Keterangan Saksi Ringankan Direktur RS Mata Undaan
loading...
A
A
A
SURABAYA - Perkara dugaan pencemaran nama baik dengan terdakwa Direktur Rumah Sakit Mata (RS) Mata Undaan Surabaya, dr Sudjarno kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Agenda sidang mendengarkan keterangan saksi.
Setidaknya, ada empat saksi yang dihadirkan. Diantaranya, dr Lidya Nuradianti (pelapor), dr Sahata Poltak Hamonangan Napitupulu, dr Ria Silvia dan Perawat Angga Surya Arsana.
Dalam keterangannya, saksi dr Sahata Poltak Hamonangan Napitupulu membenarkan telah memberikan rekomendasi kepada terdakwa atas pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) dan disiplin yang dilakukan dr Lidya Nuradianti.
“Rekomendasinya melanggar SOP dan disiplin.Kalau itu diubah saya tidak tahu, itu kewenangan direktur,” katanya, Rabu (3/6/2020).
Menurutnya, dasar rekomendasi yang diberikan tersebut bermula dari komplain pasien bernama Alesandra Sesha. Pasien itu tidak terima karena tindakan operasi bukan dilakukan oleh dr Lidya melainkan oleh perawat bernama Angga Surya Arsana. “Rekomendasi diberikan setelah melakukan klarifikasi,” ujarnya.
Sementara itu, saksi Lidya Nuradianti mengaku sangat dirugikan. Surat teguran itu berdampak pada citranya sebagai dokter mata, terlebih dia dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik kedokteran oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) Surabaya. “Surat teguran itu baru dicabut saat adanya laporan ke polisi,” ungkapnya.
Saksi dr Ria Silva yang juga Wadir Pelayanan RS Mata Undaan dan Perawat Angga Surya Arsana juga membenarkan adanya komplain dari pasien. Atas komplain tersebut, RS Mata Undaan telah memberikan uang damai sebesar Rp400 juta. “Saya tidak tahu jumlahnya,” kata saksi Ria Silvia menjawab pertanyaan tim penasehat hukum terdakwa, Sumarso.
Keterangan Ria sempat dipertanyakan ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana. Namun Ria tetap mempertahankan keterangannya.
“Anda sebagai Wakil Direktur Pelayanan lho, masak tidak tahu uang itu untuk apa, uang damai kah atau mengganti kerugian,” tanya hakim. “Saya tidak tahu karena tidak dilibatkan,” jawab Ria.
Sedangkan sang perawat, Angga Surya Arsana mengaku jika operasi ke pasien Alesandra Sesha dilakukan karena ada mandat dari dr Lidya. “Karena dr Lidya sedang melakukan operasi pasien lainya,” ungkapnya.
Usia sidang, penasehat hukum terdakwa dr Sudjarno, Sumarso mengaku bahwa, keterangan para saksi meringankan posisi terdakwa. Menurut Sumarso, putusan MKEK IDI Surabaya terhadap dr Lidya tersebut, belum final.
Masih ada langkah banding yang diajukan ke MKEK IDI Pusat di Jakarta. "Artinya dakwaan yang digunakan jaksa untuk menjerat terdakwa sangat prematur apabila menggunakan alat bukti surat putusan yang belum final," ujar Sumarso.
Diketahui, perkara ini bermula saat dr Lidya Nuradianti melaporkan Direktur RS Mata Undaan Surabaya, dr Sudjarno ke Polrestabes Surabaya. Dia tidak terima lantaran dituduh telah melanggar kode etik dan profesi kedokteran melalui surat teguran tertulis yang dibuat oleh dr Sudjarno saat menjatuhkan sanksi.
Tuduhan tersebut dianggap dr Lidya Nuradianti tidak berdasar. Sebab saat sanksi dijatuhkan, dia merasa tidak pernah melakukan pelanggaran etika dan profesi dan diperkuat oleh putusan yang dijadikan jaksa sebagai alat bukti.
