Siasat Licik Aria Wiraraja Hancurkan Jayakatwang, Usir Pasukan Mongol dari Tanah Jawa

Senin, 15 November 2021 - 05:00 WIB
loading...
Siasat Licik Aria Wiraraja Hancurkan Jayakatwang, Usir Pasukan Mongol dari Tanah Jawa
Aria Wiraraja. Foto: Istimewa
A A A
KEPERKASAAN Jayakatwang dimulai setelah kehancuran Singasari tahun 1292, dan menjadi raja Kadiri. Namun jatuh oleh siasat licik Aria Wiraraja yang menghancurkannya demi merebut kembali takhta peninggalan mertuanya.

Kisah kedigdayaan Jayakatwang dalam Nagarakretagama, Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama disebut berawal dari pemberontakan terhadap Kertanegara di Singasari yang dibantu siasat Aria Wiraraja.

Naskah prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan menyebut Jayakatwang pada saat memberontak masih menjabat sebagai bupati Gelang-Gelang . Setelah Singasari runtuh, baru kemudian ia menjadi raja di Kadiri.



Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok pendiri Singasari. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Aria Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya sebagai balasan "formal" terhadap permintaan pertimbangan yang diajukan Jayakatwang sebelumnya, mengingat Aria Wiraraja dianggap sesepuh Jayakatwang.

Dalam surat tersebut berisi pertanyaan yang menyulut ambisi Jayakatwang yang menyebut, mungkinkah Jayakatwang bisa melakukan balas dendam terhadap Kertanegara akibat kekuasaan Kadiri yang merupakan leluhur Jayakatwang telah ditaklukkan Singasari leluhur dari Kertanegara,?

Atas pertanyaan ini, Aria Wiraraja menyarankan supaya Jayakatwang segera menyerang Singasari saat sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa.
Adapun Aria Wiraraja adalah mantan pejabat Singasari yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanegara. Yang pada akhirnya di kemudian hari Aria Wiraraja menyayangkan dan sangat menyesali apa yang dilakukan oleh Jayakatwang.

Saran tersebut pun diterima, Jayakatwang mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Guyang menyerbu Singasari dari utara. Mendengar hal itu, Kertanegara segera mengirim pasukan untuk menghadapi yang dipimpin oleh menantunya, bernama Raden Wijaya. Pasukan Jaran Guyang berhasil dikalahkan. Namun sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singasari kosong.



Pasukan kedua Jayakatwang menyerang Singasari dari arah selatan dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang. Dalam serangan tak terduga ini, Kertanegara tewas di dalam istananya.

Dalam prasasti Kudadu, Ardharaja putra Jayakatwang yang tinggal di Singasari bersama istrinya, ikut serta dalam pasukan Raden Wijaya. Tentu saja ia berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singasari, Ardaraja berbalik meninggalkan Raden Wijaya dan memilih bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang.

Sementara, Aria Wiraraja sesungguhnya telah berbalik melawan Jayakatwang. Saat itu ia ganti membantu Raden Wijaya untuk merebut kembali takhta peninggalan mertuanya. Pada tahun 1293 pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanegara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289.

Pasukan Mongol tersebut diterima Raden Wijaya di desanya yang bernama Majapahit. Raden Wijaya yang mengaku sebagai ahli waris Kertanagara bersedia menyerahkan diri kepada Kubilai Khan asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang.

Berita Tiongkok menyebutkan perang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293. Gabungan pasukan Mongol dan Majapahit menggempur kota Kadiri sejak pagi hari. Sekitar 5.000 orang Kadiri tewas menjadi korban. Akhirnya pada sore harinya, Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol.

Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti diserang balik oleh pihak Majapahit untuk diusir keluar dari tanah Jawa. Sebelum meninggalkan Jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.

Nama Arya Wiraraja, sangat lekat dengan kerajaan di selatan Gunung Semeru tersebut. Bahkan, Arya Wiraraja menjadi raja besar di Lamajang Tigang Juru. Dalam kitab Pararaton, Arya Wiraraja tercatat dengan nama kecilnya Banyak Wide.



Secara etimologis, Banyak merupakan nama yang disandang oleh kaum Brahmana . Sedangkan Wide memiliki arti Widya yaitu pengetahuan. Banyak Wide memiliki makna Brahmana yang memiliki pengetahuan atau kecerdasan tinggi.

Dalam Pararaton juga disebutkan keterangan penting terkait Lamajang Tigang Juru dan Arya Wiraraja, yakni "Hana ta wongira, babatanganira buyuting Nangka, aran Banyak Wide, sinungan pasenggahan Arya Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon Adipati ing Songenep, anger ing Madura wetan".

Kerja sama Raden Wijaya dan Arya Wiraraja ini akhirnya melahirkan kesepakatan, yakni pembagian tanah Jawa menjadi dua yang sama besar. Hal ini disebut dalam Perjanjian Sumenep .
Dalam masa pelarian dan pendirian Majapahit , Adipati Arya Wiraraja memberi bantuan sangat besar terhadap Raden Wijaya. Bahkan, dia pula yang mengupayakan pengampunan politik untuk Raden Wijaya kepada Prabu Jayakatwang di Kediri, hingga pembukaan hutan Tarik menjadi Majapahit .

Kecerdikan Arya Wiraraja , juga sangat membantu Raden Wijaya saat mengelabuhi pasukan besar Mongol untuk menyerang Jayakatwang, dan kemudian diserang balik hingga pasukan Mongol lari tercerai-berai.

Pasukan besar Mongol Tartar pimpinan Jendral Shih Pi (Shi-bi) yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati Raden Wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik.

Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing (Gaoxing) menjemput para putri tersebut di Desa Majapahit tanpa membawa senjata.

Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut agar meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi.



Setelah pasukan Mongol Tartar masuk Desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tartar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit.

Arya Wiraraja yang dalam dongeng rakyat Lumajang, disebut sebagai Prabu Menak Koncar I , memimpin Kerajaan Lamajang Tigang Juru, di mana wilayah kekuasaannya meliputi Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan, dan Blambangan.

Prabu Menak Koncar I berkuasa pada tahun 1293- 1316 Masehi. Setelah itu diteruskan oleh Mpu Nambi. Dalam perjalanannya, Mpu Nambi yang juga merupakan patih di Majapahit, diserang oleh Majapahit hingga gugur dan Lamajang Tigang Juru jatuh ke tangan Majapahit.

Dalam versi lain disebutkan pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya.

Dia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang.
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1295 seconds (0.1#10.140)