Menghormati Raja Kertanegara Membuat Gajah Mada Berambisi Menyatukan Nusantara

Sabtu, 23 Oktober 2021 - 05:01 WIB
loading...
Menghormati Raja Kertanegara Membuat Gajah Mada Berambisi Menyatukan Nusantara
Rasa kagum dan hormat Gajah Mada terhadap sosok Kertanegara membuatnya berambisi untuk menyatukan nusantara. Foto ilustrasi SINDOnews
A A A
RASA kagum dan hormat Gajah Mada terhadap sosok Kertanegara membuatnya berambisi untuk menyatukan nusantara. Bagi Gajah Mada, sosok Kertanegara adalah raja besar yang patut dijadikan teladan, sumber inspirasi dalam mewujudkan kejayaan Kerajaan Majapahit.

Kekaguman terhadap Kertanegara merupakan hal yang wajar mengingat kesuksesan Raja Kertanegara yang begitu gemilang dalam upaya mempersatukan nusantara.

Kertanegara memerintah Singasari dari tahun 1268-1292 SM. Ia meneruskan tahta kerajaan dari ayahnya Raja Wisnuwardhana. Meski resminya Kertanegara memerintah mulai 1268, namun sejak 1255, dia sudah didaulat ayahnya menjadi raja muda.

Inilah masa-masa di mana Kertanegara mendapat dasar yang kuat dalam ilmu militer dan politik. Pada masa itu, ayahnya berhasil membangun basis kuat baik di bidang politik maupun militer.

Cerita tentang kehebatan militer dan politik Raja Wisnuwadhana bisa diketahui dari Prasasti Mulamalurung (1255). Prasasti ini menyebutkan bahwa saat itu administrasi pemerintahan Kerajaan Singhasari dibagi ke dalam delapan nagari. Tiap-tiap anggota keluarga mendapat pembagian kekuasaan sebagai vasal.

Politik berbagi kekuasaan ini membuat Singasari relatif aman dan kekuatan militer pun tidak terpecah oleh intrik politik. Dengan dasar yang kuat itu, bisa dipahami kalau Kertanagara memiliki pandangan politik berorientasi keluar Jawa. Dialah raja pertama di Jawa yang punya orientari kekuasaan keluar Jawa. Spiritnya tidak lain adalah kejayaan atau glory.

Menurut arkeolog dan pengajar sejarah dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, pada umumnya spirit glory itu menjadi impian semua raja. Namun, Kertanegara memiliki spirit itu sangat kuat dengan kapasitas pemahaman politik dan militer yang mumpuni.

Jika pada era ayahnya Raja Wisnuwardhana dan Narasinghamurti konsep politik kekuasaan hanya berkutat pada cakrawala mandala Jawa, maka Kertanegara kemudian meluaskan wawasan politik itu. Cita-citanya ditingkatkan dari menyatukan Jawa menjadi Nusantara atau dari cakrawala mandala Jawa menjadi cakrawala mandala dwipantara.

Pada masa pemerintahannya, Kertanegara mengirim tentaranya untuk ekspedisi ke Malayu. Dalam kitab Nagarakrtagama, ekspedisi itu disebut sebagai upaya penaklukan. Pada 1286, Kertanegara mengirim hadiah arca Buddha Amoghapasa untuk mempererat hubungan dengan kerajaan di Sumatera.

Arca Buddha Amoghapasa itu terpahat bersama 14 pengiringnya dan tujuh permata (saptaratna). Semuanya dilukiskan pada alas arca, berupa kuda, cakra, permaisuri, ratna, menteri, hulubalang, dan gajah. Saptaratna merupakan lambang seorang cakrawartin, merujuk pada sosok penguasa jagad yang ideal.

Dalam prasasti Padang Roco yang terdapat di bagian alas arca itu tertulis kalimat, "Semoga hadiah ini membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmana, ksatrya, waisya, sudra dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa”.

