Ramai Tudingan Kasus Herry Wirawan Ditutup-tutupi, Ini Penjelasan Pakar Hukum
loading...
A
A
A
BANDUNG - Pakar Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusuf angkat bicara soal banyaknya masyarakat yang menuding pemerintah menutup-nutupi kasus pencabulan yang dilakukan oknum guru sekaligus pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Kota Bandung, Herry Wirawan.
Asep menuturkan, langkah pemerintah dan berbagai pihak untuk melindungi korban secara cepat sekaligus memproses kasus asusila yang diduga dilakukan Herry Wirawan dinilai tepat. Menurut Asep, masyarakat jangan salah mengerti terkait kasus ini yang baru dipublikasikan Desember 2021.
Sebab, kasus ini sudah diketahui sejak Mei 2021 lalu. Tidak dipublikasikan bukan berarti tidak diproses hukum. "Hal ini pun bertujuan melindungi para korban, terutama psikologisnya," kata Asep dalam keterangannya, Rabu (15/12/2021).
Tidak sekedar melindungi korban, lanjut Asep, keputusan untuk memproses kasus tanpa publikasi pun bertujuan untuk menjaga keberlangsungan persidangan. Sebab, dalam kasus asusila, para korban harus menjadi saksi dalam persidangan.
"Ada etika dalam hukum acara kejahatan kesusilaan, satu di antaranya memang tidak diekspos. Bahkan, untuk beberapa kasus, pelakunya pun tidak diekspos karena pada saat dia dihadapkan di pengadilan, saksi itu juga kan harus datang. Untuk menjadi saksi dalam kasus ini kan tidak mudah karena harus melihat pelakunya," papar Asep.
Asep menjelaskan bahwa kelancaran jalannya persidangan ditentukan oleh saksi yang mau menyatakan kejadian yang sebenarnya secara jelas. Maka, saat bersaksi, kondisi psikologis korban jangan sampai terganggu. Bahkan, korban harus didampingi psikolog, ahli kesehatan, hingga orang-orang terdekat korban. "Apalagi dalam kasus ini, para korbannya adalah anak-anak," imbuh Asep.
Asep juga mengatakan bahwa semua pihak harus memulihkan psikologis para korban supaya siap menjadi saksi di pengadilan. Terekspos kasus ini ke publik, bahkan berbagai informasinya mengenai korban dicongkel, maka akan berpengaruh terhadap kondisi para korban yang menjadi saksi tersebut.
"Makanya, kami mengerti kalau diam-diam dulu supaya proses-proses yang dijalankan oleh hakim dan pengadilan berjalan lancar dan saksinya mau bicara tanpa gangguan. Kalau sudah diputus, silakan," jelasnya.
Berdasarkan penelusurannya, kata Asep, para korban kini kembali mengalami trauma setelah kasus ini terekspos ke publik. Pasalnya, mereka membaca berbagai berita di media, termasuk pembicaraan di media sosial.
"Kalau prespektif kesusilaan, melihat korban, maka kewajiban negara, kewajiban pemerintah, kewajiban penegak hukum adalah melindungi korban. Itu harus dijalankan. Makanya, pihak pemerintah dan penegak hukum itu memastikan bahwa korban mendapat perlindungan dan hak-haknya," tegas Asep.
Dia menekankan, korban harus merasa aman dan nyaman. Oleh karena itu, harus dipastikan korban dilindungi dari publisitas maupun pengungkapan ke publik dan wajib dilindungi sambil kondisi mental psikologis serta traumanya dipulihkan. "Jadi bukan tidak mau diekspos, tapi problemanya adalah ketika ini terekspos keluar, bahkan disebutkan siapa korbannya, itu akan menjadi pelanggaran terhadap hak-hak korban," tegasnya lagi.
Terkait publikasi Herry Wirawan, kata Asep, hal itu diperbolehkan sepanjang tidak mengorek informasi mengenai korban. Hal itu pun, kata Asep, tertera dalam undang-undang tentang perlindungan anak.
"Saya mengobrol dengan teman-teman di Garut dengan dinas-dinas yang menangani perlindungan anak. Mereka sebetulnya bukan menutupi perbuatan jahat, tapi ini hanya untuk sebatas melindungi korbannya," ungkapnya.
Asep pun mencermati berbagai hal janggal dalam berbagai informasi terkait kasus tersebut. Menurutnya, selama ini, kabar yang muncul ke permukaan adalah pencabulan yang dilakukan oleh guru agama kepada santriwatinya. Namun, kata Asep, pihaknya tidak menemukan kegiatan pendidikan atau keagamaan di tempat-tempat yang dikelola Herry Wirawan.
