak 30 kapal perang Jepara hancur. Meski dalam posisi derdesak, pasukan Jepara tidak mau menyerah.Kapal yang membawa bantuan perbekalan pun diblokade armada Portugis. Kekuatan Jepara semakin lemah hingga akhirnya memutuskan pulang.
Selain mengirim bantuan pasukan ke Selat Malaka, Ratu Kalinyamat juga pernah mengirim pasukan ke Maluku untuk membantu Kerajaan Tanah Hitu, salah satu kerajaan Islam di Ambon. Kala itu, tanah Maluku juga dalam incaran imperialisme Portugis.
Meski dua ekspedisi ke Malaka dan ekspedisi ke Maluku bisa diatasi Portugis, namun kekuatan armada Jepara tetap merepotkan dan membuat Portugis tidak leluasa menguasai tataniaga rempah-rempah di Nusantara.
Tiak heran jika Portugis sendiri menyebut sosok ratu dengan sebutan Rainha De Jepara Senora De Rica. Artinya, Ratu Jepara, seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Ratu Ratna Kencana meninggal tahun 1579 M. Sosok yang dibabtis Portugis dengan nama Rainha de Jepara Senora de Rica ini memimpin Japara selama 30 tahun. Dia dimakamkan di desa Mantingan, berdampingan dengan makam suaminya, Sultan Hadirin.
Diolah dari berbagai sumber
Nama Jepara dan sosok Ratu Kalinyamat pun tercatat dalam buku sejarah di negeri itu. Buku Suma Oriental karya Tome Pires, misalnya, mencatat bahwa Japara dikenal sejak abad ke-15 (1470 M) sebagai bandar kecil. Kota pelabuhan ini, tulis Tome Pieres, hanya dihuni oleh 90-100 orang. Kota kecil ini dikuasai Arya Timur dan berada di bawah pemerintahan Demak.
Tome Pires menerangkan, setelah Arya Timur meninggal, tampuk kekuasaan dipegang Pati Unus selama 14 tahun, dari 1507 hingga 1521 Masehi. Pada masa kekuasaan Pati Unus, Japara berkembang menjadi kota pelabuhan niaga dan militer yang disegani. Kata Jepara itu sendiri artinya tempat permukiman para pedagang yang berniaga dari dan ke berbagai daerah.
Pati Unus dalam buku sejarah di Indonesia, dikenal sebagai salah satu sosok pemberani. Ia tercatat sebagi tokoh yang ikut melawan Portugis di Malaka. Setelah Pati Unus meninggal, perjuangan melawan Portugis dilanjutkan oleh Fatahillah, ipar Pati Unus yang berkuasa dari 1521 hingga 1536 Masehi.
Sama seperti pendahulunya, Fatahillah adalah tokoh yang sangat gigih melawan kelaliman angkatan laut Portugis di Selat Malaka. Setelah Fatahillah meninggal, darah anti imperialisme diturunkan kepada putranya, Sultan Trenggono pada tahun 1536 M.
Tak lama setelah itu, Sultan Hadirin asal Aceh yang menikahi Retno Kencono, putri Trenggono diserahi kepercayaan untuk mimimpin Jepara. Dengan warisan darah anti imperialisme dan kekayaan yang didapat dari hasil niaga, Jepara di bawah pimpinan Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat memperkuat armada perangnya.
Dalam buku Ratu Kalinyamat, Rainha de Jepara karya Hadi Priyanto, disebutkan bahwa meski suaminya tewas di tangan Arya Penangsang, semangat Ratu Kalinyamat untuk membangun Japara tidak surut.
Sebagai kota pelabuhan, pembangunan diarahkan untuk memperkuat armada angkatan laut. Jumlah kapal perang dilipatgandakan oleh Ratu Kalinyamat. Demikian pun prajurit-prajuritnya, dilipatgandakan jumlahnya.
Kuatnya armada angkatan laut Jepara terdengar sampai ke Johor Malaysia dan kerajaan lainnya di Nusantara. Itulah sebabnya, pada 1550, ketika Johor merasa terganggu kepentingannya oleh kehadiran armada Portugis di Selat Malaka, Kesultanan Johor segera mengontak Ratu Kalinyamat untuk meminta dukungan pasukan.
Ratu Kalinyamat mengabulkan permohonan Sultan Johor dengan mengirimkan 40 kapal perang yang mengangkut lebih dari 4.000 orang prajurit ke Selat Malaka. Di Selat Malaka, armada dari Jepara bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu yang berkekuatan lebih dari 150 kapal.
Menurut catatan sejarahwan H.J. de Graaf dalam buku Awal Kebangkitan Mataram, kehadiran armada Jepara ternyata masih kalah dengan Portugis yang memiliki jumlah jauh lebih besar disertai peralatan perang yang lebih unggul. Dalam pertempuran itu, armada Jepara mengalami kerugian besar. Tidak kurang dari 2.000 prajuritnya gugur. Faktor cuaca ekstrem juga membuat armada Jepara kocar-kacir.
Ekspedisi pertama ini boleh dibilang gagal total. Namun, kegagalan ini tidak membuat Ratu Kalinyamat patah arang. Ketika pada 1573 ada permintaan bantuan dari Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tempat asal suaminya, Ratu Kalinyamat kembali mengirimkan pasukan.
Kali ini Ratu Kalinyamat mengirim armada tempur ke Malaka jauh lebih besar lagi. Ratu Kalinyamat bahkan memerintahkan salah satu panglima perangnya, Ki Demang untuk memimpin 300 kapal dengan 15.000 orang prajurit.
Ekspedisi kedua ke Selat Malaka ini jauh lebih menantang, banyak rintangan dihadapi sehingga memakan waktu tempuh yang lebih lama dari yang diperkirakan. Akibatnya mereka tidak tepat waktu tiba di medan perang. Sehingga saat mereka tiba di Semenanjung Melayu, pasukan Aceh Darussalam sudah dipukul mundur oleh Portugis
Armada Jepara kiriman Ratu Kalinyamat pun menyerang Portugis sendirian, tanpa kekuatan gabungan. Akibatnya, armada Jepara mudah dipukul mundur. Sebanyak 30 kapal perang Jepara hancur. Meski dalam posisi derdesak, pasukan Jepara tidak mau menyerah.Kapal yang membawa bantuan perbekalan pun diblokade armada Portugis. Kekuatan Jepara semakin lemah hingga akhirnya memutuskan pulang.
Selain mengirim bantuan pasukan ke Selat Malaka, Ratu Kalinyamat juga pernah mengirim pasukan ke Maluku untuk membantu Kerajaan Tanah Hitu, salah satu kerajaan Islam di Ambon. Kala itu, tanah Maluku juga dalam incaran imperialisme Portugis.
Meski dua ekspedisi ke Malaka dan ekspedisi ke Maluku bisa diatasi Portugis, namun kekuatan armada Jepara tetap merepotkan dan membuat Portugis tidak leluasa menguasai tataniaga rempah-rempah di Nusantara.
Tiak heran jika Portugis sendiri menyebut sosok ratu dengan sebutan Rainha De Jepara Senora De Rica. Artinya, Ratu Jepara, seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Ratu Ratna Kencana meninggal tahun 1579 M. Sosok yang dibabtis Portugis dengan nama Rainha de Jepara Senora de Rica ini memimpin Japara selama 30 tahun. Dia dimakamkan di desa Mantingan, berdampingan dengan makam suaminya, Sultan Hadirin.
Diolah dari berbagai sumber
(don)