Dosen Psikologi Unpad Sebut Fenomena Boneka Arwah Tidak Lazim

Jum'at, 07 Januari 2022 - 14:33 WIB
loading...
Dosen Psikologi Unpad...
Ilustrasi boneka arwah. Foto: Istimewa/SINDOnews
A A A
BANDUNG - Fenomena boneka arwah atau spirit doll pada orang dewasa saat ini dapat dilihat dari proses psikologis atau tumbuh kembang yang tidak maksimal. Hal ini pun dianggap tidak lazim.

Hal ini diungkapkan Dosen Departemen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Retno Hanggarani Ninin. Menurutnya, kapasitas psikologis tersebut dapat dilihat dari pola asuhnya.

“Kalau proses itu benar dan baik, dia akan tumbuh dengan kemampuan yang cukup untuk menghadapi persoalan hidupnya,” kata Ninin dalam siaran pers, Kanal Media Unpad, Jumat (7/1/2022).



Dijelaskan dia, tidak semua orang memiliki pengalaman positif dalam proses tumbuh kembangnya. Ada pengalaman pola asuh, pendidikan, dan relasi tertentu yang bisa membuat kemampuan psikologis kurang mumpuni.

Ketidak mampuan untuk bertahan tersebut mendorong seseorang memilih cara-cara tertentu untuk menguatkan. Salah satunya menggunakan alat bantu seperti spirit doll atau boneka arwah.

“Pada dasarnya, jika seseorang dalam tumbuh kembangnya mengalami proses yang positif dan ideal, maka hal-hal itu tidak diperlukan,” imbuhnya.



Apakah perilaku itu wajar? Ninin memaparkan, batas kewajaran terhadap fenomena ini bergantung pada peran yang diletakkan seseorang (pemiliknya) pada boneka tersebut.

"Jika anak-anak yang bermain boneka dan memperlakukannya layaknya temannya, itu merupakan sebuah kewajaran dari perspektif tumbuh kembang, karena faktor usianya. Kita tidak menganggapnya wajar ketika di tahapan usia lanjut, mereka memperlakukan boneka dengan cara yang sama,” kata Ninin.

Ninin mengungkapkan, ketika di usia dewasa seseorang masih memperlakukan boneka seperti pada usia anak-anak, maka ada sesuatu dari kondisi psikologisnya yang mencetuskan dia untuk membutuhkan cara tersebut.



"Ketidak mampuan seseorang dalam menghadapi persoalan hidup secara mandiri, kadang kala membuatnya memerlukan teman untuk mendengar, berdiskusi, dan berbicara," jelasnya.

Ketiadaan pendamping yang bisa diajak mendengar, berkomunikasi, dan memberikan dukungan, bisa jadi membuat seseorang memilih untuk memiliki teman komunikasi yang lain.

“Kalau kita lihat, pada umumnya, berdasarkan tradisi dan budaya, perilaku itu bisa jadi tidak lazim. Akan tetapi, kenyataannya ada orang yang memilih cara itu untuk membuatnya memiliki teman berkomunikasi atau teman hidup. Padahal, ‘teman’ yang dia pilih itu tidak bisa menjadi partner komunikasi atau emosi balasan,” tukasnya.
(hsk)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3375 seconds (0.1#10.140)