"Ini bukan pesantren, mereka bukan santriwati. Mereka anak-anak dijemput, diiming-imingi, dan tidak ada pengajian atau pendidikan di situ. Salat saja tidak diajarkan. Ini memang penculikan saja dari keluarganya untuk dieksploitasi sama dia," katanya.
Asep menuturkan, langkah pemerintah dan berbagai pihak untuk melindungi korban secara cepat sekaligus memproses kasus asusila yang diduga dilakukan Herry Wirawan dinilai tepat. Menurut Asep, masyarakat jangan salah mengerti terkait kasus ini yang baru dipublikasikan Desember 2021.
Sebab, kasus ini sudah diketahui sejak Mei 2021 lalu. Tidak dipublikasikan bukan berarti tidak diproses hukum. "Hal ini pun bertujuan melindungi para korban, terutama psikologisnya," kata Asep dalam keterangannya, Rabu (15/12/2021).
Tidak sekedar melindungi korban, lanjut Asep, keputusan untuk memproses kasus tanpa publikasi pun bertujuan untuk menjaga keberlangsungan persidangan. Sebab, dalam kasus asusila, para korban harus menjadi saksi dalam persidangan.
"Ada etika dalam hukum acara kejahatan kesusilaan, satu di antaranya memang tidak diekspos. Bahkan, untuk beberapa kasus, pelakunya pun tidak diekspos karena pada saat dia dihadapkan di pengadilan, saksi itu juga kan harus datang. Untuk menjadi saksi dalam kasus ini kan tidak mudah karena harus melihat pelakunya," papar Asep.
Asep menjelaskan bahwa kelancaran jalannya persidangan ditentukan oleh saksi yang mau menyatakan kejadian yang sebenarnya secara jelas. Maka, saat bersaksi, kondisi psikologis korban jangan sampai terganggu. Bahkan, korban harus didampingi psikolog, ahli kesehatan, hingga orang-orang terdekat korban. "Apalagi dalam kasus ini, para korbannya adalah anak-anak," imbuh Asep.
Asep juga mengatakan bahwa semua pihak harus memulihkan psikologis para korban supaya siap menjadi saksi di pengadilan. Terekspos kasus ini ke publik, bahkan berbagai informasinya mengenai korban dicongkel, maka akan berpengaruh terhadap kondisi para korban yang menjadi saksi tersebut.
"Makanya, kami mengerti kalau diam-diam dulu supaya proses-proses yang dijalankan oleh hakim dan pengadilan berjalan lancar dan saksinya mau bicara tanpa gangguan. Kalau sudah diputus, silakan," jelasnya.
Berdasarkan penelusurannya, kata Asep, para korban kini kembali mengalami trauma setelah kasus ini terekspos ke publik. Pasalnya, mereka membaca berbagai berita di media, termasuk pembicaraan di media sosial.
"Kalau prespektif kesusilaan, melihat korban, maka kewajiban negara, kewajiban pemerintah, kewajiban penegak hukum adalah melindungi korban. Itu harus dijalankan. Makanya, pihak pemerintah dan penegak hukum itu memastikan bahwa korban mendapat perlindungan dan hak-haknya," tegas Asep.
Dia menekankan, korban harus merasa aman dan nyaman. Oleh karena itu, harus dipastikan korban dilindungi dari publisitas maupun pengungkapan ke publik dan wajib dilindungi sambil kondisi mental psikologis serta traumanya dipulihkan. "Jadi bukan tidak mau diekspos, tapi problemanya adalah ketika ini terekspos keluar, bahkan disebutkan siapa korbannya, itu akan menjadi pelanggaran terhadap hak-hak korban," tegasnya lagi.
Terkait publikasi Herry Wirawan, kata Asep, hal itu diperbolehkan sepanjang tidak mengorek informasi mengenai korban. Hal itu pun, kata Asep, tertera dalam undang-undang tentang perlindungan anak.
"Saya mengobrol dengan teman-teman di Garut dengan dinas-dinas yang menangani perlindungan anak. Mereka sebetulnya bukan menutupi perbuatan jahat, tapi ini hanya untuk sebatas melindungi korbannya," ungkapnya.
Asep pun mencermati berbagai hal janggal dalam berbagai informasi terkait kasus tersebut. Menurutnya, selama ini, kabar yang muncul ke permukaan adalah pencabulan yang dilakukan oleh guru agama kepada santriwatinya. Namun, kata Asep, pihaknya tidak menemukan kegiatan pendidikan atau keagamaan di tempat-tempat yang dikelola Herry Wirawan.
"Ini bukan pesantren, mereka bukan santriwati. Mereka anak-anak dijemput, diiming-imingi, dan tidak ada pengajian atau pendidikan di situ. Salat saja tidak diajarkan. Ini memang penculikan saja dari keluarganya untuk dieksploitasi sama dia," katanya.
(don)