NA Disebut Tak Pernah Intervensi Dana Pembangunan Masjid di Maros
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggali pendanaan Masjid Pucak Maros dalam sidang lanjutan kasus dugaan gratifikasi, terdakwa Gubernur Sulsel non aktif , Nurdin Abdullah (NA) di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (13/10/2021).
Pembangunan masjid berlokasi di Dusun Arra, Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu sejak awal dinyatakan panitia telah mendapat bantuan dari dana CSR Bank Sulselbar dan beberapa donatur. Dana itu dikumpulkan dalam satu rekening dan digunakan tanpa intervensi NA.
Fakta tersebut diungkap oleh salah seorang saksi bernama Ruswandi saat memberikan kesaksian di hadapan majelis hakim yang diketuai Ibrahim Palino.
"Apakah Pak NA terlibat dalam pembuatan dan penggunaan dana di rekening pembangunan masjid?," tanyaPenasihat Hukum (PH) NA, Arman Hanis kepada saksi Ruswandi.
"Tidak ada, hanya panitia saja," jawab Ruswandi.
Dia juga mempertegas, NA tidak terlibat dalam pembuatan proposal. Anggaran yang diperkirakan sebesar Rp1,3 miliar murni hasil survei Ruswandi bersama ketua dan bendahara pembangunan masjid.
"Soal proposal kan itu diurus oleh panitia saja. Awalnya anggaran yang dibutuhkan hanya Rp700 juta, tapi diubah menjadi Rp1,3 miliar karena spesifikasi (material bangunan) dan lokasi.Masjid ini ketinggian jadi memang pondasinya harus diperkuat," terang Wandi yang juga merupakan arsitek masjid.
Terkait ketersediaan dana dan pengeluarannya,Ruswandi mengaku hal tersebut merupakan wewenang dari panitia masjid. Mesti ada bukti transaksi .
"Jadi ada beberapa kali penarikan di rekening buat beli material, upah kerja, biaya operasional pekerja. Beli material di daerah Tallasa City, kayak departemen store khusus bangunan yang berkualitas," katanya.
"Saya bilang dari jauh-jauh hari apa keperluan saya, prinsipnya kalau ada uang ya saya kerja," tambahnya.
Soal progres pengerjaan masjid , Ruswandi menyebutpembangunan masjid di pucak belum selesai, tetapi sudah masuk tahap finishing.
"Itu tidak lanjut. Saya bilang ke Pak Aminuddin (bendahara), kalaumemang ada dana, bisa temui saya nanti kita lanjutkan karena untuk tempat ibadah. Tapi sejauh ini masjidnya sudah dipakai," pungkasnya.
Dalam persidangan kali ini, selain Riswandi, dua orang saksi yang dihadirkan oleh JPU KPK yakni Gilang Gumilar dan Basman yang hadir secara virtual.
Selain soal pendanaan masjid, JPU KPK juga mencecar pertanyaan seputaran dugaan penerimaan uang dari terdakwa mantan Sekretaris PUPR Sulsel Edy Rahmat kepada Gilang Gumilar, auditor sekaligus humas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sulsel.
Dalam kesaksiannya, Gilang mengaku memang pernah bertemu dengan Edy Rahmat di sebuah kafe di sekitar kantor BPK Sulsel, Jalan AP Pettarani, Kota Makassar. Pertemuan berlangsung sekitar Januari 2021. "Saya ditelpon sama pak Edy saya tidak angkat jadi saya telepon balik dan dia minta ketemu," kata Gilang.
Gilang bilang, dalam pertemuan saat itu, Edy Rahmat meminta masukan kepadanya dalam kapasitas sebagai auditor BPK. "Dia sampaikan kalau nanti ada temuan (audit) soal uang itu bagaimana, jadi saya sampaikan kembalikan saja ke kas daerah. Hanya itu yang kami bahas," ujarnya.
Penyampaian Edy sekaitan dengan rencana audit yang akan dilaksanakan BPK terkait evaluasi penggunaan anggaran di lingkup Pemprov Sulsel. Termasuk, anggaran pembangunan infrastruktur. "Karena saya tahunya Pak Edy waku itukan masih sebagai pejabat di dinas PUTR," jelas Gilang.
