Kisah Gunung Semeru, Pasak untuk Pulau Jawa Dihuni Keturunan Asli Majapahit

Minggu, 05 Desember 2021 - 05:05 WIB
loading...
Kisah Gunung Semeru, Pasak untuk Pulau Jawa Dihuni Keturunan Asli Majapahit
Puncak Gunung Semeru sedikit tertutup kabut. Gunung tertinggi di Pulau Jawa ini, juga dikenal sebagai gunung suci. Foto/Dok.SINDOnews/Yuswantoro
A A A
Dewa Brahma berubah menjadi kura-kura, punggungnya yang keras digunakan untuk mengangkut puncak Gunung Meru. Sementara Dewa Wisnu berubah menjadi ular, tubuhnya melingkar mengikat potongan puncak gunung itu, agar tidak jatuh saat Dewa Brahma berjalan.



Kala itu, Jawa masih terombang-ambing. Tujuan kedua dewa tersebut membawa puncak Gunung Meru, adalah menjadikannya pasak atau pantek, agar Jawa tak lagi terombang-ambing di tengah lautan.



Dalam perjalanannya, bagian-bagian dari puncak Gunung Meru itu berjatuhan, dan tumbuh menjadi gunung-gunung di antaranya Kawi, Kelud, Arjuna, Welirang, dan Lawu. Cerita tentang pemindahan puncak Gunung Meru ini, juga termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, yang ditulis pada pertengan abad XV.



Awalnya, potongan puncak Gunung Meru itu diletakkan di sisi barat pula Jawa. Akibatnya, Jawa jomplang, hingga akhirnya patah sebagian. Potongan puncak Gunung Meru itu, akhirnya dipindahkan ke Jawa sisi timur.

Cerita tentang puncak Gunung Meru dari India, yang dibawa oleh Dewa Bharma dan Dewa Wisnu ke tanah jawab, terus berkembang di tengah masyarakat. Mereka mempercayai, puncak Gunung Meru itu adalah Gunung Semeru.

Dalam Kitab Tantu Panggelaran, juga disebutkan saat diletakkan di Jawa sisi timur, posisi potongan puncak Gunung Meru miring. Sehingga dipakailah Gunung Bromo sebagai ganjal agar tidak miring. Setelah itu, Jawa menjadi tenang dan tak lagi terimbang-ambing.

Keberadaan Gunung Semeru tersebut, dipandang suci oleh masyarakat Hindu. Gunung semeru, tercatat sebagai gunung tertinggi di Jawa, dengan ketinggan 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan kondisinya masih terus aktif hingga kini.

Bahkan, akibat semburan material vulkanik dari puncak Gunung Semeru, pada 1 Desember 2020 dan Sabtu Wage, 4 Desember 2021 warga yang ada di lereng Gunung Semeru, lari berhamburan menyelamatkan dirinya sendiri.



Gunung Semeru, dan Gunung Bromo, yang sejak tahun 1982 menjadi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) tersebut, berada dalam satu kawasan dengan Pegunungan Tengger, yaitu Widodaren, Watangan, Kursi, Sepolo, dan Ayeg-ayeg.

Kawasan TNBTS seluas 50.276 hektare, secara administratif pemerintahan masuk empat kabupaten, yaitu Malang, Lumajang, Pasuruan, dan Probolinggo. Suhu udara 2-20 derajat celsius. Ketinggiannya 750-3.676 mdpl.

Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, dinamakan Suku Tengger, yang dipercaya sebagai keturunan asli Majapahit. Secara turun-temurun, Suku Tengger hidup di kawasan TNBTS yang membentang di empat kabupaten, yakni Malang, Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan.

Dialek masyarakat Tengger, berbeda dengan masyarakat Jawa Mataraman. Suku Tengger memiliki ciri tersendiri dalam dialek menggunakan bahasa Jawa kuna. Mereka juga memiliki kepercayaan tersendiri, seperti percaya terhadap danyang.