Lewat prasasti yang ditulis dengan aksara Jawa Kuno berbahasa Melayu Kuno dan Sanskerta itu juga diketahui kalau kedudukan Kertanagara lebih tinggi dibanding Raja Malayu. Dalam prasasti itu, Kertanegara memakai gelar Maharajadhiraja. Sementara Mauliwarmadewa memakai Maharaja.

Selanjutnya, pada 1284, ekspansi kerajaan Singhasari di bawah kekuasaan Kertanegara semakin meluas dengan menaklukkan Bali. Rajanya dari Pulau Dewata itu ditawan dan dibawa ke Singhasari. Dalam kitab Negarakrtagama juga disebutkan bahwa Kertanagara menundukkan Pahang di Malaysia, Gurun (pulau di wilayah timur nusantara), Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan.

Penguasaan Kertanegara atas nusantara muncul dalam prasasti yang ada di belakang arca Camundi dari Desa Ardimulyo, Malang. Prasasti berkode tahun 1292 itu mengatakan arca Bhattari Camundi ditahbiskan sewaktu Sri Maharaja menang di seluruh wilayah dan menundukkan semua pulau lainnya.

Selanjutnya, prasasti Po Sah di dekat Phanrang dari tahun 1306 menginformasikan bahwa Kertanegara mengadakan hubungan dengan Champa. Disebutkan di sana seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Dia adalah adik Kertanagara yang menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287-1307).

Sayangnya, kekuasaan Kertanegara atas nusantara tidak berlangsung lama. Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang.Kertanagara gugur di istananya beserta patihnya Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang.
Menghormati Raja Kertanegara Membuat Gajah Mada Berambisi Menyatukan Nusantara


Namun Jayakatwang yang mengakhiri riwayat Kertanegara berhasil dihabisi oleh menantu Kertanegara, yaitu Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit. Dengan runtuhnya Singhasari, hubungan dengan berbagai wilayah luar Jawa tidak lagi berkembang. Kerajaan-kerajaan di luar Jawa kembali beridiri sendiri sebagai kerajaan yang merdeka, tak terikat dengan Singhasari.

Meskipun Kerajaan Singasari runtuh dengan raja terakhirnya Kertanegara tewas di tangan Jayakatwang, namun spirit glory yang telah menyatukan nusantara tidak mati.

Gajah Mada menghidupkan kembali spirit itu ketika dia mengucapkan Sumpah Palapa. Tidak hanya mengucapkan sumpah Palapa, sebagai tanda hormat dan rasa kagum terhadap sosok Kertanegara itu, Gajah Mada mendirikan bangunan suci keagamaan (catya).

Prasasti Gajah Mada (1351) memberikan petunjuk bahwa Gajah Mada mendirikan catya bagi Kertanagara. Disebutkan bahwa sebagai Sang Mahamantrimukya atau Mahamantri yang terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri. Dia juga berhak memberi titah untuk membangun catya bagi tokoh yang telah meninggal.

Menurut para ahli, catya yang dibangun atas perintah Gajah Mada sangat mungkin adalah Candi Singasari. Alasannya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman candi itu. Menariknya, dalam Prasasti Gajah Mada itu terdapat julukan lain bagi Sang Mahapatih, yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara.

Jirnnodhara artinya pembangun sesuatu yang baru atau memugar sesuatu yang telah runtuh atau rusak. Julukan ini tentu memiliki makna yang sangat mendalam, bahwa di atas reruntuhan kerjaan Singasari, Gajah Mada akan meneruskan spirit glory, ambisi kekuasaan mengusai kembali nusantara.

Di tangan Mahapatih Gajah Mada bersama Hayam Wuruk, spirit glory yang mendasari ambisi politik pengembangan mandala hingga seluruh dwipantara atau nusantara yang awalnya telah dirintis Kertanagara, kembali terwujud. Majapajit menjadi kerajaan besar, pusat yang menyatukan seluruh nusantara.

Sumber:
-Sindonews.com
-Wikipedia.org
-tps://nasional.okezone.com
-Historia.id
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1107 seconds (0.1#10.140)