Gilang menyatakan, dalam pertemuannya dengan Edy Rahmat saat itu, sama sekali tidak membahas soal uang pemberian kontraktor karena mengerjakan proyek infrastruktur di Sulsel. "Pertemuan 10 sampai 15 menit. Tidak pernah bahas uang (pemberian) dari kontraktor 1 persen," ungkap Gilang.
Seluruh kesaksian Gilang, dibantah oleh Edy Rahmat. Edy menegaskan, Gilang lah yang meneleponnya untuk bertemu dan membahas soal pemberian fee 1 persen. "Dia bilang saat itu siapa tahu ada kontraktor yang mau berpartisipasi 1 persen," tegas Edy menjawab pertanyaan majelis hakim.
Edy mengaku, jauh sebelum bertemu, Gilang lebih dulu penyampaian terkait fee 1 persen dari kontraktor. Tak lama setelah pertemuan di awal 2021, dia kemudian memberikan uang itu. "Total diambil Rp2,8 miliar. Saya bersumpah tidak selamat dunia akhirat kalau saya bohong," ujarnya.
Edy mengaku memberikan uang itu ke asrama yang menjadi tempat tinggal Gilang. Asrama terletak di belakang kantor BPK Sulsel, Jalan AP Pettarani. "Itu sebelum dia memeriksa di Pemkot Makassar. Jadi tidak benar kalau itu pertemuan setelah dia (Gilang) memeriksa," imbuh Edy.
Terpisah JPU KPK M Asri menjelaskan uang yang diberikan Edy Rahmat kepada Gilang adalah, pemberian dari semua kontraktor dan diperuntukan untuk Nurdin Abdullah . "Keseluruhan yang diperoleh dari kontraktor Rp3,2 miliar, kemudian mengalir ke Edy Rahmat 10 persen, sebesar Rp320 juta," ujar Asri usai persidangan.
Kemudian, dari fakta persidangan terungkap bahwa selain ke Edy Rahmat, uang Rp3,2 miliar pemberian banyak kontraktor itu juga mengalir Gilang. Namun, Asri belum menyebut pasti berapa yang diterima Gilang dari Edy. "Uang Rp320 juta itu juga kita sudah sita waktu penggeledahan di rumah Edy," tegasnya.
Pembangunan masjid berlokasi di Dusun Arra, Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu sejak awal dinyatakan panitia telah mendapat bantuan dari dana CSR Bank Sulselbar dan beberapa donatur. Dana itu dikumpulkan dalam satu rekening dan digunakan tanpa intervensi NA.
Fakta tersebut diungkap oleh salah seorang saksi bernama Ruswandi saat memberikan kesaksian di hadapan majelis hakim yang diketuai Ibrahim Palino.
"Apakah Pak NA terlibat dalam pembuatan dan penggunaan dana di rekening pembangunan masjid?," tanyaPenasihat Hukum (PH) NA, Arman Hanis kepada saksi Ruswandi.
"Tidak ada, hanya panitia saja," jawab Ruswandi.
Dia juga mempertegas, NA tidak terlibat dalam pembuatan proposal. Anggaran yang diperkirakan sebesar Rp1,3 miliar murni hasil survei Ruswandi bersama ketua dan bendahara pembangunan masjid.
"Soal proposal kan itu diurus oleh panitia saja. Awalnya anggaran yang dibutuhkan hanya Rp700 juta, tapi diubah menjadi Rp1,3 miliar karena spesifikasi (material bangunan) dan lokasi.Masjid ini ketinggian jadi memang pondasinya harus diperkuat," terang Wandi yang juga merupakan arsitek masjid.
Terkait ketersediaan dana dan pengeluarannya,Ruswandi mengaku hal tersebut merupakan wewenang dari panitia masjid. Mesti ada bukti transaksi .
"Jadi ada beberapa kali penarikan di rekening buat beli material, upah kerja, biaya operasional pekerja. Beli material di daerah Tallasa City, kayak departemen store khusus bangunan yang berkualitas," katanya.
"Saya bilang dari jauh-jauh hari apa keperluan saya, prinsipnya kalau ada uang ya saya kerja," tambahnya.