Legenda lainnya tentang Tengger yang ada di lereng Semeru, adalah perkawinan antara Rara Anteng dengan Jaka Seger. Banyak versi tentang Rara Anteng dan Jaka Seger. Mereka disebut sebagai bangsawan Majapahit, yang keduanya akhirnya menikah.

Kisah Gunung Semeru, Pasak untuk Pulau Jawa Dihuni Keturunan Asli Majapahit


Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono, menyebut catatan sejarah tentang keberadaan Suku Tengger, ternyata bukan sekedar hasil mitologi saja. Sejarah itu, juga terpahat di sebuah batu pualam setinggi 142,5 centimeter; dengan panjangnya 102 centimeter; dan lebarnya 22 centimeter.

Batu pualam besar itu, dikenal sebagai Prasasti Muncang. Ditemukan di Dusun Blandit, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di permukaan batu tersebut, terpahat tulisan dengan huruf Jawa, yang sangat halus.

Pada permukaan batu itu, terpahat cerita tentang keberadaan Suku Tengger yang saat ini menghuni lereng-lereng pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo. Eksotisme dan keagungan Bromo, tercipta melalui proses perjalanan sejarah panjang yang tidak mengenal batasan waktu.

Dwi Cahyono juga mengungkapkan, keberadaan Prasasti Muncang, mematahkan asumsi keberadaan Suku Tengger, yang baru ada di wilayah Pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo, pascaruntuhnya Kerajaan Majapahit.

Dalam catatan sejarah yang ada di Prasasti Muncang, masyarakat Suku Tengger, sudah ada jauh sebelum hadirnya Kerajaan Singhasari, dan Majapahit di tanah Jawa Dwipa. Dwi berani memperkirakan, sejarah Bromo sebagai tanah suci bagi masyarakat Suku Tengger, sudah ada sejak tahun 929 masehi.



Menurutnya, cerita tentang keberadaan masyarakat Suku Tengger, dan kesucian serta keagungan Gunung Bromo dan Gunung Semeru, sudah tercatat sejak perpindahan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, dari wilayah Jawa Tengah, ke wilayah Jawa Timur. "Saat itu, di bawah kepemimpinan Mpu Sindok," timpalnya.

Catatan sejarah ini, tentunya akan menjadi pembanding mitologi, dan anggapan orang tentang munculnya masyarakat Suku Tengger, setelah habisnya era Kerajaan Majapahit, di antara tahun 1.300-1.400 masehi.

Cerita mitologi juga berkembang, saat anak bangsawan dari Kerajaan Majapahit, yakni Joko Seger, dan Roro Anteng, melarikan diri ke wilayah Gunung Bromo. Mereka sangat berharap memiliki keturunan, dengan sumpah akan mengorbankan anak bungsunya sebagai persembahan untuk dewa apabila permintaannya dikabulkan.

Permohonan itu dikabulkan, dan pasangan ini dikaruniai sebanyak 25 anak. Di kemudian hari, keduanya lupa akan sumpahnya. Anak bungsunya yang bernama, Dewata Kusuma tidak juga dijadikan persembahan kepada dewa.

Akhirnya, kuasa dewa sendiri yang merebut Dewata Kusuma dan menghempaskannya ke kawah Gunung Bromo. Mitologi yang berkembang secara turun-temurun ini, sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Suku Tengger, yang dikenal teguh memegang budayanya, sehingga dikenal adanya upacaya Yadnya Kasada.



Terlepas dari mitologi tersebut, kata Dwi berdasarkan catatan pada prasasti yang ada, ternyata upacara Yadnya Kasada, sudah dilakukan masyarakat Suku Tengger, sejak ratusan tahun sebelum munculnya mitologi tersebut.

Dia menyebutkan, sejumlah prasasti dengan jelas menggambarkan keberadaan orang-orang Tengger, berserta upacara Yadnya Kasada. Salah satunya, tercatat dalam Prasasti Pananjakan yang ditemukan tahun 1880, di daerah Penanjakan, Kabupaten Pasuruan.