Putusan itu adalah Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Nomor : 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 Tanggal 20 Agustus 2018. Dalam kasus ini, dr Sudjarno didakwa melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal 311 ayat (1) KUHP.
Setidaknya, ada empat saksi yang dihadirkan. Diantaranya, dr Lidya Nuradianti (pelapor), dr Sahata Poltak Hamonangan Napitupulu, dr Ria Silvia dan Perawat Angga Surya Arsana.
Dalam keterangannya, saksi dr Sahata Poltak Hamonangan Napitupulu membenarkan telah memberikan rekomendasi kepada terdakwa atas pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) dan disiplin yang dilakukan dr Lidya Nuradianti.
“Rekomendasinya melanggar SOP dan disiplin.Kalau itu diubah saya tidak tahu, itu kewenangan direktur,” katanya, Rabu (3/6/2020).
Menurutnya, dasar rekomendasi yang diberikan tersebut bermula dari komplain pasien bernama Alesandra Sesha. Pasien itu tidak terima karena tindakan operasi bukan dilakukan oleh dr Lidya melainkan oleh perawat bernama Angga Surya Arsana. “Rekomendasi diberikan setelah melakukan klarifikasi,” ujarnya.
Sementara itu, saksi Lidya Nuradianti mengaku sangat dirugikan. Surat teguran itu berdampak pada citranya sebagai dokter mata, terlebih dia dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik kedokteran oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) Surabaya. “Surat teguran itu baru dicabut saat adanya laporan ke polisi,” ungkapnya.
Saksi dr Ria Silva yang juga Wadir Pelayanan RS Mata Undaan dan Perawat Angga Surya Arsana juga membenarkan adanya komplain dari pasien. Atas komplain tersebut, RS Mata Undaan telah memberikan uang damai sebesar Rp400 juta. “Saya tidak tahu jumlahnya,” kata saksi Ria Silvia menjawab pertanyaan tim penasehat hukum terdakwa, Sumarso.
Keterangan Ria sempat dipertanyakan ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana. Namun Ria tetap mempertahankan keterangannya.
“Anda sebagai Wakil Direktur Pelayanan lho, masak tidak tahu uang itu untuk apa, uang damai kah atau mengganti kerugian,” tanya hakim. “Saya tidak tahu karena tidak dilibatkan,” jawab Ria.
Sedangkan sang perawat, Angga Surya Arsana mengaku jika operasi ke pasien Alesandra Sesha dilakukan karena ada mandat dari dr Lidya. “Karena dr Lidya sedang melakukan operasi pasien lainya,” ungkapnya.
Usia sidang, penasehat hukum terdakwa dr Sudjarno, Sumarso mengaku bahwa, keterangan para saksi meringankan posisi terdakwa. Menurut Sumarso, putusan MKEK IDI Surabaya terhadap dr Lidya tersebut, belum final.
Masih ada langkah banding yang diajukan ke MKEK IDI Pusat di Jakarta. "Artinya dakwaan yang digunakan jaksa untuk menjerat terdakwa sangat prematur apabila menggunakan alat bukti surat putusan yang belum final," ujar Sumarso.
Diketahui, perkara ini bermula saat dr Lidya Nuradianti melaporkan Direktur RS Mata Undaan Surabaya, dr Sudjarno ke Polrestabes Surabaya. Dia tidak terima lantaran dituduh telah melanggar kode etik dan profesi kedokteran melalui surat teguran tertulis yang dibuat oleh dr Sudjarno saat menjatuhkan sanksi.
Tuduhan tersebut dianggap dr Lidya Nuradianti tidak berdasar. Sebab saat sanksi dijatuhkan, dia merasa tidak pernah melakukan pelanggaran etika dan profesi dan diperkuat oleh putusan yang dijadikan jaksa sebagai alat bukti.
Putusan itu adalah Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Nomor : 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 Tanggal 20 Agustus 2018. Dalam kasus ini, dr Sudjarno didakwa melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal 311 ayat (1) KUHP.
(msd)