Mei 2020 Deflasi, BI Jabar Sebut Perlu Cermati Ekonomi Jawa Barat
loading...
A
A
A
BANDUNG - Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jawa Barat menekankan perlunya mencermati perkembangan ekonomi Jawa Barat menyusul terjadinya deflasi di beberapa wilayah di Jabar pada periode Mei 2020 lalu.
Kepala BI Jabar Herawanto mengatakan, deflasi pada Mei 2020 atau pada Ramadhan dan Lebaran sebesar 0,11% terjadi disebabkan oleh banyak toko tutup selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan sebagai upaya mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).
Banyak toko tutup saat Ramadhan dan Lebaran, kata Herawanto, menyebabkan permintaan turun. Sementara, jumlah komoditas melimpah. Kondisi itu, berbeda dengan Ramadhan dan Lebaran saat kondisi normal, di mana permintaan cenderung naik, ketersediaan barang terbatas, sehingga harga naik.
"Gairah konsumsi bila sebelumnya tinggi (saat kondisi normal), sekarang (saat pandemi COVID-19) terbatas. PHK (pemutusan hubungan kerja) juga memberi dampak terhadap pendapatan. Bila dulu dapat THR, sekarang sebagian jadi enggak ada, sehingga banyak yang berhemat, itu juga berpengaruh," kata Herawanto.
Menurut dia, deflasi Jabar pada Mei 2020 perlu dicermati karena akan berpengaruh terhadap target inflasi tahunan. Sebab, inflasi menjadi acuan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
"Dari sisi inflasi mungkin baik, tapi dari transaksi perekonomian perlu dicermati. Jangan sampai telanjur terus (deflasi). Nanti dampaknya enggak baik bagi ekonomi Jabar," ujar dia.
Herawanto menuturkan, deflasi menunjukkan rendahnya harga komoditas. Kondisi itu dikhawatirkan akan menurunkan gairah produsen untuk berproduksi. Seperti petani enggan menanam, nelayan enggan berlayar, atau peternak yang kehilangan gairah memproduksi ayam atau telur.
Sektor produksi, tutur Kepala BI Jabar, mesti mengkalkulasi ongkos produksi, operasioanal, keuntungan, dan lainnya untuk menetapkan harga. Dnegan harga terukur, mereka akan mendapatkan keuntungan.
"Kita tetap kill the virus (melawan COVID-19), tapi tetap dorong agar ekonomi jalan. Kami sangat apresiasi pemerintah daerah yang cepat melakukan PSBB dan evaluasi sehingga sekarang menuju penormalan kembali," tutur Herawanto.
Sementara itu, Kepala Grup Advisory Pengembangan Ekonomi BI Jabar Pribadi Santoso juga menekankan pentingnya produksi tetap jalan, seiring upaya meningkatkan konsumsi masyarakat.
Sebab jika permintaan kurang, produksi terhenti, ungkap Pribadi, akan menyebabkan lonjakan inflasi. "Jangan sampai kalau enggak ada produksi, nanti harga naik. Sementera harga beli lagi terbatas. Jadi jangan sampai produksi sampai terhenti," pungkas Pribadi.
Lihat Juga: Sapa Warga, Dhani Wirianata Calon Wakil Wali Kota Bandung Sambangi Warga Cibeunying Kidul
Kepala BI Jabar Herawanto mengatakan, deflasi pada Mei 2020 atau pada Ramadhan dan Lebaran sebesar 0,11% terjadi disebabkan oleh banyak toko tutup selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan sebagai upaya mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).
Banyak toko tutup saat Ramadhan dan Lebaran, kata Herawanto, menyebabkan permintaan turun. Sementara, jumlah komoditas melimpah. Kondisi itu, berbeda dengan Ramadhan dan Lebaran saat kondisi normal, di mana permintaan cenderung naik, ketersediaan barang terbatas, sehingga harga naik.
"Gairah konsumsi bila sebelumnya tinggi (saat kondisi normal), sekarang (saat pandemi COVID-19) terbatas. PHK (pemutusan hubungan kerja) juga memberi dampak terhadap pendapatan. Bila dulu dapat THR, sekarang sebagian jadi enggak ada, sehingga banyak yang berhemat, itu juga berpengaruh," kata Herawanto.
Menurut dia, deflasi Jabar pada Mei 2020 perlu dicermati karena akan berpengaruh terhadap target inflasi tahunan. Sebab, inflasi menjadi acuan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
"Dari sisi inflasi mungkin baik, tapi dari transaksi perekonomian perlu dicermati. Jangan sampai telanjur terus (deflasi). Nanti dampaknya enggak baik bagi ekonomi Jabar," ujar dia.
Herawanto menuturkan, deflasi menunjukkan rendahnya harga komoditas. Kondisi itu dikhawatirkan akan menurunkan gairah produsen untuk berproduksi. Seperti petani enggan menanam, nelayan enggan berlayar, atau peternak yang kehilangan gairah memproduksi ayam atau telur.
Sektor produksi, tutur Kepala BI Jabar, mesti mengkalkulasi ongkos produksi, operasioanal, keuntungan, dan lainnya untuk menetapkan harga. Dnegan harga terukur, mereka akan mendapatkan keuntungan.
"Kita tetap kill the virus (melawan COVID-19), tapi tetap dorong agar ekonomi jalan. Kami sangat apresiasi pemerintah daerah yang cepat melakukan PSBB dan evaluasi sehingga sekarang menuju penormalan kembali," tutur Herawanto.
Sementara itu, Kepala Grup Advisory Pengembangan Ekonomi BI Jabar Pribadi Santoso juga menekankan pentingnya produksi tetap jalan, seiring upaya meningkatkan konsumsi masyarakat.
Sebab jika permintaan kurang, produksi terhenti, ungkap Pribadi, akan menyebabkan lonjakan inflasi. "Jangan sampai kalau enggak ada produksi, nanti harga naik. Sementera harga beli lagi terbatas. Jadi jangan sampai produksi sampai terhenti," pungkas Pribadi.
Lihat Juga: Sapa Warga, Dhani Wirianata Calon Wakil Wali Kota Bandung Sambangi Warga Cibeunying Kidul
(awd)