Dalam prasasti berangka tahun 1405 itu, disebutkan adanya larangan untuk menarik pajak pada bulan titi leman atau akhir bulan di bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba.

"Pajak dilarang ditarik pada saat itu, karena warga desa tengah memuja gunung keramat nan mulia yaitu Gunung Brama (dewa gunung api)," ujar Dwi. Desa Walandit sendiri, saat ini lebih dikenal sebagai Dusun Blandit, di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Sedangkan Desa Mamanggis, kata dia sekarang diperkirakan bernama daerah Kemanggisan yang terletak di sekitar Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Jebing, diperkirakan sekarang berubah menjadi daerah Jabung, yang juga terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Kisah Gunung Semeru, Pasak untuk Pulau Jawa Dihuni Keturunan Asli Majapahit


Nama Gunung Brama yang disebut dalam prasasti tersebut, diduga saat ini berkembang namanya menjadi Gunung Bromo. Sementara masyarakat yang memuja gunung tersebut, dinamakan orang-orang kakahyangan.

Dwi memperkirakan, mereka yang disebut orang-orang ka-kahyangan adalah cikal bakal masyarakat Suku Tengger. Prasasti Pananjakan, sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Selain Prasasti Pananjakan, Dwi menyebutkan, jauh sebelumnya terdapat serentetan prasasti pada masa kepemimpinan Mpu Sindok yang bertutur tentang Bromo, dan upacara Kasada.

Prasasti itu, salah satunya adalah Prasasti Muncang, yang tercatat dibuat pada tahun 944 masehi. Prasasti itu, tersimpan di Museum Mpu Purwa, Kota Malang, Jawa Timur. Prasasti Muncang, salah satunya berisi penetapan sebidang tanah di selatan pasar Desa Muncang, sebagai tanah perdikan.

"Hasil bumi tanah perdikan ini, digunakan untuk membangun Prasada Kabhaktyan Siddhayoga. Yaitu bangunan suci untuk peribadatan harian bagi Bhathara Sang Hyang Swayambhwa yang bersemayam di Walandit," timpalnya.



Sebelum Prasasti Muncang, tercatat juga ada Prasasti Lingga Sutan, yang dibuat tahun 929 masehi. Prasasti ini berisi tentang, penetapan Desa Lingga Sutan, sebagai wilayah Rakriyan Hujung, dan hasil pertanian di sana, setiap setahun sekali juga dipersembahkan untuk Bhathara I-Walandit.

Dwi menyebutkan, dari tiga prasasti ini jelas terlihat adanya keterkaitan. Yaitu, adanya upacara pemujaan pada Bhathara I-Walandit, atau Bhathara Sang Hyang Swayambhwa. Sementara pada Prasasti Penanjakan, semakin diperjelas bahwa dewa-dewa yang dipuja adalah dewa gunung api Brama.

Dari catatan-catatan prasasti tersebut, semakin terlihat sejarah Suku Tengger, dan Gunung Bromo, serta Gunung Semeru, hadir jauh sebelum masa akhir Kerajaan Majapahit. Bahkan, sudah tercatat sejak kepemimpinan Mpu Sindok di wilayah Jawa Timur.

Sementara masyarakat Tengger meyakini bahwa upacara Kasada—yang diselenggarakan masyarakat Tengger dengan mempersembahkan sesaji ke kawah Bromo setiap tanggal 15 bulan ke-12 berdasarkan kalender Tengger, adalah merunut jejak pengorbanan Dewata Kusuma, anak ke-15 Rara Anteng-Jaka Seger yang mengorbankan diri masuk ke kawah Brama sesuai janji orangtuanya.

Banyak misteri yang tersimpan di kawasan Gunung Semeru dan sekitarnya. Bahkan, di salah satu hutan paling lebat di Gunung Semeru, yakni Hutan Ireng-ireng disebut ada misteri manusia kerdil berkulit hitam. Selain itu, puncak Gunung Semeru, juga dikenal dengan sebutan Mahameru, yangh artinya tempat bersemayam para dewa.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2142 seconds (0.1#10.140)