Soal progres pengerjaan masjid , Ruswandi menyebutpembangunan masjid di pucak belum selesai, tetapi sudah masuk tahap finishing.
"Itu tidak lanjut. Saya bilang ke Pak Aminuddin (bendahara), kalaumemang ada dana, bisa temui saya nanti kita lanjutkan karena untuk tempat ibadah. Tapi sejauh ini masjidnya sudah dipakai," pungkasnya.
Dalam persidangan kali ini, selain Riswandi, dua orang saksi yang dihadirkan oleh JPU KPK yakni Gilang Gumilar dan Basman yang hadir secara virtual.
Selain soal pendanaan masjid, JPU KPK juga mencecar pertanyaan seputaran dugaan penerimaan uang dari terdakwa mantan Sekretaris PUPR Sulsel Edy Rahmat kepada Gilang Gumilar, auditor sekaligus humas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sulsel.
Dalam kesaksiannya, Gilang mengaku memang pernah bertemu dengan Edy Rahmat di sebuah kafe di sekitar kantor BPK Sulsel, Jalan AP Pettarani, Kota Makassar. Pertemuan berlangsung sekitar Januari 2021. "Saya ditelpon sama pak Edy saya tidak angkat jadi saya telepon balik dan dia minta ketemu," kata Gilang.
Gilang bilang, dalam pertemuan saat itu, Edy Rahmat meminta masukan kepadanya dalam kapasitas sebagai auditor BPK. "Dia sampaikan kalau nanti ada temuan (audit) soal uang itu bagaimana, jadi saya sampaikan kembalikan saja ke kas daerah. Hanya itu yang kami bahas," ujarnya.
Penyampaian Edy sekaitan dengan rencana audit yang akan dilaksanakan BPK terkait evaluasi penggunaan anggaran di lingkup Pemprov Sulsel. Termasuk, anggaran pembangunan infrastruktur. "Karena saya tahunya Pak Edy waku itukan masih sebagai pejabat di dinas PUTR," jelas Gilang.
Gilang menyatakan, dalam pertemuannya dengan Edy Rahmat saat itu, sama sekali tidak membahas soal uang pemberian kontraktor karena mengerjakan proyek infrastruktur di Sulsel. "Pertemuan 10 sampai 15 menit. Tidak pernah bahas uang (pemberian) dari kontraktor 1 persen," ungkap Gilang.
Seluruh kesaksian Gilang, dibantah oleh Edy Rahmat. Edy menegaskan, Gilang lah yang meneleponnya untuk bertemu dan membahas soal pemberian fee 1 persen. "Dia bilang saat itu siapa tahu ada kontraktor yang mau berpartisipasi 1 persen," tegas Edy menjawab pertanyaan majelis hakim.
Edy mengaku, jauh sebelum bertemu, Gilang lebih dulu penyampaian terkait fee 1 persen dari kontraktor. Tak lama setelah pertemuan di awal 2021, dia kemudian memberikan uang itu. "Total diambil Rp2,8 miliar. Saya bersumpah tidak selamat dunia akhirat kalau saya bohong," ujarnya.
Edy mengaku memberikan uang itu ke asrama yang menjadi tempat tinggal Gilang. Asrama terletak di belakang kantor BPK Sulsel, Jalan AP Pettarani. "Itu sebelum dia memeriksa di Pemkot Makassar. Jadi tidak benar kalau itu pertemuan setelah dia (Gilang) memeriksa," imbuh Edy.
Terpisah JPU KPK M Asri menjelaskan uang yang diberikan Edy Rahmat kepada Gilang adalah, pemberian dari semua kontraktor dan diperuntukan untuk Nurdin Abdullah . "Keseluruhan yang diperoleh dari kontraktor Rp3,2 miliar, kemudian mengalir ke Edy Rahmat 10 persen, sebesar Rp320 juta," ujar Asri usai persidangan.
Kemudian, dari fakta persidangan terungkap bahwa selain ke Edy Rahmat, uang Rp3,2 miliar pemberian banyak kontraktor itu juga mengalir Gilang. Namun, Asri belum menyebut pasti berapa yang diterima Gilang dari Edy. "Uang Rp320 juta itu juga kita sudah sita waktu penggeledahan di rumah Edy," tegasnya.
(agn)